Oleh: M. Faisol Fatawi
Dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara, pendidikan merupakan hal yang paling urgen. Pendidikan
menjadi dunia tempaan bagi setiap generasi dalam rangka mencerdarkan kehidupan
bangsa. Mengingat pentingnya pendidikan, pemerintah pun mencanangkan wajib
belajar 12 tahun bagi setiap anak bangsa. Disinyalir keterbelakangan bangsa
karena diakibatkan oleh minimnya masyarakat dalam mengenyam pendidikan.
Dalam kenyataannya, pendidikan
di Indonesia justru melahirkan
insan-insan yang bermental “tidak terdidik”. Mata anak bangsa justru
dipertontonkan oleh praktik-praktik dan perilaku-perilaku yang jauh dari
cerminan sebagai seorang terdidik. Lihat saja, praktik korupsi yang merajalela
di hampir setiap instansi pemerintah, bahkan merambah juga kedalam lembaga pendidikan.
Yang lebih menohok mata kita semua adalah pratik korupsi
yang terjadi di DPR, sebuah lembaga tempat para wakil rakyat, yang note
bene berlatarbelakang kaum terdidik.
Kenyataan hampir serupa juga
dapat kita temukan pada maraknya praktik kecurangan yang terjadi dalam hampir
setiap ujian nasional di negeri ini. Siswa yang seyogyanya menjunjung tinggi
nilai-nilai kejujuran, dengan terang-terangan—dan bahkan secara
massal—melakukan pencontekan di ruang kelas saat ujian. Lebih naif lagi,
terkadang praktik pencontekan itu dikoordinir secara sengaja oleh pihak-pihak
tertentu. Sungguh suatu ironi. Lalu, apa yang salah terkait dengan dunia
pendidikan di negeri ini?
Melihat kenyataan seperti itu,
ada dua hal yang patut kita perhatikan. Pertama, nalar pendidikan di
Indonesia telah terjebak dengan
paradigma positifistik. Segala yang terkait dengan pendidikan di negeri ini
selalu dinilai dengan angka. Angka menjadi parameter berhasil atau
lulus-tidaknya seorang peserta didik. Karena itu, tidak mengherankan jika seorang peserta didik
selalu berorientasi pada nilai (baca: angka). Orientasi nilai seperti ini telah
mendarah-daging dalam dunia pendidikan kita, mulai dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi.
Kedua, menguatnya cara pikir
pragmatis di tengah masyarakat. Masyarakat dalam menyekolahkan anaknya
berorientasi pada kerja. Seorang anak dimasukkan ke sekolah agar di kemudian
hari—dengan ijazah yang diperolehnya—mendapat perkejaan yang layak. Dunia
pendidikan dijadikan sebagai tempat transit untuk mendapatkan pekerjaan, tidak
lagi menjadi wahana untuk memperoleh pengetahuan.
Paradigma positifistik centris
berujung pada pengesampingan aspek di luar rasio dalam memberikan penilaian
terhadap peserta didik dalam proses belajar. Nilai akhir pembelajaran menjadi segalanya,
sementara pendidikan sebagai sebuah proses menjadi terabaikan. Maka tak jarang,
kita sering menemukan orang bangga dengan nilai tinggi tetapi kualitas
pengetahuannya sangat rendah.
Paradigma seperti itu menjadi
semakin lengkap dengan menguatnya cara pikir pragmatisme di tengah masyarakat.
Mayoritas masyarakat hampir menganggap sekolah atau lembaga pendirikan sebagai
lumbung pencetak pekerja; sekolah setinggi-tingginya demi mencari kerja. Coba
saja kalau kita melihat iklan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Betapa dalam
iklan itu, publik secara tidak sadar diarahkan pada cara pikir pragmatis; bahwa
dengan memasukkan anaknya ke SMK, maka yang bersangkutan akan siap mendapatkan
pekerjaan. Masih banyak lagi iklan pendidikan yang mengiming-imingi masa depan
kerja yang jelas.
Orientasi pragmatis dan
paradigma positifistik dalam dunia pendidikan semakin menjauhkan diri kita pada
makna dan hakekat pendidikan itu sendiri. Sejatinya, pendidikan tidak saja
berorientasi pada peningkatan pengetahuan dan penguasaan teori-teori yang hanya
berujung pada dimensi rasionalitas di satu sisi, atau berorientasi pada kerja dan kerja di
sisi lain. Kita boleh saja merancang atau mencita-citakan masa depan lewat
pendidikan. Tetapi, tetap tidak boleh keluar dari roh pendidikan itu sendiri.
Hakekat Pendidikan tidak lain
adalah membekali diri dengan ilmu pengetahuan untuk menghilangkan
ketidak-tahuan-kebodohan dalam rangka menjalani hidup yang berkualitas (al-suluk
al-fadhil). Dengan pengetahuan, seseorang diharapkan mampu menjadi insan
yang sempurna, bijaksana dalam menjalani hidup dan menghadapi
tantangan-tantangan yang dihadapinya. Orientasi pragmatis dan paradigma
positifistik yang mulai mengakar dalam dunia pendidikan kita, hanya akan
memasung kreatifiitas manusia, serta menghadapkannya pada pandangan dunia yang
sempit dan serba terbatas. [mff]
2 komentar:
Bagus artikelnya
Public Education
Posting Komentar