29 Oktober, 2009

Tanah Air-ku

Tanah air
air tanah
tanahku air
hilang sirna ditelan perut bumi
kutemui Khidlir penjaga hilir
meminta seteguk air
air mataku tumpah
tumpah .. tumpah ..
dirampas keangkuhan jiwa


Malang, 28 Okt 2009

11 September, 2009

Zakat dan Etika Sosial

Oleh: M.Faisol Fatawi

Dalam agama Islam, zakat merupakan pilar terpenting. Ia termasuk rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Kedudukan zakat tampak semakin jelas manakala Qur’an menyebutkannya sebanding dengan kedudukan shalat. Ada sekitar dua puluh tujuh ayat dalam Qur’an yang menjelaskan kewajiban untuk menunaikan zakat dan melaksanakan shalat yang dirangkai secara sejajar dan berurutan dalam satu ayat. “Aqimu al-Shalah wa Atu al-Zakah” (dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat), demikianlah kira-kira bunyinya.
Secara bahasa, zakat berarti bertambah dan berkembang. Adapun dalam istilah fiqh zakat dikenal dengan sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Jumlah harta yang diberikan kepada orang yang berhak pun bermacam-macam sesuai dengan jenis barang yang harus dizakati. Orang yang berhak pun beragam: menurut ketentuan Qur’an ada delapan golongan (QS at-Taubah: 60).
Di samping zakat, jenis pemberian barang kepada orang lain disebut dengan shadaqah dan infaq. Kalau operasional zakat diatur secara khusus dengan adanya beberapa ketentuan-ketentuan tertentu, maka shadaqah atau infaq lebih bebas dari itu. Jumlah perintah bersedekah atau infaq di dalam Qur’an dapat kita temukan hampir sebanding dengan jumlah ayat yang memerintahkan untuk mengeluarkan zakat, bahkan mungkin lebih.
Aspek paling utama yang membedakan zakat sebagai rukun agama dengan rukun-rukun yang lain adalah bahwa zakat memiliki keterkaitan langsung dengan realitas kehidupan yang sebenarnya. Dengan kata lain, zakatlah satu-satunya rukun Islam yang pelaksanaannya terkait langsung dengan praktek kehidupan manusia. Kesaksian syahadat hanya menyangkut perjanjian individu dengan Tuhannya, shalat dilaksanakan di hadapan Tuhan sebagai pintu penghambaan, puasa dilakukan dengan cara menahan diri dari lapar dan dahaga, dan haji dilangsungkan di hadapan Ka’bah, namun zakat dilakukan dengan memberikan sejumlah harta benda kepada manusia.
Selain itu, zakat merupakan rukun agama yang menjadi sarana untuk menuju sebuah maqam antara individu dengan Tuhannya dan antara individu dengan sesama. Melalui pintu masuk zakat, seorang muslim tidak saja memasuki pintu penghambaan (hablum minallah), tetapi secara sadar maupun tidak ia telah memasuki sisi sosial kemasyarakatan. Hablum minallah (hubungan dengan manusia) sekaligus hablum minannas (hubungan dengan Tuhan).
Membangun tata kehidupan yang damai merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum kita menghamba pada Tuhan. Kita tidak mungkin melakukan ibadah kecuali kita berada dalam situasi dan kondisi yang tenang dan damai. Agar tatanan kehidupan berjalan di atas kedamaian dan ketenangan, maka harus dibangun pola hubungan antar individu dengan individu yang lain secara seimbang. Antara satu sama lain harus saling membantu: yang kaya membantu yang miskin dan yang kuat menolong yang lemah.
Dalam pengertian ini, zakat adalah sebuah pilar agama yang mengisyaratkan perlawanan terhadap segala bentuk sikap individualis, sebuah sikap yang mementing diri sendiri tanpa memperhatikan orang lain sebagai satu kesatuan kehidupan di atas dunia. Pengingkaran terhadap adanya wujud individu lain yang berada di luar dirinya melahirkan sikap tertutup: menolak keberadaan manusia sebagai makhluk sosial.
Si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah, dan seterusnya, merupakan satu kesatuan kehidupan yang faktanya tidak dapat ditolak. Seseorang yang kaya tidak akan pernah disebut (baca: berstatus) kaya manakala tidak ada orang yang secara materiil berada di bawahnya (baca: si miskin). Demikian halnya seorang disebut kuat manakala di sana ada yang tidak kuat. Ada hubungan timbal balik yang saling menguatkan keberadaan kedua belah pihak. Sekarang, tinggal bagaimana kita memaknai hubungan tersebut: apakah dimaknai sebagai hubungan yang saling menekan, menguasai, menghimpit, atau menindas?
Hubungan antar sesama (atau yang dalam bahasa agama lebih tegas disebut dengan hablum minannas) merupakan titik tolak dari semua kehidupan. Semakin kita dapat memahami dan memaknai hubungan ini, maka keberadaan hidup dan diri (dzat) semakin berarti dalam mengisi kehidupan itu sendiri. Di sana kedirian kita dapat ditemukan. Selama kedirian kita tidak ditemukan dalam menjalin hubungan antar sesama, maka kita pun pasti mengalami kehinaan diri (dzillah): lihat misalnya surat Ali Imran: 112).
Zakat mengingatkan dan menyadarkan kita akan arti penting menjalin hubungan antar sesama itu, sekaligus merupakan bentuk partisipasi konkrit-aktif untuk mewujudkan misi kemanusiaan agama dalam rangka melakukan perubahan sosial dan membangun peradaban dunia. Pemberian sebagian harta pada kelompok yang lemah dari si kaya mengisyaratkan sikap persaudaraan kemanusiaan.
Apabila zakat mencakup dimensi kemanusiaan, maka zakat itu merupakan sarana-bertujuan dalam rangka mewujudkan kesetaraan material dan ideal. Ia memberikan penjelasan mengenai penderitaan yang dimengerti sebagai sesuatu yang tidak adil. Kalau seseorang secara individual tidak menginginkan hidup dalam kesusahan dan penderitaan, maka orang lain juga tidak menginginkan seperti itu. Kalau seseorang secara pribadi ingin hidup dalam serba kecukupan, maka begitu pula dengan orang lain. Kebahagiaan itulah yang dicari dan didambakan oleh setiap individu. Wujud kebahagiaan dalam zakat adalah membangun kebahagiaan bagi orang lain demi kemaslahatan bersama yang di dalamnya kebahagiaan itu sendiri dibangun. Dalam pengertian sarana-bertujuan ini, mengeluarkan zakat berarti menggupayakan tegaknya kemaslahatan dan kebahagiaan bersama.
Dengan demikian, zakat merupakan etika (akhlak) sosial. Ia merupakan wujud tanggungjawab sosial dalam memandang kesatuan hubungan kemanusiaan dalam kerangka tindakan kemasyarakatan. Kalau perintah mengeluarkan zakat dalam berbagai ayat dipersandingkan dengan perintah melaksanakan shalat, itu berarti status perintah zakat sejajar dengan status perintah shalat. Apabila shalat –sebagaimana dalam sebuah hadis-- merupakan tiang agama, barang siapa yang tidak mengerjakannya sama dengan merobohkan agama dan barang siapa yang mengerjakannya berarti mengokohkan agama, maka tidak mengeluarkan zakat pun berarti sama dengan merongrong agama. Tak heran, karena pertimbangan inilah, orang yang tidak mengeluarkan zakat dikategorikan sebgai kafir. Kafir bukan dalam arti tidak mempercayai Allah, Nabi, malaikat, dan atau rukun iman yang lain, tetapi kafir dalam pengertian tertutupnya hati nurani atas tanggungjawab kemanusiaan: menyepelekan akhlak (baca: etika) sosial.
Dengan zakat itu dapat dipahami sebagai pertama, konsep agama tentang dunia yang dirasionalisasikan dari satu pandangan untuk totalitas hubungan antar pribadi manusia yang diatur secara normatif. Kedua, merupakan diferensiasi sikap etis yang dapat dipakai orang untuk menguji norma-norma. Ketiga, ia mengembangkan konsep pribadi yang universal sekaligus individualis yang berkaitan dengan suara hati dan tanggungjawab moral. Dengan demikian zakat merupakan konstruksi paradigmatis-normatif yang dapat dimanfaatkan untuk menyususn sebuah strategi kebudayaan untuk mengendalikan sistem dan integrasi sosial.
Dimensi etis-sosial seperti itu dalam kalangan masyarakat Islam masih belum terbangun.. Zakat masih dipahami sebagai kewajiban yang lebih terkesan sebagai tanggungjawab teologis. Karena itu, zakat pun “lebih” dipahami sebagai ritual tahunan belaka yang bersifat karikatif. Bahkan tak jarang didramatisir sedimikian rupa untuk mengukuhkan kepentingan individu: melegitimasi kedudukan diri di tengah masyarakat.[mff]

09 September, 2009

Nuzulul Qur’an dan Budaya Baca Kita
Oleh: M. Faisol Fatawi

Nuzulul Qur’an berarti turunnya al-Qur’an. Al-Qur’an, kitab umat Islam yang agung dan mulia ini, diturunkan pada bulan Ramadhan. Tepatnya di gua Hiro’, baginda Muhammad Saw menerima wahyu pertama pada malam 17 Ramadhan. Al-Qur’an yang suci diturunkan pada bulan yang suci pula.
Dalam cerita yang sudah masyhur disebutkan, bahwa ketika baginda Rasulullah Saw menerima wahyu pertama dari Allah melalui malaikat Jibril, tubuh beliau bergetar hebat dan seluruh keringatnya mengucur deras. Beliau Saw ketika itu diperintah oleh malaikat Jibril untuk menirukan wahyu yang telah dibawanya. “Iqra’,” begitulah perintah malaikat Jibril. Tetapi nabi pun tidak bisa menirukannya, hingga berkali-kali Jibril mengulainya sampai beliau bisa. Setelah baginda nabi bisa menirukannya, maka dibacakanlah lima ayat pertama dari surat al-Alaq; iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq ... dst.
Usai menerima wahyu pertama dari Jibril, baginda Rasul pun pulang ke rumah. Sesampai di rumah beliau disambut oleh sang istri tercinta, Siti Khadijah. Sang istri merasa kaget dengan kondisi beliau yang menggigil seperti kedinginan. Baginda Rasul menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya di gua Hiro’ kepada Siti Khadijah. Kemudian Khadijah menceritakannya apa yang dialami oleh suaminya itu kepada saudaranya, Waraqoh bin Naufal. Satu jawaban yang terlontar dari bibir Waroqoh, sang Rahib itu. Yaitu, bahwa Rasulullah Saw telah mendapat wahyu dari Allah, dan bahwa orang yang mendatangi beliau ketika di gua Hiro’ tidak lain adalah orang yang pernah mendatangi nabi Musa, yakni malaikat Jibril. Singkatnya, sejak saat itu baginda Muhammad Saw telah diutus sebagai nabi dan rasul Allah.
Kata iqra’ yang merupakan wahyu pertama yang diturunkan kepada baginda nabi tidak lain adalah kalimat perintah (fi’il amar) yang berarti bacalah!. Di sini, perintah membaca dapat dikategorikan kedalam tiga pengertian. Pertama, membaca dalam pengertian dzikir kepada Allah dengan membaca nama-nama Allah atau kalimat-kalimat thoyyibah dan lain-lain. Atau termasuk juga dalam kategori pertama melakukan tadabbur atas segala yang diberikan Allah kepada umat manusia. Pengertian seperti ini lebih cenderung pada dimensi teologis-keimanan.
Kedua, membaca sebagai aktifitas jasmani yang melibatkan panca indera atau anggota tubuh yang ada, seperti mata, pikiran dan seterusnya. Pengertian kedua ini merupakan pengertian yang dapat diambil dari konteks keseluruhan lima ayat dari surat al-Alaq yang telah diturunkan kepada baginda nabi Saw. Konteks yang dimaksud adalah bahwa di dalam ayat ini Allah telah menghubungkan dengan proses penciptaan manusia dan pengajaran terhadap manusia dari yang semula tidak mengerti menjadi orang yang memiliki pengetahuan.
Oleh karena itu, membaca dalam pengertian yang kedua itu merupakan proses pemerolehan pengetahuan. Membaca yang dimaksud adalah creative reading (membaca yang kreatif). Dalam creative reading, aktifitas membaca tidak berjalan sekedar membaca begitu saja, tetapi membaca itu dapat memberikan dampak, seperti tambahan pengetahuan, atau bahkan marangsang terjadinya dialektika pengetahuan dalam batin dan pikiran pembaca. Membaca seperti ini lebih dekat pada aktifitas pengetahuan (al-amaliyah al-ma’rafiyah). Dan tumbuh berkembanganya ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari aktifitas membaca yang seperti itu.
Turunnya al-Qur’an telah diawali dengan perintah iqra’ yang merupakan bentuk ujaran yang bersifat aktif. Artinya, bahwa perintah “bacalah!” menuntut adanya respon audiens (mukhathab) untuk memenuhi tuntutan sebagaimana yang diinginkan oleh orang pertama (mutakallim wahdah). Secara mafhum mukhalafah perintah iqra’ dapat dipahami sebagai perintah untuk membuang kebodohan, dan menimba ilmu pengetahuan. Dengan membaca, seseorang akan mendapat pengetahuan, informasi dan hal-hal yang baru.
Al-Qur’an diturunkan tidak saja dapat dipandang sebagai bukti kenabian baginda Muhammad Saw., tetapi juga sebagai titik revolusi kesadaran pengetahuan umat manusia, khususnya bagi umat Islam untuk melakukan perubahan diri, dari ketidak-tahuan menuju diri ‘yang mengetahui’ (al-dzat al-arif)—arif di sini bukan dalam pengertian kaum sufi. Membaca adalah tonggak awal yang dapat merangsang tumbuhnya aktifitas pengetahuan yang lain, seperti menulis; membaca dan menulis adalah dua aktifitas yang sangat dekat dalam proses pemerolehan pengetahuan. Maka tidak heran, jika Adones menyebutkan bahwa eksistensi al-Qur’an telah merangsang tumbuhnya wawasan untuk menulis.
Sebagian intelektual Islam awal menyatakan bahwa al-Qur’an berarti bacaan, karena berasal dari kata qara’a. Baik al-Qur’an maupun iqra’, keduanya memiliki derivat kata yang sama. Membaca al-Qur’an adalah ibadah. Lebih ‘beribadah’ lagi, menjadikan aktifitas membaca sebagai budaya dalam keseharian kita. [mff]

03 September, 2009

MEMBACA PROYEK PERADABAN HASAN HANAFI (3)

Oleh: M.Faisol Fatawi

• Oksidentalisme: Menantang Barat
Oksidentalisme ini merupakan kelanjutan dan realisasi dari proyek Kiri Islam sebagai proyek peradaban untuk menentang hegemoni Barat. Concern dari Oksidentalisme adalah mempersoalkan ke-centralan peradaban Barat (eurocentriscity); menggugat dualisme antara pusat dan pinggir pada tingkat peradaban; mengembalikan keseimbangan peradaban manusia, dengan menelanjangi secara kritis kesadaran Barat-Eropa; meluruskan konsep keinternasionalisasian budaya Barat; dan pada akhirnya mengakhiri mitologi kebesaran peradaban Barat.
Menjadikan Barat sebagai subjek berarti menceburkan identitas diri sendiri ke dalamnya, dan ini bahaya karena akan tercerabut dari akar kediriannya. Bagi Hanafi kita perlu menjaga identitas dari kepunahan yang disebabkan oleh westernisasi. Untuk itu mestinya ada beberapa hal yang semestinya diperhatikan: 1) qur’an melarang untuk “membebek” pada orang lain, terutama non-muslim, karena mereka adalah musuh Islam yang akan memberangus identitas diri kita, 2) kita harus membuang budaya ikut-ikutan (taklid), 3) kita harus meneladani kembali pemikiran Islam Klasik yang mampu menciptakan budaya besar tanpa kehilangan identitasn, 4) kita mesti tetap memegang dan mengembangkan budaya kritik, meskipun faktanya pemikiran Islam banyak diwarnai oleh budaya Barat, 5) memperhatikan gerakan Islam sekarang yang berada di Barat, dan 6) meneladani sikap para pendahulu yang gigih mempertahankan diri dari serangan luar.
Dalam pandangan Hanafi, ptaktek Oksidentalisme pernah terjadi pada abad pertengahan, saat itu Islam bertemu dengan peradaban Yunani Kuno –ini yang dalam sejarah disebut dengan masa kodifikasi (ashr al-tadwin). Pada saat itu, Islam menjadi subjek untuk mengkaji peradaban Yunani. Menurutnya proses itu berlangsung secara gradual lewat: 1) penerjemahan yaitu dengan memperhatikan bobot muatan makna daripada lafaz untuk ditransref ke dalam bahasa Arab, 2) pensyarahan yaitu dengan memperhatikan objek untuk dijelaskan struktur kandungan lafadz dan makna secara bersamaan, 3) rangkuman yaitu dengan mengambil inti pemikiran tanpa mengurangi sedikitpun, 4) menyusun kembali peradaban al-wafid (peradaban tamu) dengan menjelaskan dan menyempurnakannya, 5) menyusun objek-objek peradaban al-wafid dengan mendialogkan pada peradaban yang dimiliki (al-mauruts), 6) melakukan kritik terhadap budaya al-wafid dengan meletakkan posisi dan mengembalikan pada lingkungannya, dan 7) menolak teks al-wafid dengan mempertanyakannya.
Pada akhirnya, hasil yang ingin dicapai, menurut Hanafi, dengan Oksidentalisme ini adalah menguasai kesadaran Barat-Eropa; memahami kesadaran Barat-Eropa sebagai realitas sejarah yang in historis; mengembalikan pada batas kelamiahannya dan mengakhiri perang peradaban serta mengembalikan filsafat Eropa pada tempatnya; mengeksplorasi genuin budaya lokal dari setiap peradaban masyarakat; melapangkan kreatifitas diri masyarakat dan mebebaskannya dari tipuan
nalar; melapangkan proses kreatif-efektif untuk mengurangi budaya konsumtif sehingga mampu menguasai yang lain; menulis kembali sejarah peradaban dunia secara seimbang; memulai babak baru filsafat sejarah dengan berangkat dari Timur; mengakhiri orientalisme dan menjadikannya sebagai objek; menjadikan oksidentalisme sebagai ilmu yang cermat; membentuk kelompok pakar pengkaji nasional yang memperhatikan peradabannya sendiri dari cara pandang tempat ia tinggal, bukan cara pandangn orang lain (Barat); membentuk generasi baru yang dapat disebut dengan para filosof; melakukan pembebasan diri dari pijakan ontologis kediriannya, bukan sekedar pengetahuan; dan menciptakan babak baru dunia kemanusiaan yang berdasarkan pada persamaan, terbebas dari unsur-unsur etnisitas.
• Metode Pemikiran Hasan Hanafi
Bahwa Hanafi adalah pemikir yang akrab dengan tradisi filsafat Marx. Pandangan populistik-sosialistik-nasionalistik yang pada dasa warsa 60-an menjadi pandangan yang mendominasi negara-negara Arab, yang menjadi ideologi pan-Arabisme, telah mewarnai pemikirannya. Tak heran jika Hanafi pun mencita-citakan persatuan umat Islam sebagaimana yang diperjuangkan oleh al-Afghani. Ia menggunakan metode dialektika dalam mensistematisasikan pengetahuan dan pengalamannya ke dalam satu keutuhan yang inklusif. Proses sejarah berlangsung lewat konfrontasi dialektis dimana tesis menimbulkan anti tesis dan keduanya diangkat menjadi sintesis.
Dalam pemikiran Hasan Hanafi, metode tersebut dipakai ketika untuk menentukan titik pijak dalam melakukan pembaharuan tradisi: menjelaskan posisi kita di tengah tiga realitas: tradisi masa lampau, tradisi Barat, dan realitas kontemporer. Dan tradisi itu, menurutnya, toh hanya bisa dijelaskan dengan sejarah; mengetahui susunan dan akarnya, lalu menfungsikannya untuk melakukan transformasi sosial. Oleh karena itu, ia menghindari pendekatan pragmatis terhadap tradisi, karena ini –seringkali-- berujung pada ideologisasi.
Hanafi dalam proyek pembaharuan juga menfungsikan agama sebagai spirit gerak menuju keluar. Agama itu memberikan spirit pembebasan manusia. Ia harus bergerak dari seperangkat aturan normatif (akidah) menuju praksis. Bahkan agama memberikan semangat revolusioner. Dalam menangkap semangat ini, Hanafi merujuk pada teks-teks agama. Memahami kembali teks-teks agama pun tidak dapat ditolak, bahkan menjadi sebuah keniscayaan, lebih-lebih untuk mendapatkan legitimasi bagi proyek pembaharuannya, karena kalau tidak demikian kita akan tercerabut dari akar dan identitas diri sendiri. Ia pun tak tanggung-tanggung melakukan kritik internal. Di sinilah kita dapat mengatakan kalau ia menggunakan hermeneutika sebagai pisau bedah untuk merealisasikan semua itu.
Persentuhan Hasan Hanafi dengan tradisi filsafat Eropa, rupanya tidak dapat menghindarkan dirinya untuk menggunakan fenomenologi. Fenomenologi ini digunakan oleh Hanafi untuk menghindari pembahasan metafisis yang tidak memiliki relevansi lagi untuk menggambarkan realitas manusiawi dan realitas ilahi. Dalam rekonstruksinya terhadap ilmu kalam misalnya, ia menghindari pembahasan tentang sifat dan dzat ketuhanan yang telah menjadi titik perdebatan teologi klasik. Bagaimanapun juga Tuhan tidak dapat diketahui oleh siapapun dan kapanpun. Oleh karena itu, ia meletakkan ketuhanan sebagai landasan aksiomatis. Yang terpenting baginya kemudian adalah membumikan teologi klasik menjadi teologi yang antroposentris.
Pada kesempatan yang lain, Hanafi tampak menggunakan penggabungan dari berbagai madzhab, terutama pada khazanah intelektual klasik: menjadikan tradisi berpikir rasionalistik yang pernah dikembangkan oleh –seperti—muktazilah, Imam Maliki (Madzhab Maliki), Ibnu Rusyd, dan al-Kindi. Penggabungan berbagai metode (baca: cara berpikir) ini lebih dikenal dengan metode eklektik. Metode ini tak dapat dipugkiri ketika kita membaca pikiran Hasan Hanafi, khususnya dalam proyek kiri Islamnya.
• Catatan Akhir
Bagaimanapun juga proyek peradaban Hasan Hanafi merupakan proyek yang sangat besar dan merupakan jawaban atas zamannya. Banyak pengamat yang menuduhnya sebagai agen modernis, namun ia segera menampiknya. Malah ia menyatakan bahwa proyek pembaharuannya itu merupakan kelanjutan dari para pembaharu yang mendahuluinya, dengan berpijak pada semangat inovatif-proresif yang menisbatkan diri pada pemikir abad pertengahan semisal Ibnu Rusyd, semangat rasionalisme muktazilah, cara berpikir imam Maliki.
Namun juga tidak jarang dari kalangan pemikir Arab lain yang mengatakan sebaliknya, bahwa Hanafi adalah seorang islamis-salafis. Di antara yang menyatakan demikian Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Jam’ah. Sementara pemikir lain ada yang memasukkan Hanafi sebagai “pemikir organik” dalam pengertian Gramcsi: maksudnya seorang pemikir yang tidak sekedar masuk dalam komunitas masyarakat dan membawa kecemasan kelompoknya, ia telah mempermainakn dirinya sebagai orang yang merepresentasikan kelompok terpandang dan kesadaran hati nurani manusia, namun ia sendiri tidak sadar kalau kecemasan itu juga mewakili dirinya sendiri.
Semangat Hanafi untuk menundukkan Barat karena alasan peradabannya yang hegemonik, dengan menandinginya lewat proyek Oksidentalisme-nya, menyeret dirinya ke dalam "pertarungan" antar peradaban. Atas dasar apakah ia menantang Barat? Atas nama kemanusiaan atau primordialitas keagamaan? Kalau atas nama kemanusiaan, manusia yang mana? Kalau atas nama agama, bukankah agama juga menolak segala bentuk penindasan? Lalu siapa menghegemoni siapa? Di sinilah keangkuhan Hanafi: ia hadir seolah-olah mewakili kanabian dan kerasulan, membalik tatanan sejarah dunia.
Ada satu ciri yang membedakan antara Hasan Hanafi dengan sederetan pemikir Arab-Islam yang lain. Yaitu Hanafi berangkat dari fenomena “pertarungan kelas”. Hanafi melihat bahwa Islam tidak berdaya berhadapan dengan proses proletarisasi massa yang dilakukan oleh sekelompok kelas penguasa (masuk di dalamnya para kapitalis). Tema keadilan –di mata Hanafi—semakin menampakkan urgensitasnya setelah rakyat banyak dirugikan oleh politik pintu terbuka presiden Anwar Sadat yang mendukung gerak laju kapitalisme, bahkan pada saat yang sama terjadi mistifikasi agama oleh pihak tertentu untuk melegitimasi kepentingannya.
Masyarakat Islam, khususnya Mesir, pada saat itu memiliki beberapa kelemahan mencolok. Di antaranya, masyarakat (Mesir) memiliki ketergantungan yang tinggi pada penguasa, kemunafikan, kekaburan, rasa hormat terhadap tabu-tabu sosial, non sense reality, dan kecenderungan untuk mengkultuskan individu. Sementara pengaruh-pengaruh destruktif dari luar tidak lebih daripada sebagai katalisator.
Tak pelak, Hasan Hanafi memusatkan kajiannya pada peran agama di tengah perubahan sosial: dengan menangkap kembali pesan pembebasan agama (keadilan, persamaan, keberpihakan pada kaum dlu’afa, dan lain-lain). instrumentalisasi dan manipulasi agama yang telah dan sedang dilakukan oleh kelompok tertentu (pihak penguasan dan sebagian tokoh agamawan) harus dihentikan karena mematikan daya kritis agama. Tidak jalan lain untuk menghentikannya kecuali dengan mencoba menggali pesan-pesan revolusioner Islam sebagai langkah untuk mengadakan kritik sosial.

02 September, 2009

MEMBACA PROYEK PERADABAN HASAN HANAFI (2)

Oleh: M.Faisol Fatawi

• Kiri Islam (al-Yasar al-Islami)
Kiri Islam merupakan ideologi gerakan revolusi kebangkitan umat Islam: mendapat inspirasi dari seksesnya revolusi Iran, kelanjutan dari al-Urwa al-Mutsqa dan al-Manar (Jamaludin al-Afghani), serta tampil sebagai sosok reformis terhadap tradisi intelektual Islam klasik (sosok Muhammad Abduh). Ia merupakan penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkap realitas dan tendensi sosial politik. Ia berangkat dari perbedaan-perbedaan yang ada pada umat Islam, yaitu antara yang kaya-miskin, kuat-lemah, penindas-tertindas, dan lain-lainnya.
Kiri Islam juga bisa saja disebut dengan Shahwah al-Islam atau Yaqdha al-Islam, Nahdlah Islamiah, al-Ba’ts al-Islami, dan al-Wa’yu al-Islami. Namun apabila Yaqdha al-Islam atau Shahwah al-Islam hanya merujuk pada kebangkitan islam yang saat ini menjadi wacana utama seluruh dunia Islam kecuali di dunia suni, maka Kiri Islam bermaksud mentransformasikan kesadaran individu menjadi kesadaran kolektif, dari kesadaran rasional menuju revolusi realitas. Namun apabila ketiga nama terakhir lebih menonjolkan revolusi internal katimbang eksternal, maka Kiri Islam ingin menggerakkan kedua revolusi itu secara serentak.
Kiri Islam dikonotasikan dengan gerakan kiri keagamaan dalam sejarah agama-agama: merupakan terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Ia adalah istilah akademik dan ilmiah, sebuah istilah politik yang berarti resistensi dan kritisisme serta menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Namun ia juga bukan Islam yang berbaju Marxis, karena itu berarti menafikan makna revolusioner dalam islam itu sendiri. Bukan eklektik antara Marxisme dan islam, karena ini akan menunjukkan pemikiran yang tercerabut dari akar, tanpa ada pertautan erat dengan realitas umat islam. Yang jelas ia mengusik kemapanan.
Kiri Islam lahir karena ketidakberhasilan pembaharuan yang telah berlangsung selama itu: lahir setelah melihat pertama, kooptasi kekuasaan terhadap Islam yang mana Islam hanya dijadikan sekedar sistem ritus dan kepercayaan ukhrawi, kedua bahwa liberalisme yang pernah ada tidak lebih dari sekedar perpanjangan tangan dunia Barat, ketiga Marxisme yang menentang kolonialisme dan berpretensi mewujudkan keadilan, ternyata tidak diikuti oleh pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai kekuatan dalam merealisasikan kemerdekaan nasinal, dan keempat ternyata nasionalisme revolusioner yang telah berhasil merubah secara radikal sistem politik tidak berlangsung lama.
Di samping itu, Kiri Islam juga masih tetap berpijak pada khazanah intelektual masa lampau, dengan menjadikan pandangan rasionalistik muktazilah, cara berfikir Imam Maliki, filsafat rasionalisnya Ibnu Rusyd atau al-Kindi, sebagai pijakan paradigmatik independen pemikiran keagamaannya. Tetap memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu normatif-tradisional murni, misalnya tentang ulum al-qur’an dengan mengutamakan dimensi realitas, al-hadis dengan mengutamakan matan teks, dan ilmu tafsir dengan mengutamakan pada tafsir perseptif (al-Syu’uri).
Dengan demikian, sebagai ideologi revolusioner bagi kebangkitan Islam, Kiri Islam mengusung tiga agenda, pertama pembaharuan tradisi Islam masa lampau, kedua menantang peradaban Barat dengan mengusulkan Oksidentalisme, dan ketiga melakukan analisis realitas dunia Islam.
• Pembaharuan Tradisi
Proyek pembaharuan tradisi masih memiliki keterkaitan erat dengan Kiri Islam. Bukan berarti pembaharuan tradisi adalah satu hal dan Kiri Islam adalah hal lain. Bagi Hanafi sendiri Kiri Islam adalah sebuah proyek peradaban. Kiri Islam –kalau boleh dikatakan—adalah baju ideologi reavolusioner bagi kebangkitan Islam untuk menentang segala bentuk kemapaan. Tidak ada tabrakan antara proyek pembaharuan tradisi dan Kiri Islam.
Bagi Hasan Hanafi, tradisi merupakan starting point (nuqthah al-bidayah) sebagai tanggungjawab peradaban. Pada saat ini, demikian dinyatakan Hanafi, kita berada dalam pergulatan tradisi sebagai bagian dari pergulatan sosial. Selama tradisi menghegomoni kita, maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus melawannya untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan. Kita harus berhati-hati dengan tradisi itu sendiri. Dalam melakukan pembaharuan, tradisi adalah sarananya.
Tradisi menurut Hanafi dapat ditemukan dalam berbagai level. Pertama, tradisi itu bisa kita temukan dalam berbagai bentuk tulisan: buku, manuskrip, atau lain-lainnya, yang tersimpan di berbagai perpustakaan atau tempat-tempat lain. Kedua, tradisi bisa juga berupa konsep-konsep, pemikiran, dan atau ide-ide yang masih hidup dan hadir di tengah realitas. Jika yang pertama lebih bersifat materialistik, maka yang kedua lebih bersifat abstrak. Namun demikian kedua-duanya tidak dapat dilepaskan dari realitas. Setiap tradisi mengusung semangat zamannya, mencerminkan tahap perjalanan sejarah. Ia bisa berubah-ubah sesuai dan berganti-banti, dibentuk oleh setiap generasi sesuai dengan tantangan zaman.
Ketika tradisi itu tidak saja berupa khazanah tertulis dan juga tidak sekedar dunia teoritis yang otonom, maka sebenarnya tradisi itu merupakan khazanah yang terpendam dalam jiwa masyarakat yang dengannya, secara sadar atau tidak, setiap individu diarahkan dalam prilaku keseharian. Oleh karena itu, bisa saja tradisi masa lampau hidup dan mengarahkan prilaku masa kini. Di sinilah tradisi itu menjadi pandangan hidup. Bisa saja kita hidup di era modern, namun masih tetap berpijak pada tradisi masa lampau.
Dalam proyek pembaharuan tradisi, Hasan Hanafi memberikan landasan teoritis dengan meletakkan model garis segitiga. Masyarakat islam berada dalam tiga lingkup: tradisi masa lampau yang diwakili oleh tradisi Islam masa lampau dan ini disebut dengan turats al-ana, tradisi Barat yang disebut dengan turats al-akhar, dan realitas kekinian yang langsung dan sedang dihadapi oleh setiap individu.
Pada saat yang sama ketiga bagian tersebut melingkupi kita. Tradisi masa lampau hadir dalam realitas kehidupan kekinian kita sebagai suatu warisan (al-mauruts) dan tradisi barat sebagai “tamu” (al-wafid). Keduanya sama-sama mempunyai peluang dalam mengarahkan perilaku kehidupan manusia. Dari sini, Hanafi lalu menyederhanakan ketiga bagian itu menjadi pemikiran (al-fikr) dan realitas (al-waqi’) atau al-nqql dan al-ibda’. Kehadiran tradisi masa lampau sebagai tradisi diri sendiri dan tradisi Barat sebagai tradisi orang lain di tengah kehidupan tidak dapat ditolak. Ialah yang selama ini beroperasi mengarahkan perilaku kita: dalam menghadapi tantangan realitas kekinian apakah kita menggunakan tradisi masa lampau, Barat, atau bentuk eklektik dari keduanya? Atau dalam konteks realitas kekinian bagaimanakah kita menjalin hubungan antara tradisi al-ana dan tradisi al-akhar?
Secara de jure, Hanafi menyatakan bahwa kita harus memulai dari al-ana (tradisi diri sendiri), namun ia secara de facto –masih menurut dirinya sendiri—juga menyatakan bahwa sikap ini salah. Sebaliknya, kita juga tidak bisa memulai dari Barat, karena ia memang lawan dari kita, meskipun realitasnya membenarkan demikian. Maka sudah saatnya, menurut Hanafi, kita mengusung objek dari tingkat emotif pada tingkat praksis, dari sekedar reaksi menjadi analisis ilmiah yang lurus.
Bahwa tradisi al-akhar dan tradisi al-ana tidak dapat menafikan realitas kekinian. Usaha untuk merekonstruksi tradisi masa lampau yang juga memasuki tantangan realitas kekinian dapat membantu menghentikan proses westernisasi di mana pada saat yang sama terjadi dalam realitas sekarang. Rekonstruksi tradisi masa lampau tidak dapat tercapai kecuali harus mengerti tradisi lawannya (tradisi Barat) demi kemaslahatan umum. Sementara mensikap tradisi Barat secara krtitis dapat membantu dalam berpijak pada tradisi itu sendiri sebagai alternatif untuk melarikan diri darinya, dan mengeksplorasi kembali tradisi masa lampau katimbang harus meninggalkannya. Ketika tantangan kontemporer itu merupakan realitas kekinian yang di dalamnya kedua tradisi itu dibangun kembali secara bersamaan, maka sikap kritis terhadap kedua dapat menampakkan realitas itu sendiri dan memberikan hipotesa terhadap tantangan itu sendiri.
Oleh karena itu, Menurut Hasan Hanafi, ada tiga cara, yaitu menganalisis pembentukan dan latar belakang tradisi, mengamati pembekuan dan pensakralan tradisi, dan mencermati bagaimana tradisi itu berlawanan dengan kemaslahatan umum.

01 September, 2009

MEMBACA PROYEK PERADABAN HASAN HANAFI (1)

Oleh: M.Faisol Fatawi

• Hasan Hanafi: Biografi dan Perjalanan Ilmiahnya
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Pebruari 1935, dari keluarga Bani Suwayf, sebuah propinsi di Mesir dalam. Menginjak usia lima tahun, ia berguru al-qur’an pada Syaikh Sayyid di Jalan al-Benhawi, namun ini hanya berlangsung beberapa bulan. Lima tahun ia menghabiskan waktunya di sekolah dasar, yaitu madrasah Sulaiman Gawiys yang terletak di kompleks perbatasan benteng Shalah al-Din al-Ayyubi. Studinya dilanjutkan pada sekolah pendidikan guru, yatitu al-Muallimin, namun menjelang naik ke tingkat (kelas) lima ia pindah ke madrasah al-Silahdar. Selama lima tahun, ia menamatkan sekolah menengahnya pada madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, dengan empat tahun di bidang kebudayaan dan satu tahun di bidang pendidikan. Sementara gelar kesarjaannya disabet dari Fakultas Adab (Sastra Arab) pada Universita Kairo jurusan Filsafat.
Pada 11 Oktober 1956, Hasan Hanafi melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne. Kurang lebih sepuluh tahun ia menghabiskan studi di “sarang” para orientalis Barat. Desertasinya setebal 900 halaman tentang Ushul Fiqh (Essai sur la methode d’Exegese) mendapat penghargaan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Pada tahun 1966, dia kembali ke Mesir dan mengabdikan diri pada Fakultas Sastra Universitas Kairo, tempat belajarnya semula, sampai tahun 1971. Setelah itu, ia menjadi dosen tamu di Universitas Temple, Amerika Serikat, hingga tahun 1975. Kemudian selama dua tahun menjadi dosen kehormatan di Universitas Fez, Maroko. Antara tahun 1985 sampai 1988, menjadi staf pengajar pada Universitas Tokyo dan Universitas PBB di Jepang. Pernah menjadi dosen pada Universitas Los Angles, Amerika dan Universitas Cape Town, Afrika Selatan. Sementara karier kepangkatannya, pada tahun 1995 ia diangkat sebagai Ketua Jurusan Filsafat di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Pernah bertindak sebagai sekretaris jenderal pada sebuah organisasi Himpunan Filosof Mesir yang ia pelopori pada tahun 1986. Hasan Hanafi juga pernah menjadi anggota Ikatan Penulis Asia Afrika, anggota Solidaritas Gerakan Asia Afrika.
• Tahap Kesadaran Intelektual Hasan Hanafi

a. Kesadaran Nasionalisme (1948 – 1951)
Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, Hasan Hanafi tidak begitu banyak mengerti persoalan politik. Ia pun bangga dengan pasukan udara Jerman: tak mengerti siapa Nazi itu. Ia hanya berkeyakinan bahwa mereka tidak akan menyengsarakan dan menyakiti masyarakat Mesir, dan bahwa mereka adalah musuh dari lawannya, yaitu Inggris. Ia hanya menghabiskan masa liburnya untuk pulang kampung, Bani Suwaif, untuk menghindari kecamuk perang di Kairo.
Awal kesadaran nasionalisme yang sebenarnya, sebagaimana diakui oleh Hasan Hanafi, yang berpengaruh pada dirinya adalah terjadinya perang Palestina tahun 1948. Ia pun belum mengerti secara benar batasan antara pengkhianat dan pejuang (mujahid) negeri, meskipun banyak pasukan dari kedua belah pihak jatuh bergelimpangan. Pada tahun ini pula, ia bergabung dengan Jamiyah al-Syuban al-Muslimin (Organisasi Pemuda Islam), menjadi prajurit sukarela di Palestina, namun ditolak sebab umur belum mencukupi. Baru pada tahun 1951, ikut berjuang dalam perang pembebasan Terusan Suez.
b. Kesadaran Keagamaan (1952 – 1956)
Awal tahun 1952, tepatnya pada bulan Januari, di Kairo terjadi peristiwa besar, sebuah usaha mrnggulingkan Partai Wafd dan persekongkolan antara kalangan istana dan kolonialis Inggris untuk mematikan gerakan Nasionalisme Mesir. Hanafi berpihak pada kubu Nasionalis pembebasan Mesir ini: ia pun menyuarakan pembebasan tanah air dan penyatuan Lembah Sungai Nil. Pada 23 Juli 1952, di Mesir kembali terjadi peristiwa penting yang kemudian dikenal dengan Revolusi Juli. Sebuah revolusi yang mampu merubah tatanan sosial, politik dan kultural negeri Mesir: dari sistem monarki menuju republik. Kemudian Hanafi memutuskan untuk bergabung dengan Jamaah Ikhwan al-Muslimin.
Pada Maret 1954 perundingan antara gerakan Nasionalis Mesir dan Inggris dilaksanakan. Dicapailah beberapa kesepakatan. Namun kesepakatan itu di mata aktifis Ikhwan, sangat menguntungkan Inggris. Oleh karena itu, Ikhwan semakin menggiatkan kritikan dan bahkan mengecamnya. Hanafi pada saat itu, bertugas mengedarkan selebaran kritikan yang ditujukan kepadanya.
Pada akhirnya, Hanafi keluar dari jamaah Ikhwan al-Muslimin dan bergabung dengan gerakan Nasionalisme, karena ketidaksetujuan kalangan Ikhwan terhadap revolusi Mushoddeq di Iran pada tahun 1954 yang melawan tirani, dimana Mushoddeq dituduh sebagai komunis. Hanafi semakin dekat dengan semangat revolusi untuk memerdekakan negerinya. Di sinilah kenyakinan keagamaannya akan semangat revolusi pada agama semakin mengkristal.

c. Kesadaran Filosofis (1957 – 1960)
Tahap ini, bisa dikatakan sebagai awal dari persentuhan pengetahuan Hanafi, terutama, dengan filsafat Barat, misalnya Idealistik Fichte, seorang filosof Jerman, eksistensialis-nya Kant, Cogito cartesian, dan fenomenologi Hursel dengan idealistik transendentalnya. Kesadaran ini ia temukan saat melakukan studi di Prancis, ketika hendak menulis desertasi doktoralnya yang berjudul al-Minhaj al-Islami al-Am, yang pada akhirnya selesai dengan judul L’Exegese de la Phenomenologie, L’Elat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomenologie religieux.

d. Kesadaran Terhadap Realitas Kehidupan (1961 – 1966)
Berbagai eskperimentasi kehidupan yang telah dijalani oleh Hasan Hanafi pada akhirnya merubah cara pandangnya semula, yaitu dari idealistik ke praksis. Suatu saat, ia pernah mendengarkan penjelasan seorang mahasiswa dari Afrika Utara tentang analisis kelas atas kondisi kaum muslimin. Saat itu, Hanafi mengakui bahwa ia masih berpendirian bahwa Islam itu adalah wahyu dari Tuhan. Ia pun belum paham makna asbab nuzul yang sebenarnya.
Kemudian Hanafi pun, berusaha membumikan kesadarannya, dengan melakukan kajian terhadap, misalnya saja, wahyu, akal, atau realitas atau kehidupan, realitas, dan yang ada, atau identitas dan akal, atau ilmu dan iman. Ia juga melakukan kajian tentang kritik sejarah teks suci. Bersamaan dengan kepulangannya ke negeri asal pada tahun 1966, ia menyadari bahwa jihad ashgar telah selesai dan sekarang sudah saatnya melakukan jihad akbar.

e. Kesadaran Politis (1967 – 1971)
Pada tahun-tahun ini, sekembalinya dari Prancis, Hasan Hanafi meleburkan diri ke dalam proses pencernaan pemikiran-pemikiran Pan-Arabisme secara langsung. Fase ini dikatakan sebagai kesadaran politik bukan dalam pengertian keperpihakan praksis sebagaimana yang pernah ia lampau masa mudanya. Namun lebih sekedar panggilan abadi seorang pemikir –semisal dirinya— yang harus bertanggung jawab dengan problem-problem yang melanda negara berkembang seperti Mesir. Apa yang dilakukannya adalah dalam rangka analisa sosio-politis struktur masyarakat Mesir demi kepentingan penegakan negara. Tak heran, jika pada fase ini Hanafi lebih banyak melakukan berbagai aktifitas ilmiah, misalnya menghadiri seminar atau diskusi, dan atau menulis buku seperti merampungkan buku tentang penjelasan teoritis terhadap Turas dan Tajdid: sikap kita terhadap tradisi masa lampau, atau buku tentang studi filsafat Islam. Menulis lebih menjadi perhatiannya demi kepentingan umat. Dan pada bulan September 1971, Hanafi pergi ke Amerika Serikat, menjadi dosen tamu.

d. Kesadaran Keagamaan Yang Revolusioner (1972 – 1975)
Selama berada di Amerika Serikat, Hanafi banyak mengenal semangat agama yang revolusioner. Ia banyak membaca buku seperti teologi pembebasan, teologi revolusi, teologi sekuler, teologi kematian Tuhan, dan lain-lainnya. Perhatian yang menarik Hanafi adalah bagaimana membebaskan manusia dari perspektif islam: tema-tema seperti peradaban dan kesadaran kelas, agama dan revolusi, ilmu sosial nasionalistik, dan lain-lainnya. Tampaknya inilah yang kemudian mempengaruhi pikirannya tentang “dari teologi menjadi antropologi sosial” sebagaimana dalam bukunya Min al-Aqidah ila al-Tsaurah.
Tema pembebasan ini justru semakin mendesak, khususnya setelah rakyat banyak dirugikan oleh politik pintu terbuka Presiden Sadat yang sangat menyuburkan kapitalisme Mesir. Dan pada saat yang sama terjadi ketidakberdayaan islam dalam menghadapi ploretarisasi massa. Lebih-lebih terjadi mistifikasi agama oleh pihak pemerintah. Ini disimbolkan oleh hubungan antara al-Azhar dengan pemerintah.

e. Kesadaran Akan Pembelaan Pemikiran (1976 – 1981)
Setelah tema-tema pembebasan ia rampungkan dan dilalui, Hanafi mulai memikirkan bagaimana masyarakat dapat maju. Baginya yang harus dihadapi untuk saat itu adalah bukan masalah teori lagi, namun masalah keberlangsungan dari teori tersebut. Karenanya, ia pernah menyatakan “aku berlindung pada Tuhan dari ilmu yang tidak bermanfaat”.
Setelah terjadi dua revolusi di Mesir, menurut Hasan Hanafi, saat-saat inilah yang pas untuk mensosialisasikannya lewat media massa, yaitu dengan tetap menegakkan pemikiran di hadapan pemikiran lainnya. Ia pun lantas menganggap penting untuk menegakkan tema-tema tentang tanggungjawab kekinian atas peradaban Arab, agama, dan pembebasan kultural. Semua itu dalam rangka menegakkan peradaban nasional-populistik.

f. Kesadaran Akan Timur (1982 – 1987)
Setelah Hasan Hanafi mempelajari berbagai literatur Barat dan mengolahnya kembali menjadi sebuah pemahaman baru demi kelangsungan kepentingan umat Islam, ia menyadari bagaimana mungkin peradaban Islam masih menjadi peradaban yang inferior. Kenyataan ini semakin tampak jelas di matanya, ketika berkali-kali ia melakukan kunjungannya di berbagai negara di belahan Timur yang berbasis muslim, seperti Bangkok, Manila, Filipina, dan lain-lain. Dari hasil kunjungannya itu, Hanafi menyimpulkan bahwa Barat telah menjadi model kemodernan kita. Inilah yang kemudian mengusiknya untuk menundukkan Barat dengan menjadikannya sebagai objek kajian ilmiah yang kemudian dikenal dengan ilmu Oksidentalisme (ilm al-istighrab).

g. Kesadaran Pembangunan Ilmiah (1988 – sekarang)
Inilah kesadaran terakhir dalam perjalanan idividual –sosok seperti Hanafi—dalam kiprah intelektualnya tentang proyek pembaharuan peradaban. Kesadaran pembangunan ilmiah ini lebih merupakan usaha teorisasi ilmiah sebagai respon terhadap realitas kekinian (yang kita hadapi sekarang). Dengan teorisasi ini, demikian kata Hanafi, kita akan dapat keluar dari jeratan tradisi (teks-teks) masa lampau. Ini baru dapat terlaksana setelah manusia keluar dari kegelisahan atau kegamangan duniawi dan membebaskan diri dari tantangan atau problemnya demi menyongsong masa depan perjalanan sejarah.

26 Agustus, 2009

Menghargai Diri Bangsa dengan Pantat

Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam beberapa tahun terakhir ini, bangsa kita Indonesia sering “berseteruh” dengan negara tetangga sendiri, yaitu Malaysia. Kita dengan negeri Jiran yang satu ini yang telah lama menjadi sahabat karib--karena memang memiliki kedekatan budaya dan ras—semestinya tidak pantas untuk bersitegang. Karena kedekatan dari berbagai aspek inilah seharusnya kita dengan Malaysia saling bau-membau, mengulurkan bantuan dan kerja sama untuk memajukan bangsa yang serumpun, sehingga negara-negara yang masuk dalam kawasan Asia Tenggara bisa maju seperti negara-negara Barat atau Eropa.
Sejauh yang dapat kita amati, terdapat dua hal yang menjadi pemicu utama perseteruhan antara negara kita dengan Malaysia sebagaimana yang akhir-akhir ini kita saksikan. Pertama, masalah geo-politik. Kedua, masalah warisan (khazanah) budaya atau geo-kultural.
Terkait dengan masalah pertama, perseteruhan antara Indonesia dengan Malaysia dipicu oleh batas wilayah teritorial antar kedua negara. Seperti sudah maklum, batas wilayah teritorial negara kita, berdasarkan hukum Internasional yang telah ditetapkan, meliputi seluruh bekas jajahan Hindia Belanda, sehingga batas wilayahnya terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan ditambah dengan batas perairannya yang ditarik dari garis pantai seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Dalam hal ini, Malaysia pernah mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan, yang pada akhirnya kedua pulau ini lepas dari wilayah kedaulatan RI. Dan yang akhir-akhir ini cukup membikin panas antara kedua negara, adalah klaim Malaysia terhadap pulau Ambalat. Sekarang kasus Ambalat dalam tahap proses perundingan.
Sementara itu dalam persoalan khazanah budaya bangsa, seringkali Malaysia menyulut api permusuhan dengan negara kita. Cobalah kita mengamati tingkah pola negeri Jiran itu yang berkali-kali menyinggung emosi bangsa kita; Malaysia banyak mengambil warisan naskah-naskah klasik (manuskrip) keagamaan yang berada di Riau, Aceh dan Kalimantan; klaim Malaysia atas lagu Rasa Sayange yang merupakan lagu khas Ambon; Tari Reog Ponorogo pernah dilaim oleh Malaysia; dan yang paling mutakhir tari Pendet yang berasal dari Bali.
Perseteruhan antara kita dengan Malaysia seperti yang terjadi dalam beberapa hal tersebut di atas, mencerminkan wajah dan eksistensi bangsa Indonesia yang rapuh. Bangsa yang kita cintai ini tidak memiliki sistem pengaturan geo-politik yang baik, dan juga tidak memiliki kepedulian terhadap khazanah budaya yang telah diwariskan oleh para penduhulu dari waktu ke waktu. Persoalan klaim beberapa pulau dan warisan budaya oleh negara lain semestinya tidak perlu terjadi jika diri kita memiliki kewibawaan di mata yang lain.
Bangsa yang baik adalah bangsa yang mau menerima, menghargai dan memperhatikan dirinya sendiri. Pulau Sipadan dan Ligitan tidak mungkin jatuh ke negeri Jiran jika bangsa ini memiliki perhatian terhadapnya. Demikian juga kita mungkin tidak sampai “marah-marah” karena beberapa warisan budaya kita diklaim oleh negara lain seandainya kita mampu melestarikan dan mengharaginya dengan baik.
Sudah menjadi hal yang salah kaprah, bangsa kita ini lebih suka melupakan diri sendiri dan lebih tertarik untuk memberi perhatian pada “yang lain”. Gaya budaya yang datang dari luar bangsa kita, lebih kita lirik dan lebih kita minati daripada menghargai dan melestarikan budaya sendri. Padahal menghargai diri sendiri merupakan modal dasar untuk menjadikan diri lebih eksis dan dikenal oleh orang lain.
Modal untuk menghargai diri sendiri inilah yang sekarang mulai tergerus dari lubuk batin anak bangsa kita. Coba kita perhatikan, betapa banyak anak bangsa kita yang tertarik untuk melstarikan warisan budaya lokal, seperti tari-tarian atau ritual adat istiadat setempat; berapa banyak anak negeri ini yang lebih ngeng dengan tradisi pernaskahan masa lampau; berapa banyak generasi bangsa ini yang memahami sejarah luhur bumi pertiwinya. Atau tidakkah dengan modal keaneka-ragaman budaya bangsa kita, dapat membuat jati diri bangsa ini kuat dan disegani.
Kita sering mengaku bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang besar karena memiliki khazanah budaya yang beraneka ragam. Tetapi anehnya, kita tidak serius untuk memperkenalkan warisan khazanah itu sebagai bentuk rasa memiliki dan menghargai. Justru, bangsa ini lebih tertarik untuk mengenalkan jati diri bangsa lewat momen-momen internasional tertentu belaka seperti ajang miss universe atau miss world. Rasa memiliki dan menghargai warisan budaya bangsa tidak cukup sekedar dengan memperkanalkannya lewat lenggak-lenggok tubuh atau—maaf—dengan pantat yang harus dilihat oleh segelintir orang. Atau mungkin kita hanya cukup menghargai diri sendiri dengan pantat? Semoga ketegangan antara bangsa kita dengan negeri sahabat Malaysia dapat menjadi ibrah kita semua, dan tidak menodai makna puasa anak bangsa ini.[mff]

25 Agustus, 2009

Dari Jilbab Manohara sampai Gamis Pasha-Ungu

Oleh: M. Faisol Fatawi

Pakaian bagi setiap orang merupakan hal yang sangat penting atau vital. Dengan pakaian, seseorang dapat melindungi dirinya dari terik panas matahari atau dinginnya musim dingin. Atau juga dapat menahan debu-debu supaya tidak menempel di anggota tubuh, sehingga kebersihannya tetap terjaga. Setiap orang selalu mendambakan pakaian untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bahasa agama, pakaian berfungsi untuk menutupi aurat atau anggota badan tertentu yang tidak boleh diperlihatkan dan diketahui oleh mereka yang tidak mahramnya. Pakaian tidak saja dipandang vital sebagai penutup atau pelindung tubuh semata, tetapi sebagai kewajiban yang harus dikenakan oleh setiap insan beragama. Lebih-lebih, ketika seseorang hendak melakukan ibadah shalat atau menghadap Tuhan. Oleh karena itu, Allah menyatakan: “hai anak Adam, ambillah pakaian-pakaian kalian ketika masuk masjid.” (QS. al-A’raf: 31).
Al-Qur’an dalam membahasakan pakaian, menggunakan tiga istilah. Yaitu, tsiyab, libas dan zinah. Baik tsiyab maupun libas, keduanya memiliki pengertian yang dekat, yakni sesuatu yang dapat menutupi atau leindungi kulit, sehingga kulit itu tidak dapat dilihat atau menjadi terhalang untuk dilihat.
Khusus terkaiat dengan istilah tsiyab, al-Qur’an menyatakan: “Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka tsiyab-tsiyab dari api neraka.” (QS. al-Hajj: 19). Tsiyab di sini berarti sesuatu yang dapat menutupi tubuh. Para mufassir mengartikan tsiyab tersebut dengan pakaian baju yang terbuat dari timah atau besi sehingga dapat secara langsung membakar tubuh orang-orang kafir. Sementara itu, istilah libas digunakan al-Qur’an untuk menyebut karakteristik orang-orang yang bertakwa. “Dan libas ketakwaan adalah kebaikan.” (QS. al-A’raf: 26). Libas berarti sesuatu yang dapat menutupi, dan seorang yang bertakwa seharusnya menutupi dirinya dengan kebaikan. Artinya, menjadikan kebaikan sebagai pakaiannya. Pengertian tsiyab lebih diatributkan pada orang-orang kafir, sedangkan libas cenderung dinisbatkan pada orang-orang yang bertakwa.
Selain memiliki fungsi sebagai penutup atau pelindung badan, al-Qur’an juga menyebut pakaian sebagai sesuatu yang memiliki fungsi perhiasan. Dalam hal ini, al-Qur’an menggunakan bahasa zinah. Kata zinah digunakan dalam pengertian yang lebih umum dan netral. Dalam pengertian masyarakat Arab, zinah (perhiasan) merupakan barang-barang duniawi yang masuk dalam kategori sesuatu yang dapat dinikmati (mata’). Jika barang-barang duniawi-bendawi ini dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya, maka dapat menuntut si empunya ke jalan yang benar. Tetapi jika tidak, maka dapat memperdaya atau menipu setiap manusia, dan apabila ini yang terjadi maka harus dijauhi.
Banyak model dan macam pakaian yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih-lebih pada bulan Ramadhan, pasar-pasar dan tokoh-tokoh pakaian dibanjiri oleh berbagai model pakaian, mulai jilbab, baju gamis, sarung, mukenah dan seterusnya. Ramadhan menjadi momen paling menguntungkan bagi para penjual pakaian. Hal ini karena akhir bulan Ramadhan yang seharusnya diakhiri dengan Hari Raya Idul Fitri, seolah-olah menjadi ajang untuk “pamer” pakaian baru. Cobalah kita melihat di kanan kiri kita, orang sudah mulai menyerbu tempat-tempat penjualan pakaian sebagai persiapan untuk Idul Fitri. Satu puncak momen yang semestinya kita ber-muhasabah untuk merenungi diri atas apa yang kita lakukan selama Ramadhan, dan menghayati makna Idul Fitri yang paling hakiki.
Hobi kita yang suka belanja pakaian di bulan yang suci ini ternyata tidak disia-siakan oleh para produsen atau penjual pakaian. Untuk semakin menarik minat pembeli, maka berbagai produk pakaian pun dikemas dengan menggunakan merek yang dinisbatkan pada nama artis yang sedang naik daun. Maka tak heran, jika di pasaran dapat ditemukan beberapa pakaian seperti jilbab Manohara, Gamis Manohara, Gamis Pasha-Ungu dan barangkalai berbagai jenis pakaian lainnya yang menggunakan nama-nama artis ternama. Tetapi anehnya, justru gaya-gaya atau model pakaian yang seperti itu, yang mendapat respon luar biasa dari para konsumen. Semoga berbagai pakaian tersebut dan hasrat kita untuk membelinya, tidak menutupi hakikat dan fungsi pakaian itu sendiri, serta tidak megganggu kita untuk menjalani bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan. [mff]

24 Agustus, 2009

Nilai Kemanusiaan dalam Puasa

Oleh: M. Faisol Fatawi

Kalau kita mencermati berbagai jenis ibadah dalam Islam yang paling unik, maka jawabannya adalah ibadah puasa. Puasa dikatakan unik karena jenis ibadah yang satu ini hanya bisa dilakukan dan dirasakan oleh orang yang bersangkutan (sha’im). Hanya Allah dan orang yang bersangkutan, yang dapat mengetahui ibadah puasa. Lain halnya dengan ibadah shalat, zakat atau sedekah lainnya. Ibadah-ibadah sejenis itu dapat disaksikan dengan mata telanjang.
Secara sederhana, puasa didefinisikan dengan menahan diri dari makan dan minum. Tetapi pada hakikatnya, puasa tetap menjadi ibadah yang lebih bersifat sirri, yang tidak dapat dilihat oleh orang lain secara mudah. Seseorang bisa saja mengaku berpuasa atau menunjukkan bahwa dirinya tidak mengkonsumsi makanan atau minuman apapun, tetapi bisa saja orang ini, tanpa sepengetahuan orang lain, memakan makanan atau meneguk minuman. Oleh karena itu, Allah dalam sebuah hadits Qudsi menyatakan: “Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku yang akan mengganjarnya.” Dengan sabda ini, Allah seolah mengisyaratkan bahwa ibadah puasa merupakan urusan Allah. Hanya Allah yang mengetahui jika seseorang itu berpuasa. Bukan orang lain.
Mengingat kekhasan ibadah puasa yang seperti itu, sang Hujjatul Islam Imam Ghazali pun mengklasifikasikan puasa ke dalam tiga kelompok. Pertama, puasa orang awam. Yaitu, puasanya orang yang hanya dapat menahan diri dari makanan dan minuman serta berhubungan seksual dengan istri atau suami. Kedua, puasa orang khawash yang berarti puasanya orang-orang yang tidak saja menahan lapar dan haus dahaga, tetapi mereka juga menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela-negatif lainnya seperti sombong, riya’, iri dengki, marah dan seterusnya. Ketiga, puasanya orang yang khawashul khawash. Yaitu, puasanya mereka yang hanya mengisi raga dan sukmanya atau hati dan pikirannya dengan dzikir pada Allah. Yang ada di dalam diri mereka hanya Allah dan Allah.
Sebagai ibadah yang sirri, status ke-puasa-an seseorang hanya dapat ditentukan oleh diri seseorang yang berpuasa itu sendiri. Yang mengetahui puasa tidaknya seseorang adalah orang yang berpuasa. Ini berarti bahwa dalam ibadah puasa seseorang dituntut bersikap jujur, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Jujur pada diri sendiri ditunjukkan dengan komitmen untuk tidak makan dan minum dalam batas waktu yang telah ditentukan. Dan jujur pada orang lain menjadi konsekwensi atas kejujuran dalam memegang komitmen untuk berpuasa.
Dengan menahan diri dari makanan, minuman dan kebutuhan ragawi lainnya, proses metabolisme dalam tubuh orang yang berpuasa mengalami penurunan. Turunnya proses metabolisme dalam tubuh seseorang dapat mengurangi atau bahkan menetralisir ego. Ego yang berlebihan di dalam tubuh manusia dapat mendorong lahirnya sikap-sikap negatif atau tak terpuji.
Ego atau keakuan (al-ananiyah) dalam agama harus disingkirkan karena dapat menjadi sumber keburukan dalam diri setiap insan. Yang paling berhak menyatakan Keakuan hanya Tuhan, sang Maha al-Mutakabbir. Meskipun dalam diri manusia terdapat ego atau keakuan, tetapi keakuan itu tidak dapat dibandingkan dengan dan mengalahkan Allah al-Mutakabbir. Jika puasa dapat menetralisir atau menstabilkan kadar keakuan (ego) yang bercokol dalam diri manusia melalui berkurangnya proses metabolisme tubuh, maka berarti ibadah puasa dapat menjadi kontrol untuk mengembalikan manusia kepada watak kemanusiaannya sendiri. Ia tetap menjadi manusia sebagaimana manusia lainnya yang tidak berhak untuk menguasai atau menzhalimi orang lain. Orang-orang yang berpuasa adalah sama-sama manusia yang lemah di hadapan sang al-Mutakabbir.
Di samping itu, ibadah puasa dapat mendorong lahirnya semangat solidaritas antar sesama. Orang yang berpuasa pasti merasakan lapar dan haus. Dengan kata lain, rasa lapar dan haus menjadi pengalaman yang tidak bisa dilewatkan oleh orang yang berpuasa. Dengan berlapar dahaga, orang yang berpuasa dapat merasakan keadaan yang biasa dijalani oleh mereka kaum dhu’afa’ yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok kesehariannya. Maka, puasa mengajarkan kepada kita akan sikap untuk berbagi antar sesama. Yang tadinya kaya dapat merasakan nikmatnya perut yang selalu kosong.
Begitulah, puasa menanamkan kepada kita semua untuk bersikap jujur, mengesampingkan ego (keakukan) dan mendorong lahirnya semangat solidaritas kemanusiaan. Namun sayangnya, nilai-nilai kemanusiaan itu menjadi tidak berdaya atau bahkan sengaja tidak diberdayakan agar dapat secara terus-menerus bersemai dalam diri setiap kita. Kita semua memang senang melupakan nilai hikmah di balik setiap ibadah yang kita jalankan, dan lebih suka berbangga dengan rutinitas ibadahnya saja. Bukankah puasa yang kita jalankan di tengah bulan Ramadhan ini telah kita jalani berkali-kali? Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam puasa seyogyanya kita jadikan sebagai akhlak kepribadian untuk membangun negeri ini.[mff]

23 Agustus, 2009

Religiusitas Makna Puasa

Oleh: M. Faisol Fatawi


Salah satu aspek penting yang menjadi objek sasaran setiap agama adalah wilayah kesadaran manusia. Dalam agama, kesadaran manusia yang beriman dipupuk melalui berbagai ritual (ibadah) agar dapat melampaui dan mencapai suatu kehidupan yang lebih baik. Ibadah puasa sebagai salah satu ritus keagamaan dalam Islam juga tidak lepas dari dimensi itu.
Secara spesifik, Al-Qur’an menyebutkan bahwa tujuan ibadah puasa adalah membentuk pribadi-pribadi yang muttaqin. Dalam arti, terciptanya kesadaran akan keinsafan batin yang lebih tinggi dalam diri manusia, dalam keterkaitannya dengan Tuhan dan alam semesta. Dalam dunia filsafat religius, keinsafan seperti inilah yang disebut sebagai pengalaman religius (religious experience).
Pengalaman religius (religious experience) secara fenomenologis dapat dijelaskan sebagai pengalaman yang bersifat “tergantung”. Oleh karena itu, pengalaman religius sering didefinisikan sebagai perasaan ketergantungan yang muncul karena perasaan keterciptaan (creature feeling). Semua dialami secara subyektif, dan karena itu pengalaman religius menjadi suatu self-consciousness (penyadaran diri) atas misteri yang kudus.
Puasa bersifat lahir dan batin. Secara lahiriah, orang berpuasa tidak boleh makan, minum, merokok atau melakukan hubungan seks pada siang hari, sejak fajar menyingsing sampai matahari tenggelam. Secara batin, orang berpuasa mencegah jiwa dan nafsunya agar tidak tenggelam dalam kejahatan, seperti berbohong, menfitnah, iri, dengki atau sombong. Baik lahir maupun batin, yang jelas puasa telah memberikan pengalaman yang bersifat subyektif-psikologis.
Menurut Iqbal, pengalaman itu berlangsung dalam waktu dan mempunyai tiga tingkatan, yaitu materi, pikiran dan kesadaran. Ketiga-tiganya berasas pada spiritual. Waktu itu ada dua macam. Pertama, waktu yang dikuasai oleh pengertian kita mengenai ruang, yakni waktu yang dapat diukur. Waktu yang seperti ini bersifat obyektif-fisis.
Kedua, waktu yang bersifat subyektif-psikologis. Waktu yang seperti ini lebih dikenal dengan duration. Ia tidak bersifat kuantitatif, tetapi berjalan terus (kontinuitas) dan tidak terbagi.
Jika kita menempatkan puasa dalam pengalaman yang berlangsung dalam waktu yang pertama (bersifat fisis-obyektif), maka yang dapat dirasakan hanyalah sekedar serentetan tindakan fisik yang terstruktur dalam sistem ruang-waktu-materi yang di dalamnya ada asas hukum kausalitas sebagai penjelas semua peristiwa: seseorang berpuasa pasti akan lapar dan dahaga karena tidak makan dan minum selama seharian, dan seterusnya. Kesadaran yang terbangun hanya sebatas itu saja.
Namun tidak demikian jika kita menempatkan puasa dalam pengalaman yang berlangsung dalam dimensi waktu yang kedua (bersifat subyektif-psikologis). Menempatkan pengalaman puasa dalam pengertian duration berarti puasa itu sendiri adalah duration. Ia tidak akan pernah berakhir seiring dengan masa selesainya puasa. Pengalaman seperti ini bersifat kualitatif dan berkaitan dengan kebebasan yang melekat pada manusia. Tidak dapat dibuktikan, tetapi hanya dapat dialami. Oleh karena itu, kesadaran religius—menurut Iqbal—juga bersifat duration.
Sampai di sini dapat kita pahami, bahwa semakin orang mengalami pengalaman religius, maka ia semakin mengalami kebebasan. Dan semakin mengalami kebebasan, maka ia semakin mengalami keadaan menyatu dengan usaha kreatif yang berasal dari Allah atau bahkan mungkin dapat disamakan dengan Allah. Yang terakhir ini dalam tradisi kaum sufi disebut dengan wahdat al-wujud.
Puasa menunjukkan kepada kita semua akan pengalaman religius tentang realitas yang hakiki, yang berhubungan dengan perlangsungan waktu murni, dengan pikiran, kehidupan dan tujuan yang saling membentuk suatu kesatuan organik. Kesatuan yang terlibat dalam usaha penciptaan yang terus-menerus sebagai evolusi kreatif diri untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan dan keadilan sosial, guna mencapai kehidupan yang lebih baik (baca: manusiwai).
Pengalaman religius tetap akan terjadi manakala kita memiliki komitmen secara total pada apa yang terjadi pada pengalaman yang baru kita alami itu. Komitmen total ini dalam bahasa teologis tidak lain adalah iman. Hanya orang berpuasa yang memiliki komitmen seperti itulah yang dijanjikan oleh Allah dapat melihat sorga dan Allah setelah hari kebangkitan. Maka, jangan heran pula jika nabi Saw pernah menyatakan “Betapa banyak orang-orang yang berpuasa. Namun, yang didapatkan hanyalah sekedar lapar dan dahaga”. Na’udzu billah min dzalik.[mff]

22 Agustus, 2009

Memperlakukan Ramadhan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Semua orang merasakan bahwa bulan Ramadhan memiliki aura yang berbeda dibanding dengan bulan-bulan lainnya dalam Islam. Lebih-lebih, selama Ramadhan umat Islam diperintahkan untuk melakukan shalat sunat tarawih dan dilanjutkan dengan tadarrus al-Qur’an selama satu bulan penuh. Setiap orang mukmin diserukan untuk banyak melakukan kebaikan dan berbagai amal kebajikan, serta meminta rahmat dan ampunan Allah pada bulan ini. Hal ini karena Ramadhan merupakan bulan yang sepertiga bagian awalnya adalah rahmat, sepertiga bagian tengahnya adalah maghfiroh dan sepertiga bagian akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. Ibarat seorang tamu, Ramadhan adalah tamu mulia dan agung yang bertandang hadir ke hadapan para hamba-hamba Allah dengan membawa rahmat, maghfiroh dan kemerdekaan dari siksa neraka.

Suasana lain daripada yang lain karena kehadiran Ramadhan juga bisa kita lihat dalam berbagai acara televisi. Jika kita mengamati semua tayangan di televisi, maka dapat dipastikan semua tayangan itu menjadikan Ramadhan sebagai daya pemikatnya. Tamu agung yang bernama Ramadhan itu diolah dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian para pemirsa. Apapun iklan yang ditayangkan dikemas sedemikian rupa dengan menjadikan tema Ramadhan sebagai daya pemikat meskipun secara nyata tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bulan suci itu. Mulai iklan produk-produk kebutuhan sandang, papan dan bahkan sampai pangan.

Yang lebih dahsyat lagi, hampir setiap stasiun televisi menyiapkan film khusus yang bertemakan bulan Ramadhan. Cobalah kita lihat, ada Cinta Fitri edisi khusus Ramadhan, Para Pencari Tuhan 3, Mukjizat Cinta dan seterusnya. Seolah-olah setiap stasiun televisi ingin menjadikan acara-acara tersebut sebagai maskot utamanya. Dalam film itu, semua disulap menjadi sangat “islami”. Mulai dari tema yang diangkat sampai cara berpakaian para tokohnya pun tidak luput dari simbol-simbol agama. Dari kalangan artisnya, yang semula tidak pernah menyentuh busana muslim, tiba-tiba lewat film itu disulap menjadi sosok yang berpenampilan bak seorang mukmin tulen yang taat beragama. Tokoh yang antagonis (pemeran kejelekan) harus selalu dikalahkan atau disadarkan oleh tokoh protogonis (pemeran kebaikan). Singkatnya, film-film itu dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan aura dan suasana yang benar-benar islam. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara acara-acara yang ditayangkan pada bulan Ramadhan dengan non-Ramadhan.

Di era globalisasi seperti sekarang ini, media elektronik menjadi sarana komunikasi yang efektif. Akses yang lebih cepat dan mudah yang disuguhkan oleh kemajuan teknologi nampaknya menjadi kebutuhan setiap orang, khususnya bagi orang-orang yang beragama untuk mendapatkan pengetahuan tentang ajaran-ajarannya. Dalam konteks ini, film atau sinetron yang bertemakan keagamaan dapat dijadikan sebagai media dakwah atau kalau tidak malah menjadi “barang dagangan” yang dijual melalui media elektronik ke hadapan publik untuk meraup keuntungan material sebanyak-banyaknya.

Sejatinya film atau sinetron yang bertemakan keagamaan (baca: Ramadhan) tidaklah menjadi persoalan sejauh dapat menanamkan nilai kebaikan dan kebajikan. Film atau sinetron itu sendiri bukanlah realitas kehidupan yang sesungguhnya. Ia hanyalah hasil rekaan yang bersifat imajiner atau ia merupakan fakta yang diimajinasikan kembali. Maka, apapun film atau sinetron yang ditayangkan khusus untuk menyambut dan mengisi Ramadhan tidak lain juga merupakan hasil rekaan semata. Ia merupakan realitas semu.

Ramadhan itu adalah tamu yang diperuntukkan oleh Allah untuk kita semua. Layaknya orang yang kedatangan tamu, setiap kita dituntut untuk memperlakukannya secara hormat. Tamu itu harus kita suguhi makanan dan minuman. Bahkan jika menginap harus kita siapkan tempat untuk beristirahat baginya. Oleh karena itu, setiap umat Islam harus berkorban untuk menyambut dan menerima bulan Ramadhan. Baginda Rasulullah Saw menitahkan kepada umatnya untuk mengisi bulan suci ini dengan banyak menjalankan amal ibadah, mengambil nilai hikmah dan menanamkannya dalam hati sanubari agar betul-betul menjadi pribadi yang muttaqin. Atau kita malah mengajak sang tamu bulan Ramadhan itu untuk menikmati aneka tontonan televisi (film atau sinetron yang bertemakan keagamaan) bersama-sama? Jika yang terakhir ini yang terjadi, maka kita sungguh berada dalam keadaan merugi.[mff]

20 Agustus, 2009

Memaknai Keberkahan Bulan Ramadhan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Berkah merupakan satu hal yang selalu diidam-idamkan oleh setiap diri kita. Setiap kita senantiasa berdoa untuk mendapatkan keberkahan dalam hidup, rezki dan segala aktifitas yang dijalankan. Berkah menjadi pengisi doa yang paling dicari sebagaimana keselamatan, kesehatan dan berbagai jenis kebaikan yang lain.
Dalam pemahaman yang sudah lumrah, pengertian"berkah” didefinisikan sebagai bertambahnya kebaikan (ziyadah al-khoir). Jika misalnya dikatakan bahwa kehidupan seseorang itu mendapat berkah, maka berarti ia berada dalam kebaikan yang selalu bertambah. Rezki yang penuh berkah berarti rezki yang dapat mendatangkan kebaikan.
Sebagian mufassir juga mengartikan berkah dengan manfaat. Sesuatu dinyatakan berkah jika memiliki manfaat. Sahabat Ikrimah pernah menyatakan: “beribadah malam hari merupakan ibadah yang paling banyak berkahnya.” Berkah di sini tidak lain adalah hal-hal yang baik atau kemanfaatan yang ditimbulkan dari aktifitas beribadah di malam hari; situasi tenang yang dapat mendorong lahirnya ketenangan hati atau kestabilan psikologis. Bahkan dalam sabda Rasul terdapat hadits yang menyatakan: “berwudlu sebelum makan dan sesudahnya adalah berkah.” Dengan berwudlu tangan menjadi bersih dan kotoran-kotoran yang menempel menjadi hilang. Makan dengan tangan bersih dapat mengindarkan diri dari kemadharatan anggota tubuh.
Di samping itu, berkah dapat diartikan dengan keberuntungan dan kesucian. Dalam kitab-kitab turats seringkali dikatakan; la barakata fi al-harami yang berarti bahwa dalam hal-hal yang haram tidak ada berkah. Sesuatu yang haram tidak memiliki berkah karena pada hakikatnya ia tidak bersih atau suci, sehingga tidak dapat mendatangkan keberuntungan di sisi Allah.
Begitulah berkah memiliki medan makna yang tidak sempit. Berkah berarti bertambahnya kebaikan, sesuatu yang dapat memberikan manfaat, keberuntungan dan kesucian. Sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan, keberuntungan, kesucian dan kemanfaatan menjadi tujuan dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu, tak heran jika Rasulullah Saw pun memerintahkan umatnya untuk memburu keberkahan. “Bergegaslah menuju berkah Allah seolah-olah aku (Nabi) melihat para pegulat tangguh.” Demikian sabda kanjeng nabi. Dengan demikian, berkah itu terkait dengan sebuah nilai, dan bukan berwujud sesuatu yang bendawi atau materialistik.
Kenyataannya yang terjadi, orang sering menganggap berkah sebagai bertambahnya sesuatu yang bersifat fisik. Misalnya, ada orang yang membelanjakan harta benda kemudian orang itu mendapat ganti harta benda yang lain, baik serupa maupun tidak serupa. Atau misalnya kita memegang uang sedikit tetapi dapat mencukupi kebutuhan hidup. Berkah dianggap sebagai sesuatu yang dapat menarik keuntungan bendawi.
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang diyakini dapat mendatangkan berkah dan ampunan. Cobalah kita mengamati berapa keuntungan yang didapat oleh para pedagang dari bulan Ramadhan. Rata-rata omzet mereka mengalami kenaikan luar biasa pada bulan yang satu ini. Karena, tingkat komsumsi masyarakat terhadap kebutuhan, baik pokok maupun non pokok, semakin meningkat. Cobalah kita lihat juga berapa keuntungan yang diraih oleh produser iklan yang hampir setiap tayangannya menggunakan momen Ramadhan sebagai daya tariknya. Atau lihat pula maraknya sinetron-sinetron relegius yang hadir khusus menyambut bulan Ramadhan yang penuh berkah itu.
Hal yang paling penting terkait dengan berkah adalah bertambahnya nilai relegiusitas yang tercermin dalam amal ibadah yang dilaksanakan; bagaimana nilai itu semakin diinternalisasikan dalam diri sehingga seseorang mendapatkan kebaikan dan keuntungan di sisi-Nya. Keberkahan tidak dapat dipandang dari sudut pandang transaksi jual beli. Yakni, mendapatkan keuntungan secara bendawi. Dengan demikian, berkah Ramadhan tidak sekedar bertambahnya keuntungan materialistik, tetapi meningkatnya nilai-nilai Ramadhan itu sendiri bagi keberagamaan kita sehari-hari. Keberkahan terbesar dari bulan Ramadhan adalah semakin meningkatnya nilai-nilai tentang ketuhanan dan sekaligus kemanusiaan yang tertanam dalam setiap insan yang mukmin. Wallahu a’lam. [mff]

19 Agustus, 2009

Kemerdekaan di Penghujung Puasa

Oleh: M. Faisol Fatawi

Ada yang lain dalam perayaan HUT RI ke 64 kali ini. Perayaan kemerdekaan tahun ini hampir berbarengan dengan bulan suci Ramadhan. Sebuah bulan yang penuh berkah dan ampunan. Tidak hanya itu, cobalah lihat kemeriahan perayaan itu dengan mengibarkan bendera merah putih di mana-mana. Di puncak dan lereng gunung, di dasar laut; semua mengambil momen penting kemerdekaan RI ke 64 dengan penuh khidmat.
Ditambah lagi berbagai ragam perlombaan dilaksanakan di seantereo bumi Indonesia. Mulai jenis perlombaan yang paling ringan seperti lomba makan krupuk, balap karung dan lain-lainnya, sampai perlombaan dari berbagai jenis olahraga. Yang menarik lagi, sebagian perlombaan yang digelar di beberapa tempat mengambil tema terorisme. Sungguh antusiasme yang luar biasa.
Beratus-ratus tahun yang lalu negeri yang kita cintai ini dalam cengkraman kaum penjajah. Mungkin terbersit dalam benak anak bangsa ini bagaimana para pejuang memanggul senjata seadanya (bambu runcing, tombak, parang dan senjata tajam lainnya), dan dengan begitu gagah berani melakukan perlawanan secara mati-matian kepada para tentara penjajah. Dan pada akhirnya, semua usaha itu dapat mengusir kaum penjajah dari negeri ini.
Dalam bahasa agama usaha yang gigih untuk melakukan peperangan terhadap musuh dikenal dengan sebutan jihad. Oleh karena itu, para pejuang bangsa kita dapat disebut bahwa mereka telah berjihad ketika melawan dan mampu mengusir musuh. Jihad dalam pengertian seperti ini lebih bersifat fisik. Jihad yang lebih berat adalah memerangi penyakit-penyakit jiwa atau yang lebih sering disebut dengan hawa nasfu.
Secara fisik, mungkin bangsa ini telah mendapatkan kemerdekaan. Tetapi kenyataannya, bangsa ini sedang dicengkram oleh penyakit-penyakit nafsu, jiwa dan mental. Hal ini ditandai dengan masih maraknya kasus penggelapan uang negara atau korupsi, tindak pidana yang hampir setiap hari terjadi secara silih berganti di mana-mana, sikap keadilan dan kejujuran diacuhkan, atau bahkan telah disinyalir rasa nasionalisme anak bangsa ini telah mengalami degradasi. Jika memang hal ini yang terjadi, maka kita perlu memaknai ulang perayaan kemerdekaan RI. Tentunya, merayakan kemerdekaan itu tidak sekedar upacara atau sekedar mengadakan rutinitas perlombaan yang lebih bersifat dramatis.
Nilai yang mempertemukan antara HUT RI ke 64 kali ini dengan bulan suci Ramadhan adalah Jihad. Jihad dalam pengertian memerangi hawa nafsu, bukan secara fisik. Pengertian jihad seperti ini jauh lebih penting dalam menjalani kehidupan berbangsa, beragama dan bernegara. Rasulullah Saw ketika usai melakukan perang dengan kaum musyrikin pernah menyatakan: “Kita telah pulang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.” Lalu sahabat bertanya: “Apa jihad yang lebih besar itu?” Rasul pun mejawab: “Yaitu, memerangi hawa nafsu.”
Momen pertemuan antara hari kemerdekaan dengan bulan Ramadhan seyogyanya dapat dijadikan sebagai tonggak untuk berjihad melawan segala penyakit diri atau hawa nafsu. Tantangan terbesar seorang yang sedang berpuasa adalah godaan-godaan jiwa (hawa nafsu). Seseorang bisa berpuasa untuk tidak meneguk minuman dan memakan makanan sedikitpun. Tetapi, ia belum tentu dapat menjauhkan penyakit-penyakit nafsu yang lain, seperti iri hati, dengki, menggunjing orang lain, bersikap munafik, marah dan atau hasrat-hasrat negatif yang lainnya.
Kita mungkin ingat sabda kanjeng nabi yang cukup terkenal: “Betapa banyak orang-orang yang berpuasa itu, tetapi mereka tidak mendapat apa-apa kecuali hanya lapar dan haus dahaga.” Sabda ini mengisyaratkan kepada kita semua bahwa pada hakikatnya bukan sekedar menahan lapar dan haus dahaga. Tetapi, juga harus mengontrol jiwa dari berbagai hasrat negatif. Seyogyanya kita juga tidak merayakan kemerdekaan bangsa ini dengan cara sekedar menjadikan aktifitas rutinan sebagaimana yang diisyaratkan dari sabda kanjeng nabi itu. Kita musti memaknainya dengan cara pandang yang lebih mendalam. Memerdekakan bangsa dari hawa nafsu diri kita yang seringkali memperdaya tanpa kenal lelah. Inilah kemerdekaan yang sejati.[mff]

05 Agustus, 2009

Kematian dan Perkawinan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Baru saja kita ditinggal oleh raja pop terkenal Michel Jackson, sekarang kita harus kehilangan Mbah Surip untuk selamanya. Sebagaimana kematian Jaco, kematian pelantun dan sekaligus pengarang lagu “Tak Gendong” dan “Bangun Tidur” itu, Mbah Surip, mendapat antusiasme yang luar biasa dari masyarakat. Tak kenal tua, muda dan anak-anak, semua merasa kehilangan. Berbagai media, baik cetak maupun elektronik, meliput prosesi penghormatan terakhir jenazah Mbah Surip. Semua orang tumplek bek (berjubel-jubel) menghadiri pemakamannya. Bahkan tak tanggung-tanggung, sebuah stasiun televisi menyiarkan secara langsung prosesi pemakaman itu.
Prosesi pemakaman Mbah Surip menjadi peristiwa yang “istimewa”, karena di dalam prosesi tersebut ternyata diadakan acara akad nikah, antara putri almarhum Mbah Surip dengan seorang pemuda (kalau tidak salah, Samsuri namanya). Semula, akad nikah antara dua sejoli itu akan dilaksanakan pada beberapa hari kedepan (16 Agustus 2009). Tetapi, takdir Tuhan berkata lain, Mbah Surip yang menjadi wali dari calon mempelai putri menghadap sang Khaliq terlebih dahulu.
Konon menurut adat yang berlaku di sebagian daerah tertentu diyakini bahwa akad pernikahan tidak boleh dilaksanakan jika dalam tahun yang sama akad pernikahan itu telah didahului oleh kematian keluarga. Tetapi justru, akad pernikahan itu boleh dilangsungkan berbarengan dengan prosesi pemakaman keluarga yang meninggalkan calon pengantin. Kira-kira karena alasan inilah, kita dapat menyaksikan prosesi pemakaman Mbah Surip dan sekaligus akad nikah putrinya di samping jasad almarhum. Inilah acara prosesi pemakaman (kematian) dan perkawinan. Sebuah momen peristiwa yang sangat jarang kita temukan. Kesedihan dan kegembiraan menyatu dalam saat yang sama. Kesedihan, karena keluarga mayit telah kehilangan anggota keluarga tersayang, Mbah Surip. Dan bahagia karena keluarga dapat menyaksikan berlangsungnya akad nikah dari salah satu anggota keluarga.
Kematian dan perkawinan merupakan peristiwa penting di tengah kehidupan. Perkawinan menjadi momen awal dari kehidupan segala makhluk yang ada di muka bumi, khususnya manusia. Sementara kematian adalah akhir dari segala kehidupan. Eksistensi manusia yang sesungguhnya dimulai dari perkawinan dan berakhir ketika ajal menjemputnya. Karena, melalui ikatan perkawinan sebuah keberlangsungan kehidupan dapat dijaga, dengan melahirkan generasi insan-insan yang baru, yang menggantikan generasi sebelumnya. Perkawinan dan kematian bukanlah sekedar drama kehidupan yang harus dilalui oleh setiap manusia. Keduanya menjadi filosofi kehidupan tentang eksistensi setiap manusia. Dengan kata lain, perkawinan dan kematian memberikan pendidikan bagi manusia akan cara “mengada”, yaitu bagaimana seseorang menjadi ada dan tiada.
Pentingnya peristiwa perkawinan dan kematian menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tema pembicaraan dalam kitab-kitab agama maupun keyakinan-keyakinan tertentu. Cobalah kita membaca dalam kitab-kitab suci, persoalan perkawinan dan kematian menjadi hal yang selalu mendapat porsi pembahasan yang serius; kita bisa membaca peristiwa pertemuan Adam dan Hawa’ di sorga yang hampir seluruh kitab suci memuatnya. Dan begitu juga persoalan kematian, menjadi bahasan yang tak kalah penting. Hal yang sama dapat kita temukan dalam ajaran-ajaran kejawen atau agama-agama kuno.
Dalam Islam misalnya diajarkan, untuk menghormati acara perkawinan maka disarankan untuk mengadakan suatu jamuan (walimah al-ursy) semampunya. Dalam kematian pun terdapat hukum fardlu kifayah untuk mengurusi si mayit sebagai bentuk penghormatan terakhir. Dalam setiap peristiwa perkawinan dan kematian selalu dilakukan serangkaian acara pernghormatan terhadapnya. Lebih-lebih dalam ajaran-ajaran agama-agama kuno; selalu ada ritus yang harus dilakukan untuk menghormati peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Kematian dan pernikahan tidak lain merupakan titik akhir dan titik awal dari kehidupan. Kehidupan setiap manusia selalu “berawal” dan “berakhir”. Hakikat kehidupan adalah berangkat titik awal dan bermuara pada titik akhir. Titik awal dan titik akhir adalah sesuatu yang sudah jelas. Kehidupan menjadi ada karena ada titik awal dan titik akhir. Manusia pun menjadi ada karena eksistensinya memiliki titik awal dan titik akhir. Mengingkari kenyataan ini sama saja dengan mengingkari eksistensi diri manusia itu sendiri.
Dalam literatur klasik dikatakan, bahwa inti al-Qur’an terdapat dalam surat al-Fatihah (karena alasan inilah kemudian disebut dengan umm al-Qur’an). Inti surat al-Fatihah terdapat pada ayat pertama, yaitu bismillahirrahmanirrohim. Inti ayat pertama dari al-fatihah terdapat di huruf ba’. Dan, inti huruf ba’ terdapat pada titiknya. Ya, itulah semuanya bermula dari titik dan kembali pada satu titik.
Semoga kematian Mbah Surip dan perkawinan putrinya tidak menjadi sekedar tontonan drama kehidupan; makna filosofisnya hilang ditelan gelombang pencitraan yang dimainkan oleh media. Bukankah krisis subjek menjadi dampak yang paling nyata dari arus globalisasi budaya yang sekarang sedang terjadi? Sehingga makna-makna tentang diri-subjek menjadi sirna; yang timbul justru manusia tanpa makna (baca: krisis identitas). Wallahu a’lam. [mff]

03 Agustus, 2009

Mengasah Nurani, Membangun Negeri

Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam sejarah Islam diceritakan, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan yang bernama Saba’. Saba’ adalah sebuah wilayah yang sekarang berada di Yaman Selatan. Kerajaan Saba’ merupakan sebuah kerajaan yang makmur, aman dan sentosa. Kerajaan Saba’ ini memiliki pengaruh yang sangat luas hingga ke benua Afrika. Kerajaan Saba’ juga mempunyai bendungan besar dan kokoh yang bernama Mi’rab, yang mampu mengairi seluruh wilayahnya sehingga menjadikan tanahnya subur dan rakyatnya hidup makmur. 
Di tengah kehidupan yang makmur, kaum Saba’ diperintahkan oleh Allah SWT untuk bersyukur kepada Allah. Syukur atas nikmat yang telah diberikan kepada mereka, mulai dari kedamaian hidup, kemakmuran mata pencaharian, dan berbagai anugerah yang membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi, perintah untuk mensyukuri nikmat Allah SWT, tidak diindahkan oleh kaum Saba’. Mereka tidak peduli atas ajakan Allah. Justru, mereka berpaling mendurhakai nikmat Allah. Maka, Allah mendatangkan kepada mereka banjir besar yang merobohkan bendungan dan merusak serta memusnahkan perkebunan mereka. Allah SWT pun mengganti kebun-kebun yang subur itu dengan kebun yang ditumbuhi pepohonan yang tidak berbuah; pohon itu penuh duri dan kalaupun berbuah buahnya sangat pahit, tidak layak untuk dinikmati dan dimakan. Singkatnya, kekafiran telah menjadi penyebab hancurnya negeri Saba’ (QS. as-Saba’: 15-17).
Pengertian kafir secara semantik berarti berpaling dari dan menutupi diri. Seseorang itu disebut kafir karena ia telah menutup dirinya dari kebenaran Allah atau memalingkan dirinya dari kebenaran Allah. Jika seseorang berpaling dari Allah, berarti ia tidak mau beriman kepada-Nya, dan dalam kondisi seperti ini berarti ia telah kafir hakiki. Pengertian kafir seperti ini merupakan pengertian secara teologis. Sementara itu, seseorang yang menutup dirinya dari nikmat Allah, maka bisa dikategorikan sebagai kafir, sebab ia tidak mau mensyukuri apa-apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Jadi, lafadz kafir memiliki jaringan makna yang luas. Bahkan orang yang telah mengaku mukmin pun bisa masuk dalam kategori kafir bin ni’mah. Dalam al-Qur’an, perintah untuk tidak bersikap kafir bersifat menyeluruh; tidak mengingkari Allah dan segala tanda-tanda kebesaran-Nya.
Kekafiran kaum Saba’ tidak hanya sebatas keengganan mereka untuk mengimani Allah, tetapi juga karena tidak mau mensyukuri nikmat-Nya. Bentuk mensyukuri nimat Allah juga mencakup pengertian yang sangat luas; misalnya bersedekah atas rezki yang diberi, memanfaatkan apa-apa yang dianugerahkan Allah secara proporsinal, mengola sumber daya Alam, bahkan termasuk juga mengendalikan diri dari sifat-sifat yang tercela seperti bohong, iri hari, kikir, keserakahan dan seterusnya.
Sebenarnya, negeri kita ini tidak kalah subur dengan negeri Saba’. Kita tidak kekurangan sumber air. Tanaman bisa tumbuh subur dengan mudah hampir di seluruh pelosok negeri. Kita juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa, baik hayati maupun nabati, baik flora maupun fauna. Bahkan kesuburan negeri yang kita cintai ini digambarkan sebagai negeri yang mana ‘tongkat dan kayu’ jika ditancapkan ke bumi berubah menjadi tanaman. 
Saya juga meyakini, bahwa negeri kita ini dihuni oleh orang-orang yang taat kepada Tuhan. Coba kita lihat, umat Islam selalu memenuhi masjid saat menjalankan ibadah shalat. Apalagi pada saat Idul Fitri atau Idul Adha. Semua masjid maupun lapangan penuh riuh dengan lautan manusia. Mereka bermunajat khusyu’ kepada Allah. Bahkan tak luput dari ribuan orang selalu setia antri untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci. 
Betatapun kita memiliki kekayaan yang luar biasa seperti itu, tetapi pemandangan berbeda dapat kita syaksikan dengan mata telanjang. Kemiskinan terjadi di mana-mana. Korupsi, sogok, suap dan seterusnya masih saja tetap terjadi. Lalu, bagaimana kita dapat membangun negeri ini menjadi negeri yang berperadaban dan bermartabat? 
Membangun sebuah negeri tidak selamanya dengan kekuatan materi. Tetapi, juga butuh pada kekuatan hati nurani. Kita mungkin dapat belajar dari perjuangan para pejuang bangsa ini saat membebaskan diri dari kaum penjajah. Kekuatan fisik yang dimiliki bangsa ini ketika itu tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh penjajah. Sekarang, kita telah dapat menikmati kebebasan dari kaum penjajah. 
Dan, kita juga tidak ingin negeri ini tenggelam seperti negeri Saba’; negeri yang gemah ripa loh jinawi berubah menjadi mandul seolah tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Negeri yang kita cintai ini butuh pada kekuatan moral. Maka, nilai-nilai mulia seperti kejujuran, keadilan, persaudaraan dan seterusnya menjadi jaminan utama bagi anak negeri ini. Kekayaan yang melimpah tidak berarti apa-apa, jika kita kebohongan bersemayam dalam diri kita, dan menjadi mental anak bangsa ini. Bukankah Rasulullah Saw ketika melakukan perubahan sosial di lingkungan bangsa Arab yang jahiliyah berangkat dari perjuangan untuk merubah moralitas mereka; liutammima makarimal akhlak, katanya? Kita musti pandai mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah yang pernah terjadi.[mff]

31 Juli, 2009

Kafe dan Ayat Kursi

Oleh: M. Faisol Fatawi

Suatu ketika saya kedatangan tamu dari luar kota. Tamu ini merupakan sahabat dekat saya yang lama tidak pernah ketemu. Setelah ngobrol agak panjang, sahabat tadi mengajak saya untuk menemani dirinya ke suatu tempat. Dia ada janji dengan seseorang, katanya. Di tengah perjalanan, sahabat saya tadi menceritakan maksud dan tujuan dari pertemuan itu. Ia ada janji dengan seseorang dalam rangka mendiskusikan tulisan yang akan diterbitkan di sebuah penerbit ‘bergengsi’ di Jogjakarta. Saya mendengarkan cerita sahabat saya sambil sesekali menimpalinya dengan diskusi kecil. Dan, tak lama kemudian kami semua sampai di tempat tujuan. Wah aku baru sadar, ternyata saya diajak ke sebuah kafe.
Seperti kafe-kafe yang lain, dalam kafe tempat ‘kencan’ sahabat saya tadi terlihat deretan kursi-kursi yang ditata rapi mengelilingi sebuah meja. Setiap meja di kelilingi dua kursi atau kadang lebih. Sekelompok pemain musik sedang memainkan lagu-lagu khas anak muda (baca: gaul) dengan diiringi lampu warna-warni yang remang-remang. Sesekali saya melihat beberapa pasang anak manusia menikmati alunan musik sambil berjoget.
Dalam kafe itu, saya terlibat ‘cukup serius’ dalam pembicaraan antara sahabat saya dengan temannya. Paling tidak, saya mendengarkan dengan penuh khidmat sambil menikmati minuman dan makanan ringan yang sudah kami pesan sebelumnya.
Di tengah pembicaraan antara sahabat saya dengan kawannya tadi, secara tidak sengaja saya melihat sebuh hiasan kaligrafi menempel di atas dinding. Letaknya persis di atas panggung musik, menghadap ke arah tempat duduk para pengunjung kafe. Karena sinar lampu yang remang-remang, semul saya agak sudah membaca isi kaligrafi tersebut. Namun dengan sedikit memelototkan mata akhirnya pun saya bisa membaca kaligrafi itu. Dan ternyata, yang tertulis di kaligrafi itu adalah ayat kursi. Saya baru kali ini menemukan kaligrafi ayat kursi yang secara jelas di pasang di dinding sebuah kafe yang identik dengan tempat untuk dugem. Sesaat saya tertegun. Wah, luar biasa.
Sesaat saya tertegun. Sederetan pertanyaan muncul dalam benak pikiran saya. Apakah gerangan yang terjadi sehingga si pemilik kafe menggantungkan kaligrafi ayat kursi? Mungkinkah kaligrafi itu dimaksudkan sebagai jimat pelaris? Atau mungkin agar kafe tersebut selamat dari sweeping kelompok-kelompok agama tertentu? Atau si pemilik kafe secara sengaja hendak mengingatkat para pengunjung untuk selalu ingat ayat-ayat Allah? Mungkinkah kafe itu hendak disulap menjadi tempat tarian sufi sebagaimana yang diajarkan oleh sang sufi agung, Rumi?
Nahnu nahkumu bidz dzawahir, wallahu yahkumu bis sara’ir, demikian kata para ulama terdahulu. Artinya, kita sebagai manusia hanya bisa melihat hal-hal yang tampak, sementara Allah-lah Dzat yang dapat melihat apa-apa yang tersembunyi. Memang kemampuan manusia hanya terbatas, dan Tuhan lebih dapat mengetahui apa yang ada di balik lubuk atau pikiran terdalam seseorang. Dan, siapapun tidak dapat menvonis maksud yang tersembunyi di balik hati dan yang bersemayam di dalam pikiran seseorang. Yang dapat dia pahami hanyalah sisi-sisi yang terlihat saja.
Saya pun teringat kata-kata yang pernah terucap dari seorang sahabat nabi Saw yang alim dan sekaligus menantu beliau, Sayyidina Ali karramallahuwajhah: “Al-Qur’an tidak dapat berbicara, tetapi al-Qur’an hanya dapat berbicara ketika manusia melafalkannya.” Sebuah kata bijak yang sarat dengan makna. Benar juga apa yang dinyatakan oleh Sayyidina Ali ini.
Al-Qur’an itu tidak bermulut seperti manusia sehingga dapat berbicara dengan sendirinya. Tetapi, al-Qur’an adalah kalam Allah yang jauh dari sifat-sifat dan campur tangan kemanusiaan. Kalau begitu, berarti kita musti harus hati-hati jika menggunakan atau mengutipnya. Kita disuruh membaca kalam Allah supaya kita dapat mengambil hikmah (kebijaksanaan), sehingga mendapat petunjuk dari Allah. Dan memang fungsi al-Qur’an tidak lain adalah menjadi petunjuk (huda).
Barangakali, manusia adalah makhluk yang paling pintar dalam mengambil keuntungan dari ayat-ayat Allah; mengeksploitasi dan memolitisasi makna kalam Allah, melegitimasi dan menjustifikasi apa-apa yang dilakukan atau diucapkannya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Makhluk-makhluk seperti ini, di dalam al-Qur’an, merupakan makhluk yang paling dibenci Allah. Mereka termasuk “orang-orang yang telah menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit (kecil).”
Akhirnya, sambil masih memelototi kaligrafi ayat kursi yang tertempel di dalam kafe itu, saya pun hanya berharap semoga apa yang saya sangkakan tersebut di atas sekedar menjadi pikiran buruk saya. Tidak lebih dari itu. Wallahu a’lam bish shawab.[mff]

30 Juli, 2009

Aku Menulis, Maka Aku Ada

Oleh: M. Faisol Fatawi

Sudah menjadi tabiat manusia, bakat berbicara secara lisan lebih dahulu muncul katimbang kemampuan membaca. Seorang bayi yang lahir ke muka bumi misalnya, ia pasti lebih dahulu mempunyai kemampuan untuk bertutur kata dengan meniru bahasa orang-orang yang ada di sekelilingnya. Beberapa tahun kemudian sang bayi baru diajari atau belajar membaca.
Membaca merupakan fase kedua bagi seorang anak dalam belajar berbahasa: mengenali segala hal yang terdapat di sekelilingnya. Membaca membutuhkan dan melibatkan proses kognitif. Jika dalam fase bertutur kata (berbicara) seseorang hanya tinggal meniru apa yang diucapkan dan didengarkan, maka dalam fase belajar membaca ia harus mengenal dan berinteraksi dengan simbol-simbol bunyi dan benda yang disimbolkan dengan susunan huruf. Dalam fase ini, seseorang yang membaca berarti ia menjalani proses dialektik antara simbol bunyi dengan wujud bendanya. 
Hal lain yang penting terkait dengan belajar bahasa adalah menulis. Kegiatan menulis berbeda dengan membaca atau bertutur kata. Jika kegiatan membaca melibatkan proses dialektika pikiran antara simbol bunyi dengan bendanya, maka kegiatan menulis melibihi dari itu. Menulis melibatkan proses pemikiran atau gagasan yang lebih mendalam. Seseorang yang sedang melakukan kegiatan menulis, berarti ia sedang mengeluarkan apa yang ada didalam pikirannya untuk dituangkan dalam bentuk simbol bunyi sehingga dapat dinikmati oleh orang yang membacanya. 
Kegiatan membaca mudah dilakukan dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun yang mampu. Meskipun demikian, membaca sulit untuk dilakukan. Banyak orang lebih suka membiasakan diri dengan ngobrol-ngobrol bersama daripada membaca. Kita sendiri lebih sering untuk berbincang-bincang daripada membaca. Faktanya, membudayakan ‘membaca’ lebih sulit katimbang kebiasaan ‘tutur tinular’, yaitu mencari informasi dengan bertanya atau sekedar ngobrol-ngobrol antar sesama. Dan lebih sulit lagi, membiasakan diri dengan budaya menulis. Budaya menulis merupakan pintu gerbang untuk melakukan transformasi sosial dalam rangka membangun peradaban umat manusia ke arah yang lebih tinggi.
Sejarah membuktikan, bahwa sebuah peradaban yang besar ditandai oleh munculnya karya-karya tulis. Peradaban Yunani menjadi agung karena sentuhan tangan-tangan para pemikir besar seperti Aristoteles, Plato dan seterusnya, yang tulisan-tulisannya masih kita baca dan menjadi rujukan sampai sekarang. Peradaban Islam pun menjadi dikenal di semenanjung Eropa karena karya-karya besar yang terlahir dari para intelektual muslim ketika itu; sebut saja Ibnu Rusyd (di Barat dikenal dengan Averrous), Ibnu Sina (di Barat dikenal dengan Avecena), Jabir bin Hayyan (di Barat dikenal dengan Algebra) dan seterusnya. Begitulah, kemajuan suatu peradaban selalu tidak dapat dilepaskan dari budaya tulis-menulis yang kuat. 
Melihat kenyataan seperti itu, saya jadi tergelitik salah satu nama surat dalam al-Qur’an. Nama surat itu adalah al-qalam. Jika diterjemahkan kedalam bahasa kita, kata al-qalam berarti pena. Lantas, apa menariknya dengan nama pena sehingga di pakai untuk menamai firman Allah? Apa hubungannya dengan kemajuan suatu peradaban? 
Jika kita membaca surat al-qalam (pena), maka kita akan disambut dengan ayat yang berbunyi: “Nun, demi pena dan apa-apa yang mereka tulis.” Penulis tafsir al-Bahr al-Muhith mengutip salah satu pendapat yang menyatakan, bahwa al-qalam yang dimaksud adalah pena sebagaimana yang fungsinya sudah dikenal oleh manusia untuk menulis. Tentunya, jika Tuhan memiliki pena, namun pena itu tidak seperti yang ada dalam gambaran dan pemahaman manusia. Pena Tuhan berbeda dengan pena yang dipakai manusia. 
Allah mencatat segala sesuatu (baca: keputusan-Nya) di lauh mahfudz dengan pena. Melalui pena (al-qalam), Allah mencipta dan menulis seluruh kehidupan di alam jagat raya (al-ka’inat). Allah menulis (mencatat), maka dunia menjadi aja. Oleh karena itu, makna mataforik dari pena, sebagaimana yang disumpahkan oleh Allah, menurut sebagian mufassir dimaknai sebagai simbol bagi tegaknya ilmu pengetahuan. Maka, dalam sumpah demi pena (al-qalam) dan apa-apa yang mereka tulis, terdapat manifestasi ‘logos ketuhanan’ yang berarti pengetahuan. 
Melalui pena, Allah menulis dan mencatat segala kehidupan, dan kemudian segalanya menjadi ada. Atau, ayat pertama dari QS. al-Qalam dapat diterjemahkan secara filosofis, “Aku menulis (mencatat) segala sesuatu, maka kehidupan menjadi ada.” Segala yang maujud tidak lain adalah manifestasi atau citra-citra dari Tuhan. Oleh karena itu, pena juga diartikan sebagai manifestasi dari ‘kreatifitas Tuhan’ yang paling agung. Jika Tuhan saja, bersumpah atas nama pena dan apa-apa yang tertulis, maka tidak salah jika kita membangun peradaban umat manusia ini dengan menulis. Ya, ‘aku menulis, maka aku ada.’ Bukankah pena (al-qalam) menjadi awal dari kehidupan segala yang maujud?[mff]

29 Juli, 2009

Nabi, Ulama dan Ilmuwan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam ortodoksi Islam, pengertian nabi dan rasul dipahami secara berbeda. Rasul adalah seorang hamba yang mendapat wahyu dari Allah dan sekaligus turunkan kepadanya syari’at untuk diajarkan kepada umatnya. Sementara nabi didefinisikan sebagai orang yang diberi wahyu oleh Tuhan tetapi tidak diberi syari’at untuk diajarkan kepada umatnya. Martabat kerasulan dan kenabian berakhir seiring dengan wafatnya baginda Muhammad Saw. Dengan kata lain, sepeninggal baginda Muhammad Saw tidak ada lagi orang yang bisa mengaku dan dianggap sebagai rasul dan nabi. Pengertian seperti ini telah menjadi pengetahuan umum di kalangan umat Islam.
Namun demikian, Ibnu Arabi, seorang sufi agung yang sangat terkenal dalam dunia Islam, meyakini bahwa kenabian masih bisa berlanjut. Menurut Ibnu Arabi, nabi itu dibagi menjadi dua; pertama kenabian khusus dan kedua kenabian umum. Kenabian khusus adalah kenabian yang disertai dengan syari’at, sedangkan kenabian umum adalah kenabian yang tidak disertai syari’at. Jenis kenabian yang pertama (yang khusus) sudah berakhir, sementara jenis kenabian yang kedua (yang umum) belum berakhir. Jenis kenabian yang terakhir masih terus berlangsung sampai hari kiamat.
Ibnu Arabi lantas menjelaskan, bahwa kematian baginda Muhammad Saw tidak dapat memutus tugas malaikat Jibril untuk menyampaikan ilham kepada orang-orang terpilih. Mereka adalah wali-wali dan ulama-ulama Allah. Allah mengilhamkan kepada mereka yang terpilih berbagai rahasia dan berita samawi. Dari mereka terpancar pengetahuan ilahi mengenai segala yang ada di jagad raya, supaya umat manusia tidak tersesat dalam kegelapan.
Meskipun penjelasan Ibnu Arabi ini tampak keluar dari pemahaman ortodoksi, tetapi ia relatif dapat diterima dan dinalar dengan jelas. Kita mungkin masih teringat dengan sebuah hadits nabi yang sering diulang-ulang secara terus-menerus, yang menyatakan bahwa “Para ulama adalah pewaris para nabi.” Predikat menjadi ‘pewaris nabi’ bagi para ulama bukan berarti para ulama akan menjadi nabi sebagaimana kenabian baginda Muhammad; tidak dalam pengertian kenabian yang khusus—sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Arabi—yang bersifat final. Status menjadi ‘pewaris’ musti dipahami sebagai kedekatan martabat. Para ulama menjadi pewaris nabi dalam hal kondisi (ahwal), tindakan (fiil), perkataan (qaul) dan pengetahuan (ilm). Seorang nabi menjadi panutan, pembimbing dan penunjuk jalan bagi umatnya. Dengan cara yang sama, para ulama musti menjadi panutan, penunjuk jalan dan pengganti (khalifah) nabi atas umatnya. 
Seorang ulama semestinya menganjurkan orang-orang untuk belajar, dibimbing dan dituntun menuju jalan yang benar. Ia menganjurkan umatnya untuk selalu mendekatkan diri pada pengatahuan. Atau jika tidak, umatnya akan dihinggapi kebodohan dan tersesat terus-menerus. Pengetahuan tidak berhenti seiring dengan meninggalnya Nabi Saw. Jika pengetahuan itu berhenti sepeninggal nabi, maka umat manusia akan terjerumus kedalam lembah kebodohan dan kesesatan. Di sini, dapat kita lihat secara jelas fungsi sosial-pengetahuan yang diemban oleh para nabi dan ulama sekaligus. Namun demikian, kesamaan fungsi ini tidak menjadikan kesamaan derajat antara seorang nabi dan ulama. Derajat nabi lebih tinggi daripada derajat ulama. 
Ulama yang merupakan bentuk jama’ dari kata alim merupakan orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum Allah (ahkam Allah). Hukum Allah tidak terbatas pada hukum-hukum agama, tetapi mencakup hukum-hukum alam atau yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan sunnatullah. Nabi Saw mendapat pengetahuan ilahi yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dan tidak terbatas pada pengetahuan hukum agama. Kenabian baginda Muhammad Saw menjadi logos ketuhanan yang menyinari seluruh jagat raya dan isinya. Logos ketuhanan itu bersifat menyeluruh bagi semua kehidupan. Oleh karena itu, tidak tepat jika pengertian ulama hanya dikhususkan untuk pengetahuan agama, semantara pemilik pengetahuan non agama tidak disebut dengan ulama. 
Generasi awal Islam tidak mengenal pembedaan antara pemilik pengetahuan agama dan pemlik pengetahuan non agama. Pengertian ulama mengacu pada mereka yang memiliki pengetahuan, apapun bidang dan jenis pengetahuan yang dimiliki. Kenyataan yang dapat ditemukan dalam literatur-literatur Islam klasik adalah orang yang ahli filsafat disebut dengan al-failasuf, orang yang pintar dalam bidang logika disebut dengan ahl al-manthiq, orang yang ahli mengobati disebut dengan al-thabib, orang yang menonjol di bidang agama disebut dengan rijal al-din dan seterusnya. Semuanya masuk dalam kategori ulama. Mereka disebut ulama karena dipercaya menguasai dan memiliki pengetahuan, dan dengan pengetahuannya mereka mengajarkan dan membimbing umat manusia ke jalan yang benar. Mereka inilah pewaris para nabi dalam mentransmisikan pengetahuan kepada umat manusia. 
Kenyataan yang terjadi di tengah kehidupan kita adalah justru ulama mendapat pengertian sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama atau hukum agama. Orang yang memiliki pengetahuan di luar bidang agama disebut dengan ilmuwan. Munculnya dikotomi antara ulama dan ilmuwan seperti yang sedang terjadi merupakan representasi nyata dari perseteruhan antara agama dan filsafat yang sudah berlangsung sejak lama dalam sejarah pengetahuan Islam. Maka tidak heran, pengertian ulama mengalami penyempitan, hanya terkait dengan mereka yang mempunyai pengetahuan agama atrau hukum agama. Sementara sebutan ilmuwan yang merupakan terjemahan serapan dari istilah ulama lebih diidentikkan dengan mereka yang mempunyai dan menguasai pengetahuan non agama. 
Apabila ulama menjadi pewaris para nabi karena kepemilikan pengetahuannya, maka demikian juga para ilmuwan dapat menjadi pewaris para nabi. Seorang ulama dan ilmuwan sejati adalah mereka yang memiliki pengetahuan hukum Allah, yang dengan pengetahuannya ia harus menjadi panutan, kepercayaan dan pengganti (khalifah) para nabi atas umatnya. Seharusnya, mereka menjadi pewaris para nabi dalam hal kondisi (ahwal), perbuatan, perkataan dan pengetahuan. Oleh karena itu, derajat dan maqam mereka tinggi. Kemuliaan derajat mereka, dikiaskan oleh nabi Saw dengan sabdanya: “Keutamaan orang yang berilmu itu bagaikan bulan dan bintang.” 
Dengan demikian, ulama adalah ilmuwan, dan ilmuwan adalah ulama. Keduanya sama-sama menjadi pewaris para nabi. Ini mudah diucapkan, tetapi berat di hati. Karena, sabda “Para ulama adalah pewaris para nabi.” telah menjadi jargon dan senjata yang lebih dulu dikuasai oleh mereka yang ‘merasa’ menguasai pengetahuan hukum agama.[mff]