02 Mei, 2012

Membincang Kehidupan Pasca Bumi

Oleh: M. Faisol Fatawi

Baru-baru ini, sebuah surat kabar nasional, memuat sebuah tulisan yang bertajuk “Bersiap Menuju Mars” yang ditulis oleh M. Zaid Wahyudi. Dalam tulisan itu disebutkan mengenai obsesi manusia untuk menjadikan planet Mars sebagai “bumi” alternatif yang dapat dijadikan tempat berpijak dan sekaligus untuk menopang kehidupan mereka.
Sejak awal, planet Mars dipilih oleh para peneliti antariksa dari berbagai Negara, seperti Amerika, Rusia dan beberapa Negara maju yang lain, karena Mars-lah planet yang paling mungkin didarati oleh manusia; kondisi geologis Mars memiliki kesamaan dengan bumi. Daratannya berupa kawah gunung yang luas, ada gunung api, danau yang mengering, terdapat bekas daerah sapuan air dan bahkan ditemukan kehidupan renik di bawah lapisan es. Maka tak pelak, berbagai penelitian pun dilakukan demi mewujudkan ambisi “menaklukkan” Mars. Diperkirakan, pendaratan akan terlaksana pada tahun 2035-2040 mengingat jaraknya dari bumi mencapai78,34 juta kilometer; atau sekali perjalanan menuju ke sana butuh waktu 9 bulan.
Yang tak kalah menarik dalam tulisan itu adalah bahwa sebuah perusahaan pengiriman manusia, Virgin Galactic, pada tahun 2012 siap mengirimkan turis luar angkasa ke bulan, meskipun ini bukan pengiriman yang pertama (atau setelah pada tahun 2001, Denis Tito berhasil menjadi turis luar angkasa pertama). Harganya pun tidak tanggung-tanggung, per orang cukup merogoh kocek sebesar sekitar 1,8 milyar untuk mewujudkan impiannya menjadi turis luar angkasa.
Sungguh berita yang luar biasa. Membaca berita tersebut, saya jadi teringat sebuah ayat al-Qur’an yang menyatakan: “Sesungguhnya bumi-Ku sangat luas, maka berhijrahlah di dalamnya.” Pengertian bumi, sebagaimana dalam ayat tersebut, dalam pemahaman umat Islam atau bahkan dalam tafsir-tafsir yang ada, dipahami sebagai bumi yang sekarang ini dijadikan tempat berpijak oleh semua umat manusia. Jika obsesi para ilmuwan untuk menjadikan planet Mars sebagai alternatif tempat kehidupan manusia menjadi kenyataan, maka mau tidak mau pengertian bumi tidak dapat lagi kita pahami sebagai tempat yang sekarang ini dihuni oleh bermilyar-milyar manusia. Pengertian bumi, sebagaimana dalam ayat al-Qur’an tersebut di atas, tentunya tidak lain adalah sebuah arti majazi mengenai tempat, dimana didalamnya manusia dan makhluk-makhluk lainnya bisa hidup. Dengan demikian, Mars dan planet-planet yang lainnya bisa jadi masuk dalam perngetian bumi (al-ardl) seperti yang singgung oleh ayat tersebut di atas.
Pembacaan seperti itu tidak bermaksud untuk melakukan penafsiran ayat al-Qur’an secara ilmiy. Artinya, memahami maksud al-Qur’an sesuai dengan teori-teori keilmuan modern untuk menemukan apa yang disebut dengan kemukjizatan ilmiah dalam al-Qur’an. Saya mungkin termasuk orang yang tidak sependapat dengan model penafsiran ilmiy terhadap kalam Allah yang suci.  Karena, turunnya al-Qur’an pada awalnya bukan merupakan kitab yang memuat teori ilmu pengetahuan, sehingga al-Qur’an tidak terjebak pada keberpihakan pada teori tertentu. Tetapi, lebih merupakan fakta bahasa yang mengusung nilai-nilai moral (moral values) dengan tujuan untuk membangun moral umat manusia sehingga dapat mencapai kehidupan yang utama.
Harus disadari, setiap pembacaan, penafsiran atau usaha apapun yang dilakukan untuk memahami bahasa al-Qur’an memiliki keterbatasan masing-masing. Keterbatasan ini muncul karena perbedaan modal pengetahuan dan intellectual imagination yang dimiliki oleh masing-masing orang. Oleh karena itu, setiap penafsiran tidak patut mengklaim dirinya sebagai sebuah kebenaran yang mutlak. Maksud kalam Tuhan pasti tidak akan pernah dipahami oleh manusia secara benar dalam pengertian sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh-Nya. Klaim kebenaran seseorang atas hasil pemahamannya terhadap kalam Tuhan tidak lain merupakan wujud dari ketidak-mampuannya dalam memahami eksistensi dirinya sendiri.
Perbincangan mengenai kemungkinan planet Mars atau planet-planet lainnya yang kelak mungkin dapat menjadi alternatif “tempat berpijak” bagi makhluk hidup, juga mengingatkan kita semua pada perdebatan klasik tentang akhir kehidupan dunia; apakah dunia ini kekal atau tidak. Predeksi bahwa planet Mars atau ada planet lain yang—seiring dengan evolusi alam—merupakan hal yang mungkin akan menjadi kenyataan. Seseorang akan membayangkan, bumi yang semakin tua usianya ini dari hari ke hari semakin menahan beban (berbagai macam kerusakan akibat ulah tangan manusia) sehingga suatu saat menjadi tempat yang sangat tidak layak untuk dihuni. Ketika hal ini terjadi, maka sangat mungkin bumi yang sekarang ini menjadi tempat berpijak kita akan ditinggalkan para penghuninya. Tetapi kapan? Wallahu al’am. Kita tidak bisa memastikannya. Bumi kita ini akan digantikan dengan planet (baca: bumi) yang lain. Inilah akhir kehidupan di bumi, tetapi tidak bagi kehidupan umat manusia. Manusia akan berhijrah ke planet lain yang layak dihuni seiring dengan evolusi hukum alam. Kalau seperti ini benar adanya, maka barakhirnya kehidupan umat manusia dan segala yang mengitarinya (sifat fana’), menjadi hal yang mustahil. Kalau ini terjadi, mungkin kita patut merenungkan pendapat filosof Ar-Razi yang meyakini bahwa dunia ini kekal, bukan fana’.
Melalui kemajuan teknologi, manusia terus melakukan eksplorasi terhadap segala isi jagat raya ini. Kalau memang temuan dan terobosan para ilmuwan tentang kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi (seperti planet Mars dan planet-planet lainnya) itu benar, maka mungkinkah kehidupan bumi akan berakhir (tidak kekal)? Atau temuan itu malah semakin menguatkan tesis sang filosof Ar-Razi tentang adanya kekekalan kehidupan di dunia? Setidaknya kemajuan tekonologi modern dan berbagai temuan yang dihasilkannya, akan mengusik diskusi-diskusi lama tentang sifat kekekalan kehidupan dunia ini. [mff]

0 komentar: