01 Mei, 2012

Islam Antroposentris: Kritik atas Kemunduran Islam

 Oleh: M. Faisol Fatawi

Kesadaran bahwa umat Islam berada dalam kemunduran sudah dirasakan hampir satu abad yang lalu. Titik balik inilah yang melahirkan kesadaran baru, yaitu kebangkitan Islam (ashr al-nahdlah) dan pembaharuan Islam (tajdid al-islam)—terlepas dari beberapa ragam istilah yang digunakan. Isu kebangkitan islam diusung di berbagai belahan negara muslim atau yang mayoritas berpenduduk muslim. Kesadaran kebangkitan atau pembaharuan Islam sudah dimulai sejak Rifa’ah Thohthowi, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridho dan lain-lain, dan terus berlanjut sampai sekarang di tangan para pemikir muslim seperti Abed al-Jabiri, Hasan Hanafi, Muhammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Jasser Audah dan seterusnya.
Tentunya, kebangkitan atau pembaharuan Islam tidak dimaksudkan mengubah atau memodifikasi ajaran dasar Islam, dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran yang baru, yang disesuaikan dengan semangat zaman kekinian dan berbeda dengan sebelumnya. Pembaharuan islam tidak lain adalah usaha untuk memahami ulang atau reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan dan sumber-sumber tradisi lain yang mengiringinya, sehingga islam sebagai agama mampu merespon dan menjawab tantangan hidup yang dihadapi oleh umatnya. Arkoun menyatakan, bahwa al-Qur’an sebagai korpus resmi tertutup bersifat final. Al-Qur’an tidak akan dapat digantikan dengan teks-teks yang lain, karena memang proses pewahyuannya sudah berakhir seiring dengan wafatnya nabi Saw. Tetapi sebafai knrpus resmi terbuka, al-Qur’an telah menyedot banyak perhatian para ilmuan maupun intelektual, muslim maupun non-muslim; menjadi objek pembacaan dan pemahaman yang darinya lahir berbagai teks keagamaan yang dalam titik tertentu dijadikan sebagai sumber rujukan melebihi teks al-Qur’an itu sendiri.
Terdapat dua hal yang menyebabkan jumudnya Islam di tengah arus perubahan sosial yang semakin hari semakin menuju titik kemajuan akibat gerak modernitas yang tak terbendung. Pertama, miskin teori atau metodologi. Era kodifikasi (ashr al-tadwin) merupakan fase titik kemajuan yang dicapai umat Islam pada abad pertengahan. Di era ini lahir para ilmuan muslim; mereka menulis berbagai buku, menteorisasikan hasil temuannya, baik di bidang sains maupun agama. Al-J`biri menggambarkan era kodifikasi ini sebagai titik puncak kemajuan dimana didalamnya terjadi proses ideologisasi, dekonstruksi dan negosiasi budaya. Namun sayangnya, semangat kreatifitas (al-ibda’) pasca era ini tidak dapat diwarisi dengan baik oleh generasi berikutnya. Akibatnya, pasca era kodifikasi lebih banyak melahirkan intelektual-intelektual yang memagng teguh semangat syurrah (memberi anotasi) dan naql (menukil dan menukil); memberi anotasi dan menukil karya-karya ulama terdahulu. Semangat kreatifitas dipasung oleh jargon “tertutupnya pintu ijtihad”. Akibatnya, karya-karya para pendahulu dianggap sebagai rujukan yang dalam batas tertentu jatuh pada sikap pentakdisan berlebihan. Hilangnya ruang kreatifitas dalam batin generasi belakangan inilah yang disinyalir oleh al-Jabiri menjadi penyebab munculnya krisis teori.
Kedua, menafikan dimensi sejarah. Sejarah merupakan aspek yang mengiringi dalam setiap lahirnya teks. Keduanya tidak dapat dipisahkan, terlepas dari saling keterpengaruhan yang mengiringinya. Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, kadang sebuah teks itu lahir karena adanya dorongan konteks yang berada di luar teks. Dalam kasus al-Qur’an, kita mungkin banyak menemukan adanya ayat-ayat yang diturunkan karena dorongan konteks atau peristiwa tertentu. Inilah yang dalam ulumul qur’an dikenal dengan asbabun nuzul. Artinya, bahwa dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tertentu yang proses pewahyuannya didorong atau didahului oleh peristiwa tertentu. Di pihak lain, teks juga mampu mempengaruhi realitas di luar teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Prosesnya bisa terjadi dalam rentang waktu yang singkat atau lama. Al-Qur’an misalnya, sebagai sebuah teks telah mampu mengubah realitas masyarakat Arab yang pagan dan tribal, menjadi penganut agama tauhid dan menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan-persamaan. Jika saja al-Qur’an dalam proses pewahyuannya tidak dapat dipisahkan dari proses dialektika teks-konteks, maka menafikan aspek sejarah dalam memahami teks-teks keagamaaan, al-Qur’an khususnya dan teks-teks yang terlahir darinya (kutub al-turats), dapat memandulkan agama dalam menjawab tantangan relitas kekinian yang dihadapi umat Islam. Setidaknya, sikap penafian terhadap sejarah tergambar dalam cara umat Islam dalam memperlakukan kutub al-turats yang berlebihan; pensakralan terhadap pemikiran ulama terdahulu (taqdis al-afkar). Ini merupakan implikasi logis dari faktor pertama.
Kedua hal tersebut diatas mengarahkan imaginasi sosial umat Islam berada dalam kungkungan logosentrime. Seorang muslim tidak lagi dapat mengungkapkan diri kecuali melalui media bahasa, tradisi kebahasaan dan tradisi teks tertentu. Persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh umat dicarikan jawabannya pada teks-teks keagamaan dan atau teks-teks otoritatif lainnya. Teks bersifat statik dan memiliki konteksnya, sementara realitas yang mengiringi setiap generasi terus bergerak dinamis dan menyisakan tantangannya sendiri. Akibatnya, muncul kebuntutan dalam merespon dan mencari jawaban atas tantangan yang berkembang di tengah masyarakat, sehingga mengentikan roda peradaban Islam.

Kemanusiaan vs Ketuhanan
Islam diturunkan untuk kemaslahatan manusia. Berbagai persoalan kemanusiaan, seperti dekadensi moral, pembunuhan anak perempuan yang tak berdosa, penindasan, kezaliman, kesewenang-wenangan dan seterusnya, merupakan persoalan nyata yang dihadapi oleh Rasulullah Saw ketika diperintahkan untuk mendakwahkan Islam. Persoalan kemanusiaan menjadi perhatian utama dalam dakwah kenabian. Bahkan dalam hal memberi putusan hukuman, Rasulullah pun lebih mendahulukan pendekatan pada sisi kemanusiaan ketimbang sisi yang lain. Sisi legal hukum dijalankan ketika pendekatan kemanusiaan mengalami jalan kebuntuan. Rasulullah pernah bersabda: “saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang terpuji.” Setidaknya, sabda ini menunjukkan betapa sebuah agama itu hadir untuk kemaslahan umat manusia.
Memang, era Rasulullah bukanlah era kita sekarang ini. Tetapi, persoalan kemanusiaan tetap saja menjadi fokus utama yang disoroti oleh agama Islam. Kita sekarang hidup di era modern dan global yang ditandai dengan kemajuan teknologi di berbagai aspek kehidupan. Modernitas berpengaruh pada perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat Tuhan, diri dan alam sekitarnya. Berbagai persoalan sebagai akibat dari modernitas dan globalisasi menjadi tantangan nyata bagi umat Islam; masalah demokrasi, HAM, pluralisme, kemiskinan, minoritas muslim, fundamentalisme, terorisme dan setersuanya. Inilah persoalan kontemporer yang juga menjadi tantangan bagi agama Islam dalam konteks sekarang.
Miskin teori dan penafian sejarah yang menyebabkan mandegnya pemikiran Islam, semakin menjauhkan umat Islam untuk merespon persoalan dan tantangan zaman. Pendekatan yang dipakai mengandalkan teks-teks; jawaban-jawaban dikembalikan kepada teks-teks keagamaan melalui kerangka teologi yang bersifat ketuhanan an sich. Sebuah cara penyelesian persoalan yang berangkat dari frame ketuhanan, dan jauh dari realitas yang sebenarnya. Tentunya menjadi sebuah ironi, jika sistem akidah dalam agama disederhanakan kedalam persoalan-persoalan ketuhanan (teologi). Persoalan ketuhanan hanya salah satu hal dari sekian banyak hal yang menjadi perhatian Islam. Bahkan kalau boleh dikatakan, persoalan kemanusiaan mendapat perhatian jauh lebih besar katimbang persoalan ketuhanan.
Agar agama tidak nampak semakin mandul dalam mensikapi berbagai persoalan kontemporer, maka menarik untuk menyimak tawaran dan kritikan yang dilontarkan oleh Hasan Hanafi. Hanafi menyerukan untuk menjadikan aspek-aspek dan persoalan-persoalan kemanusiaan sebagai bagian dari sistem teologi Islam. Sehingga teologi Islam tidak lagi hanya mendiskusikan persoalan ketuhanan, tetapi persoalan kemiskinan, penindasan, HAM, pluralisme dan seterusnya menjadi bagian dalam sistem teologi Islam; antroposentris. Paradigma yang dipakai adalah memahami Tuhan melalui realitas sosial dan problem yang mengitarinya. Bukan memahami Tuhan melalui dzat, sifat dan atau atribut yang menyertainya sebagaimana yang telah didiskusikan dalam teologi klasik.
Pandangan Hanafi ini mungkin lebih mirip cara kaum sufi untuk mengenali Tuhan. Yaitu, “siapa mengetahui dirinya (baca: manusia), maka akan mengetahui Tuhannya.” Tetapi, tentunya tidak dalam kerangka untuk ber-ekstasi atau meleburkan diri dengan-Nya. Memahamh diri (manusia) dan segala yang melingkupinya untuk melakukan perubahan sosial menuju gerak kemajuan peradaban umat Islam. Antroposentrisme merupakan paradigma teologi yang menantang kita untuk membangun kreatifitas manusia agar tidak pasrah pada nasib, dan melakukan transformasi sosial. Bukankah “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mengubah nasibnya sendiri”?[MFF]

0 komentar: