05 Juni, 2012

Mencermati Nalar Pendidikan Kita


Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan merupakan hal yang paling urgen. Pendidikan menjadi dunia tempaan bagi setiap generasi dalam rangka mencerdarkan kehidupan bangsa. Mengingat pentingnya pendidikan, pemerintah pun mencanangkan wajib belajar 12 tahun bagi setiap anak bangsa. Disinyalir keterbelakangan bangsa karena diakibatkan oleh minimnya masyarakat dalam mengenyam pendidikan.
Dalam kenyataannya, pendidikan di Indonesia justru melahirkan  insan-insan yang bermental “tidak terdidik”. Mata anak bangsa justru dipertontonkan oleh praktik-praktik dan perilaku-perilaku yang jauh dari cerminan sebagai seorang terdidik. Lihat saja, praktik korupsi yang merajalela di hampir setiap instansi pemerintah, bahkan merambah juga kedalam lembaga pendidikan. Yang lebih menohok mata kita semua adalah pratik  korupsi  yang terjadi di DPR, sebuah lembaga tempat para wakil rakyat, yang note bene berlatarbelakang kaum terdidik.
Kenyataan hampir serupa juga dapat kita temukan pada maraknya praktik kecurangan yang terjadi dalam hampir setiap ujian nasional di negeri ini. Siswa yang seyogyanya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, dengan terang-terangan—dan bahkan secara massal—melakukan pencontekan di ruang kelas saat ujian. Lebih naif lagi, terkadang praktik pencontekan itu dikoordinir secara sengaja oleh pihak-pihak tertentu. Sungguh suatu ironi. Lalu, apa yang salah terkait dengan dunia pendidikan di negeri ini?
Melihat kenyataan seperti itu, ada dua hal yang patut kita perhatikan. Pertama, nalar pendidikan di Indonesia telah  terjebak dengan paradigma positifistik. Segala yang terkait dengan pendidikan di negeri ini selalu dinilai dengan angka. Angka menjadi parameter berhasil atau lulus-tidaknya seorang peserta didik. Karena itu, tidak  mengherankan jika seorang peserta didik selalu berorientasi pada nilai (baca: angka). Orientasi nilai seperti ini telah mendarah-daging dalam dunia pendidikan kita, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Kedua, menguatnya cara pikir pragmatis di tengah masyarakat. Masyarakat dalam menyekolahkan anaknya berorientasi pada kerja. Seorang anak dimasukkan ke sekolah agar di kemudian hari—dengan ijazah yang diperolehnya—mendapat perkejaan yang layak. Dunia pendidikan dijadikan sebagai tempat transit untuk mendapatkan pekerjaan, tidak lagi menjadi wahana untuk memperoleh pengetahuan.
Paradigma positifistik centris berujung pada pengesampingan aspek di luar rasio dalam memberikan penilaian terhadap peserta didik dalam proses belajar. Nilai akhir pembelajaran menjadi segalanya, sementara pendidikan sebagai sebuah proses menjadi terabaikan. Maka tak jarang, kita sering menemukan orang bangga dengan nilai tinggi tetapi kualitas pengetahuannya sangat rendah.
Paradigma seperti itu menjadi semakin lengkap dengan menguatnya cara pikir pragmatisme di tengah masyarakat. Mayoritas masyarakat hampir menganggap sekolah atau lembaga pendirikan sebagai lumbung pencetak pekerja; sekolah setinggi-tingginya demi mencari kerja. Coba saja kalau kita melihat iklan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Betapa dalam iklan itu, publik secara tidak sadar diarahkan pada cara pikir pragmatis; bahwa dengan memasukkan anaknya ke SMK, maka yang bersangkutan akan siap mendapatkan pekerjaan. Masih banyak lagi iklan pendidikan yang mengiming-imingi masa depan kerja yang jelas.
Orientasi pragmatis dan paradigma positifistik dalam dunia pendidikan semakin menjauhkan diri kita pada makna dan hakekat pendidikan itu sendiri. Sejatinya, pendidikan tidak saja berorientasi pada peningkatan pengetahuan dan penguasaan teori-teori yang hanya berujung pada dimensi rasionalitas di satu sisi,  atau berorientasi pada kerja dan kerja di sisi lain. Kita boleh saja merancang atau mencita-citakan masa depan lewat pendidikan. Tetapi, tetap tidak boleh keluar dari roh pendidikan itu sendiri.
Hakekat Pendidikan tidak lain adalah membekali diri dengan ilmu pengetahuan untuk menghilangkan ketidak-tahuan-kebodohan dalam rangka menjalani hidup yang berkualitas (al-suluk al-fadhil). Dengan pengetahuan, seseorang diharapkan mampu menjadi insan yang sempurna, bijaksana dalam menjalani hidup dan menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya. Orientasi pragmatis dan paradigma positifistik yang mulai mengakar dalam dunia pendidikan kita, hanya akan memasung kreatifiitas manusia, serta menghadapkannya pada pandangan dunia yang sempit dan serba terbatas. [mff]