26 Agustus, 2009

Menghargai Diri Bangsa dengan Pantat

Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam beberapa tahun terakhir ini, bangsa kita Indonesia sering “berseteruh” dengan negara tetangga sendiri, yaitu Malaysia. Kita dengan negeri Jiran yang satu ini yang telah lama menjadi sahabat karib--karena memang memiliki kedekatan budaya dan ras—semestinya tidak pantas untuk bersitegang. Karena kedekatan dari berbagai aspek inilah seharusnya kita dengan Malaysia saling bau-membau, mengulurkan bantuan dan kerja sama untuk memajukan bangsa yang serumpun, sehingga negara-negara yang masuk dalam kawasan Asia Tenggara bisa maju seperti negara-negara Barat atau Eropa.
Sejauh yang dapat kita amati, terdapat dua hal yang menjadi pemicu utama perseteruhan antara negara kita dengan Malaysia sebagaimana yang akhir-akhir ini kita saksikan. Pertama, masalah geo-politik. Kedua, masalah warisan (khazanah) budaya atau geo-kultural.
Terkait dengan masalah pertama, perseteruhan antara Indonesia dengan Malaysia dipicu oleh batas wilayah teritorial antar kedua negara. Seperti sudah maklum, batas wilayah teritorial negara kita, berdasarkan hukum Internasional yang telah ditetapkan, meliputi seluruh bekas jajahan Hindia Belanda, sehingga batas wilayahnya terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan ditambah dengan batas perairannya yang ditarik dari garis pantai seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Dalam hal ini, Malaysia pernah mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan, yang pada akhirnya kedua pulau ini lepas dari wilayah kedaulatan RI. Dan yang akhir-akhir ini cukup membikin panas antara kedua negara, adalah klaim Malaysia terhadap pulau Ambalat. Sekarang kasus Ambalat dalam tahap proses perundingan.
Sementara itu dalam persoalan khazanah budaya bangsa, seringkali Malaysia menyulut api permusuhan dengan negara kita. Cobalah kita mengamati tingkah pola negeri Jiran itu yang berkali-kali menyinggung emosi bangsa kita; Malaysia banyak mengambil warisan naskah-naskah klasik (manuskrip) keagamaan yang berada di Riau, Aceh dan Kalimantan; klaim Malaysia atas lagu Rasa Sayange yang merupakan lagu khas Ambon; Tari Reog Ponorogo pernah dilaim oleh Malaysia; dan yang paling mutakhir tari Pendet yang berasal dari Bali.
Perseteruhan antara kita dengan Malaysia seperti yang terjadi dalam beberapa hal tersebut di atas, mencerminkan wajah dan eksistensi bangsa Indonesia yang rapuh. Bangsa yang kita cintai ini tidak memiliki sistem pengaturan geo-politik yang baik, dan juga tidak memiliki kepedulian terhadap khazanah budaya yang telah diwariskan oleh para penduhulu dari waktu ke waktu. Persoalan klaim beberapa pulau dan warisan budaya oleh negara lain semestinya tidak perlu terjadi jika diri kita memiliki kewibawaan di mata yang lain.
Bangsa yang baik adalah bangsa yang mau menerima, menghargai dan memperhatikan dirinya sendiri. Pulau Sipadan dan Ligitan tidak mungkin jatuh ke negeri Jiran jika bangsa ini memiliki perhatian terhadapnya. Demikian juga kita mungkin tidak sampai “marah-marah” karena beberapa warisan budaya kita diklaim oleh negara lain seandainya kita mampu melestarikan dan mengharaginya dengan baik.
Sudah menjadi hal yang salah kaprah, bangsa kita ini lebih suka melupakan diri sendiri dan lebih tertarik untuk memberi perhatian pada “yang lain”. Gaya budaya yang datang dari luar bangsa kita, lebih kita lirik dan lebih kita minati daripada menghargai dan melestarikan budaya sendri. Padahal menghargai diri sendiri merupakan modal dasar untuk menjadikan diri lebih eksis dan dikenal oleh orang lain.
Modal untuk menghargai diri sendiri inilah yang sekarang mulai tergerus dari lubuk batin anak bangsa kita. Coba kita perhatikan, betapa banyak anak bangsa kita yang tertarik untuk melstarikan warisan budaya lokal, seperti tari-tarian atau ritual adat istiadat setempat; berapa banyak anak negeri ini yang lebih ngeng dengan tradisi pernaskahan masa lampau; berapa banyak generasi bangsa ini yang memahami sejarah luhur bumi pertiwinya. Atau tidakkah dengan modal keaneka-ragaman budaya bangsa kita, dapat membuat jati diri bangsa ini kuat dan disegani.
Kita sering mengaku bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang besar karena memiliki khazanah budaya yang beraneka ragam. Tetapi anehnya, kita tidak serius untuk memperkenalkan warisan khazanah itu sebagai bentuk rasa memiliki dan menghargai. Justru, bangsa ini lebih tertarik untuk mengenalkan jati diri bangsa lewat momen-momen internasional tertentu belaka seperti ajang miss universe atau miss world. Rasa memiliki dan menghargai warisan budaya bangsa tidak cukup sekedar dengan memperkanalkannya lewat lenggak-lenggok tubuh atau—maaf—dengan pantat yang harus dilihat oleh segelintir orang. Atau mungkin kita hanya cukup menghargai diri sendiri dengan pantat? Semoga ketegangan antara bangsa kita dengan negeri sahabat Malaysia dapat menjadi ibrah kita semua, dan tidak menodai makna puasa anak bangsa ini.[mff]

25 Agustus, 2009

Dari Jilbab Manohara sampai Gamis Pasha-Ungu

Oleh: M. Faisol Fatawi

Pakaian bagi setiap orang merupakan hal yang sangat penting atau vital. Dengan pakaian, seseorang dapat melindungi dirinya dari terik panas matahari atau dinginnya musim dingin. Atau juga dapat menahan debu-debu supaya tidak menempel di anggota tubuh, sehingga kebersihannya tetap terjaga. Setiap orang selalu mendambakan pakaian untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bahasa agama, pakaian berfungsi untuk menutupi aurat atau anggota badan tertentu yang tidak boleh diperlihatkan dan diketahui oleh mereka yang tidak mahramnya. Pakaian tidak saja dipandang vital sebagai penutup atau pelindung tubuh semata, tetapi sebagai kewajiban yang harus dikenakan oleh setiap insan beragama. Lebih-lebih, ketika seseorang hendak melakukan ibadah shalat atau menghadap Tuhan. Oleh karena itu, Allah menyatakan: “hai anak Adam, ambillah pakaian-pakaian kalian ketika masuk masjid.” (QS. al-A’raf: 31).
Al-Qur’an dalam membahasakan pakaian, menggunakan tiga istilah. Yaitu, tsiyab, libas dan zinah. Baik tsiyab maupun libas, keduanya memiliki pengertian yang dekat, yakni sesuatu yang dapat menutupi atau leindungi kulit, sehingga kulit itu tidak dapat dilihat atau menjadi terhalang untuk dilihat.
Khusus terkaiat dengan istilah tsiyab, al-Qur’an menyatakan: “Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka tsiyab-tsiyab dari api neraka.” (QS. al-Hajj: 19). Tsiyab di sini berarti sesuatu yang dapat menutupi tubuh. Para mufassir mengartikan tsiyab tersebut dengan pakaian baju yang terbuat dari timah atau besi sehingga dapat secara langsung membakar tubuh orang-orang kafir. Sementara itu, istilah libas digunakan al-Qur’an untuk menyebut karakteristik orang-orang yang bertakwa. “Dan libas ketakwaan adalah kebaikan.” (QS. al-A’raf: 26). Libas berarti sesuatu yang dapat menutupi, dan seorang yang bertakwa seharusnya menutupi dirinya dengan kebaikan. Artinya, menjadikan kebaikan sebagai pakaiannya. Pengertian tsiyab lebih diatributkan pada orang-orang kafir, sedangkan libas cenderung dinisbatkan pada orang-orang yang bertakwa.
Selain memiliki fungsi sebagai penutup atau pelindung badan, al-Qur’an juga menyebut pakaian sebagai sesuatu yang memiliki fungsi perhiasan. Dalam hal ini, al-Qur’an menggunakan bahasa zinah. Kata zinah digunakan dalam pengertian yang lebih umum dan netral. Dalam pengertian masyarakat Arab, zinah (perhiasan) merupakan barang-barang duniawi yang masuk dalam kategori sesuatu yang dapat dinikmati (mata’). Jika barang-barang duniawi-bendawi ini dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuannya, maka dapat menuntut si empunya ke jalan yang benar. Tetapi jika tidak, maka dapat memperdaya atau menipu setiap manusia, dan apabila ini yang terjadi maka harus dijauhi.
Banyak model dan macam pakaian yang dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih-lebih pada bulan Ramadhan, pasar-pasar dan tokoh-tokoh pakaian dibanjiri oleh berbagai model pakaian, mulai jilbab, baju gamis, sarung, mukenah dan seterusnya. Ramadhan menjadi momen paling menguntungkan bagi para penjual pakaian. Hal ini karena akhir bulan Ramadhan yang seharusnya diakhiri dengan Hari Raya Idul Fitri, seolah-olah menjadi ajang untuk “pamer” pakaian baru. Cobalah kita melihat di kanan kiri kita, orang sudah mulai menyerbu tempat-tempat penjualan pakaian sebagai persiapan untuk Idul Fitri. Satu puncak momen yang semestinya kita ber-muhasabah untuk merenungi diri atas apa yang kita lakukan selama Ramadhan, dan menghayati makna Idul Fitri yang paling hakiki.
Hobi kita yang suka belanja pakaian di bulan yang suci ini ternyata tidak disia-siakan oleh para produsen atau penjual pakaian. Untuk semakin menarik minat pembeli, maka berbagai produk pakaian pun dikemas dengan menggunakan merek yang dinisbatkan pada nama artis yang sedang naik daun. Maka tak heran, jika di pasaran dapat ditemukan beberapa pakaian seperti jilbab Manohara, Gamis Manohara, Gamis Pasha-Ungu dan barangkalai berbagai jenis pakaian lainnya yang menggunakan nama-nama artis ternama. Tetapi anehnya, justru gaya-gaya atau model pakaian yang seperti itu, yang mendapat respon luar biasa dari para konsumen. Semoga berbagai pakaian tersebut dan hasrat kita untuk membelinya, tidak menutupi hakikat dan fungsi pakaian itu sendiri, serta tidak megganggu kita untuk menjalani bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan. [mff]

24 Agustus, 2009

Nilai Kemanusiaan dalam Puasa

Oleh: M. Faisol Fatawi

Kalau kita mencermati berbagai jenis ibadah dalam Islam yang paling unik, maka jawabannya adalah ibadah puasa. Puasa dikatakan unik karena jenis ibadah yang satu ini hanya bisa dilakukan dan dirasakan oleh orang yang bersangkutan (sha’im). Hanya Allah dan orang yang bersangkutan, yang dapat mengetahui ibadah puasa. Lain halnya dengan ibadah shalat, zakat atau sedekah lainnya. Ibadah-ibadah sejenis itu dapat disaksikan dengan mata telanjang.
Secara sederhana, puasa didefinisikan dengan menahan diri dari makan dan minum. Tetapi pada hakikatnya, puasa tetap menjadi ibadah yang lebih bersifat sirri, yang tidak dapat dilihat oleh orang lain secara mudah. Seseorang bisa saja mengaku berpuasa atau menunjukkan bahwa dirinya tidak mengkonsumsi makanan atau minuman apapun, tetapi bisa saja orang ini, tanpa sepengetahuan orang lain, memakan makanan atau meneguk minuman. Oleh karena itu, Allah dalam sebuah hadits Qudsi menyatakan: “Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku yang akan mengganjarnya.” Dengan sabda ini, Allah seolah mengisyaratkan bahwa ibadah puasa merupakan urusan Allah. Hanya Allah yang mengetahui jika seseorang itu berpuasa. Bukan orang lain.
Mengingat kekhasan ibadah puasa yang seperti itu, sang Hujjatul Islam Imam Ghazali pun mengklasifikasikan puasa ke dalam tiga kelompok. Pertama, puasa orang awam. Yaitu, puasanya orang yang hanya dapat menahan diri dari makanan dan minuman serta berhubungan seksual dengan istri atau suami. Kedua, puasa orang khawash yang berarti puasanya orang-orang yang tidak saja menahan lapar dan haus dahaga, tetapi mereka juga menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela-negatif lainnya seperti sombong, riya’, iri dengki, marah dan seterusnya. Ketiga, puasanya orang yang khawashul khawash. Yaitu, puasanya mereka yang hanya mengisi raga dan sukmanya atau hati dan pikirannya dengan dzikir pada Allah. Yang ada di dalam diri mereka hanya Allah dan Allah.
Sebagai ibadah yang sirri, status ke-puasa-an seseorang hanya dapat ditentukan oleh diri seseorang yang berpuasa itu sendiri. Yang mengetahui puasa tidaknya seseorang adalah orang yang berpuasa. Ini berarti bahwa dalam ibadah puasa seseorang dituntut bersikap jujur, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Jujur pada diri sendiri ditunjukkan dengan komitmen untuk tidak makan dan minum dalam batas waktu yang telah ditentukan. Dan jujur pada orang lain menjadi konsekwensi atas kejujuran dalam memegang komitmen untuk berpuasa.
Dengan menahan diri dari makanan, minuman dan kebutuhan ragawi lainnya, proses metabolisme dalam tubuh orang yang berpuasa mengalami penurunan. Turunnya proses metabolisme dalam tubuh seseorang dapat mengurangi atau bahkan menetralisir ego. Ego yang berlebihan di dalam tubuh manusia dapat mendorong lahirnya sikap-sikap negatif atau tak terpuji.
Ego atau keakuan (al-ananiyah) dalam agama harus disingkirkan karena dapat menjadi sumber keburukan dalam diri setiap insan. Yang paling berhak menyatakan Keakuan hanya Tuhan, sang Maha al-Mutakabbir. Meskipun dalam diri manusia terdapat ego atau keakuan, tetapi keakuan itu tidak dapat dibandingkan dengan dan mengalahkan Allah al-Mutakabbir. Jika puasa dapat menetralisir atau menstabilkan kadar keakuan (ego) yang bercokol dalam diri manusia melalui berkurangnya proses metabolisme tubuh, maka berarti ibadah puasa dapat menjadi kontrol untuk mengembalikan manusia kepada watak kemanusiaannya sendiri. Ia tetap menjadi manusia sebagaimana manusia lainnya yang tidak berhak untuk menguasai atau menzhalimi orang lain. Orang-orang yang berpuasa adalah sama-sama manusia yang lemah di hadapan sang al-Mutakabbir.
Di samping itu, ibadah puasa dapat mendorong lahirnya semangat solidaritas antar sesama. Orang yang berpuasa pasti merasakan lapar dan haus. Dengan kata lain, rasa lapar dan haus menjadi pengalaman yang tidak bisa dilewatkan oleh orang yang berpuasa. Dengan berlapar dahaga, orang yang berpuasa dapat merasakan keadaan yang biasa dijalani oleh mereka kaum dhu’afa’ yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok kesehariannya. Maka, puasa mengajarkan kepada kita akan sikap untuk berbagi antar sesama. Yang tadinya kaya dapat merasakan nikmatnya perut yang selalu kosong.
Begitulah, puasa menanamkan kepada kita semua untuk bersikap jujur, mengesampingkan ego (keakukan) dan mendorong lahirnya semangat solidaritas kemanusiaan. Namun sayangnya, nilai-nilai kemanusiaan itu menjadi tidak berdaya atau bahkan sengaja tidak diberdayakan agar dapat secara terus-menerus bersemai dalam diri setiap kita. Kita semua memang senang melupakan nilai hikmah di balik setiap ibadah yang kita jalankan, dan lebih suka berbangga dengan rutinitas ibadahnya saja. Bukankah puasa yang kita jalankan di tengah bulan Ramadhan ini telah kita jalani berkali-kali? Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam puasa seyogyanya kita jadikan sebagai akhlak kepribadian untuk membangun negeri ini.[mff]

23 Agustus, 2009

Religiusitas Makna Puasa

Oleh: M. Faisol Fatawi


Salah satu aspek penting yang menjadi objek sasaran setiap agama adalah wilayah kesadaran manusia. Dalam agama, kesadaran manusia yang beriman dipupuk melalui berbagai ritual (ibadah) agar dapat melampaui dan mencapai suatu kehidupan yang lebih baik. Ibadah puasa sebagai salah satu ritus keagamaan dalam Islam juga tidak lepas dari dimensi itu.
Secara spesifik, Al-Qur’an menyebutkan bahwa tujuan ibadah puasa adalah membentuk pribadi-pribadi yang muttaqin. Dalam arti, terciptanya kesadaran akan keinsafan batin yang lebih tinggi dalam diri manusia, dalam keterkaitannya dengan Tuhan dan alam semesta. Dalam dunia filsafat religius, keinsafan seperti inilah yang disebut sebagai pengalaman religius (religious experience).
Pengalaman religius (religious experience) secara fenomenologis dapat dijelaskan sebagai pengalaman yang bersifat “tergantung”. Oleh karena itu, pengalaman religius sering didefinisikan sebagai perasaan ketergantungan yang muncul karena perasaan keterciptaan (creature feeling). Semua dialami secara subyektif, dan karena itu pengalaman religius menjadi suatu self-consciousness (penyadaran diri) atas misteri yang kudus.
Puasa bersifat lahir dan batin. Secara lahiriah, orang berpuasa tidak boleh makan, minum, merokok atau melakukan hubungan seks pada siang hari, sejak fajar menyingsing sampai matahari tenggelam. Secara batin, orang berpuasa mencegah jiwa dan nafsunya agar tidak tenggelam dalam kejahatan, seperti berbohong, menfitnah, iri, dengki atau sombong. Baik lahir maupun batin, yang jelas puasa telah memberikan pengalaman yang bersifat subyektif-psikologis.
Menurut Iqbal, pengalaman itu berlangsung dalam waktu dan mempunyai tiga tingkatan, yaitu materi, pikiran dan kesadaran. Ketiga-tiganya berasas pada spiritual. Waktu itu ada dua macam. Pertama, waktu yang dikuasai oleh pengertian kita mengenai ruang, yakni waktu yang dapat diukur. Waktu yang seperti ini bersifat obyektif-fisis.
Kedua, waktu yang bersifat subyektif-psikologis. Waktu yang seperti ini lebih dikenal dengan duration. Ia tidak bersifat kuantitatif, tetapi berjalan terus (kontinuitas) dan tidak terbagi.
Jika kita menempatkan puasa dalam pengalaman yang berlangsung dalam waktu yang pertama (bersifat fisis-obyektif), maka yang dapat dirasakan hanyalah sekedar serentetan tindakan fisik yang terstruktur dalam sistem ruang-waktu-materi yang di dalamnya ada asas hukum kausalitas sebagai penjelas semua peristiwa: seseorang berpuasa pasti akan lapar dan dahaga karena tidak makan dan minum selama seharian, dan seterusnya. Kesadaran yang terbangun hanya sebatas itu saja.
Namun tidak demikian jika kita menempatkan puasa dalam pengalaman yang berlangsung dalam dimensi waktu yang kedua (bersifat subyektif-psikologis). Menempatkan pengalaman puasa dalam pengertian duration berarti puasa itu sendiri adalah duration. Ia tidak akan pernah berakhir seiring dengan masa selesainya puasa. Pengalaman seperti ini bersifat kualitatif dan berkaitan dengan kebebasan yang melekat pada manusia. Tidak dapat dibuktikan, tetapi hanya dapat dialami. Oleh karena itu, kesadaran religius—menurut Iqbal—juga bersifat duration.
Sampai di sini dapat kita pahami, bahwa semakin orang mengalami pengalaman religius, maka ia semakin mengalami kebebasan. Dan semakin mengalami kebebasan, maka ia semakin mengalami keadaan menyatu dengan usaha kreatif yang berasal dari Allah atau bahkan mungkin dapat disamakan dengan Allah. Yang terakhir ini dalam tradisi kaum sufi disebut dengan wahdat al-wujud.
Puasa menunjukkan kepada kita semua akan pengalaman religius tentang realitas yang hakiki, yang berhubungan dengan perlangsungan waktu murni, dengan pikiran, kehidupan dan tujuan yang saling membentuk suatu kesatuan organik. Kesatuan yang terlibat dalam usaha penciptaan yang terus-menerus sebagai evolusi kreatif diri untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan dan keadilan sosial, guna mencapai kehidupan yang lebih baik (baca: manusiwai).
Pengalaman religius tetap akan terjadi manakala kita memiliki komitmen secara total pada apa yang terjadi pada pengalaman yang baru kita alami itu. Komitmen total ini dalam bahasa teologis tidak lain adalah iman. Hanya orang berpuasa yang memiliki komitmen seperti itulah yang dijanjikan oleh Allah dapat melihat sorga dan Allah setelah hari kebangkitan. Maka, jangan heran pula jika nabi Saw pernah menyatakan “Betapa banyak orang-orang yang berpuasa. Namun, yang didapatkan hanyalah sekedar lapar dan dahaga”. Na’udzu billah min dzalik.[mff]

22 Agustus, 2009

Memperlakukan Ramadhan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Semua orang merasakan bahwa bulan Ramadhan memiliki aura yang berbeda dibanding dengan bulan-bulan lainnya dalam Islam. Lebih-lebih, selama Ramadhan umat Islam diperintahkan untuk melakukan shalat sunat tarawih dan dilanjutkan dengan tadarrus al-Qur’an selama satu bulan penuh. Setiap orang mukmin diserukan untuk banyak melakukan kebaikan dan berbagai amal kebajikan, serta meminta rahmat dan ampunan Allah pada bulan ini. Hal ini karena Ramadhan merupakan bulan yang sepertiga bagian awalnya adalah rahmat, sepertiga bagian tengahnya adalah maghfiroh dan sepertiga bagian akhirnya adalah pembebasan dari api neraka. Ibarat seorang tamu, Ramadhan adalah tamu mulia dan agung yang bertandang hadir ke hadapan para hamba-hamba Allah dengan membawa rahmat, maghfiroh dan kemerdekaan dari siksa neraka.

Suasana lain daripada yang lain karena kehadiran Ramadhan juga bisa kita lihat dalam berbagai acara televisi. Jika kita mengamati semua tayangan di televisi, maka dapat dipastikan semua tayangan itu menjadikan Ramadhan sebagai daya pemikatnya. Tamu agung yang bernama Ramadhan itu diolah dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian para pemirsa. Apapun iklan yang ditayangkan dikemas sedemikian rupa dengan menjadikan tema Ramadhan sebagai daya pemikat meskipun secara nyata tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bulan suci itu. Mulai iklan produk-produk kebutuhan sandang, papan dan bahkan sampai pangan.

Yang lebih dahsyat lagi, hampir setiap stasiun televisi menyiapkan film khusus yang bertemakan bulan Ramadhan. Cobalah kita lihat, ada Cinta Fitri edisi khusus Ramadhan, Para Pencari Tuhan 3, Mukjizat Cinta dan seterusnya. Seolah-olah setiap stasiun televisi ingin menjadikan acara-acara tersebut sebagai maskot utamanya. Dalam film itu, semua disulap menjadi sangat “islami”. Mulai dari tema yang diangkat sampai cara berpakaian para tokohnya pun tidak luput dari simbol-simbol agama. Dari kalangan artisnya, yang semula tidak pernah menyentuh busana muslim, tiba-tiba lewat film itu disulap menjadi sosok yang berpenampilan bak seorang mukmin tulen yang taat beragama. Tokoh yang antagonis (pemeran kejelekan) harus selalu dikalahkan atau disadarkan oleh tokoh protogonis (pemeran kebaikan). Singkatnya, film-film itu dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan aura dan suasana yang benar-benar islam. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara acara-acara yang ditayangkan pada bulan Ramadhan dengan non-Ramadhan.

Di era globalisasi seperti sekarang ini, media elektronik menjadi sarana komunikasi yang efektif. Akses yang lebih cepat dan mudah yang disuguhkan oleh kemajuan teknologi nampaknya menjadi kebutuhan setiap orang, khususnya bagi orang-orang yang beragama untuk mendapatkan pengetahuan tentang ajaran-ajarannya. Dalam konteks ini, film atau sinetron yang bertemakan keagamaan dapat dijadikan sebagai media dakwah atau kalau tidak malah menjadi “barang dagangan” yang dijual melalui media elektronik ke hadapan publik untuk meraup keuntungan material sebanyak-banyaknya.

Sejatinya film atau sinetron yang bertemakan keagamaan (baca: Ramadhan) tidaklah menjadi persoalan sejauh dapat menanamkan nilai kebaikan dan kebajikan. Film atau sinetron itu sendiri bukanlah realitas kehidupan yang sesungguhnya. Ia hanyalah hasil rekaan yang bersifat imajiner atau ia merupakan fakta yang diimajinasikan kembali. Maka, apapun film atau sinetron yang ditayangkan khusus untuk menyambut dan mengisi Ramadhan tidak lain juga merupakan hasil rekaan semata. Ia merupakan realitas semu.

Ramadhan itu adalah tamu yang diperuntukkan oleh Allah untuk kita semua. Layaknya orang yang kedatangan tamu, setiap kita dituntut untuk memperlakukannya secara hormat. Tamu itu harus kita suguhi makanan dan minuman. Bahkan jika menginap harus kita siapkan tempat untuk beristirahat baginya. Oleh karena itu, setiap umat Islam harus berkorban untuk menyambut dan menerima bulan Ramadhan. Baginda Rasulullah Saw menitahkan kepada umatnya untuk mengisi bulan suci ini dengan banyak menjalankan amal ibadah, mengambil nilai hikmah dan menanamkannya dalam hati sanubari agar betul-betul menjadi pribadi yang muttaqin. Atau kita malah mengajak sang tamu bulan Ramadhan itu untuk menikmati aneka tontonan televisi (film atau sinetron yang bertemakan keagamaan) bersama-sama? Jika yang terakhir ini yang terjadi, maka kita sungguh berada dalam keadaan merugi.[mff]

20 Agustus, 2009

Memaknai Keberkahan Bulan Ramadhan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Berkah merupakan satu hal yang selalu diidam-idamkan oleh setiap diri kita. Setiap kita senantiasa berdoa untuk mendapatkan keberkahan dalam hidup, rezki dan segala aktifitas yang dijalankan. Berkah menjadi pengisi doa yang paling dicari sebagaimana keselamatan, kesehatan dan berbagai jenis kebaikan yang lain.
Dalam pemahaman yang sudah lumrah, pengertian"berkah” didefinisikan sebagai bertambahnya kebaikan (ziyadah al-khoir). Jika misalnya dikatakan bahwa kehidupan seseorang itu mendapat berkah, maka berarti ia berada dalam kebaikan yang selalu bertambah. Rezki yang penuh berkah berarti rezki yang dapat mendatangkan kebaikan.
Sebagian mufassir juga mengartikan berkah dengan manfaat. Sesuatu dinyatakan berkah jika memiliki manfaat. Sahabat Ikrimah pernah menyatakan: “beribadah malam hari merupakan ibadah yang paling banyak berkahnya.” Berkah di sini tidak lain adalah hal-hal yang baik atau kemanfaatan yang ditimbulkan dari aktifitas beribadah di malam hari; situasi tenang yang dapat mendorong lahirnya ketenangan hati atau kestabilan psikologis. Bahkan dalam sabda Rasul terdapat hadits yang menyatakan: “berwudlu sebelum makan dan sesudahnya adalah berkah.” Dengan berwudlu tangan menjadi bersih dan kotoran-kotoran yang menempel menjadi hilang. Makan dengan tangan bersih dapat mengindarkan diri dari kemadharatan anggota tubuh.
Di samping itu, berkah dapat diartikan dengan keberuntungan dan kesucian. Dalam kitab-kitab turats seringkali dikatakan; la barakata fi al-harami yang berarti bahwa dalam hal-hal yang haram tidak ada berkah. Sesuatu yang haram tidak memiliki berkah karena pada hakikatnya ia tidak bersih atau suci, sehingga tidak dapat mendatangkan keberuntungan di sisi Allah.
Begitulah berkah memiliki medan makna yang tidak sempit. Berkah berarti bertambahnya kebaikan, sesuatu yang dapat memberikan manfaat, keberuntungan dan kesucian. Sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan, keberuntungan, kesucian dan kemanfaatan menjadi tujuan dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu, tak heran jika Rasulullah Saw pun memerintahkan umatnya untuk memburu keberkahan. “Bergegaslah menuju berkah Allah seolah-olah aku (Nabi) melihat para pegulat tangguh.” Demikian sabda kanjeng nabi. Dengan demikian, berkah itu terkait dengan sebuah nilai, dan bukan berwujud sesuatu yang bendawi atau materialistik.
Kenyataannya yang terjadi, orang sering menganggap berkah sebagai bertambahnya sesuatu yang bersifat fisik. Misalnya, ada orang yang membelanjakan harta benda kemudian orang itu mendapat ganti harta benda yang lain, baik serupa maupun tidak serupa. Atau misalnya kita memegang uang sedikit tetapi dapat mencukupi kebutuhan hidup. Berkah dianggap sebagai sesuatu yang dapat menarik keuntungan bendawi.
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang diyakini dapat mendatangkan berkah dan ampunan. Cobalah kita mengamati berapa keuntungan yang didapat oleh para pedagang dari bulan Ramadhan. Rata-rata omzet mereka mengalami kenaikan luar biasa pada bulan yang satu ini. Karena, tingkat komsumsi masyarakat terhadap kebutuhan, baik pokok maupun non pokok, semakin meningkat. Cobalah kita lihat juga berapa keuntungan yang diraih oleh produser iklan yang hampir setiap tayangannya menggunakan momen Ramadhan sebagai daya tariknya. Atau lihat pula maraknya sinetron-sinetron relegius yang hadir khusus menyambut bulan Ramadhan yang penuh berkah itu.
Hal yang paling penting terkait dengan berkah adalah bertambahnya nilai relegiusitas yang tercermin dalam amal ibadah yang dilaksanakan; bagaimana nilai itu semakin diinternalisasikan dalam diri sehingga seseorang mendapatkan kebaikan dan keuntungan di sisi-Nya. Keberkahan tidak dapat dipandang dari sudut pandang transaksi jual beli. Yakni, mendapatkan keuntungan secara bendawi. Dengan demikian, berkah Ramadhan tidak sekedar bertambahnya keuntungan materialistik, tetapi meningkatnya nilai-nilai Ramadhan itu sendiri bagi keberagamaan kita sehari-hari. Keberkahan terbesar dari bulan Ramadhan adalah semakin meningkatnya nilai-nilai tentang ketuhanan dan sekaligus kemanusiaan yang tertanam dalam setiap insan yang mukmin. Wallahu a’lam. [mff]

19 Agustus, 2009

Kemerdekaan di Penghujung Puasa

Oleh: M. Faisol Fatawi

Ada yang lain dalam perayaan HUT RI ke 64 kali ini. Perayaan kemerdekaan tahun ini hampir berbarengan dengan bulan suci Ramadhan. Sebuah bulan yang penuh berkah dan ampunan. Tidak hanya itu, cobalah lihat kemeriahan perayaan itu dengan mengibarkan bendera merah putih di mana-mana. Di puncak dan lereng gunung, di dasar laut; semua mengambil momen penting kemerdekaan RI ke 64 dengan penuh khidmat.
Ditambah lagi berbagai ragam perlombaan dilaksanakan di seantereo bumi Indonesia. Mulai jenis perlombaan yang paling ringan seperti lomba makan krupuk, balap karung dan lain-lainnya, sampai perlombaan dari berbagai jenis olahraga. Yang menarik lagi, sebagian perlombaan yang digelar di beberapa tempat mengambil tema terorisme. Sungguh antusiasme yang luar biasa.
Beratus-ratus tahun yang lalu negeri yang kita cintai ini dalam cengkraman kaum penjajah. Mungkin terbersit dalam benak anak bangsa ini bagaimana para pejuang memanggul senjata seadanya (bambu runcing, tombak, parang dan senjata tajam lainnya), dan dengan begitu gagah berani melakukan perlawanan secara mati-matian kepada para tentara penjajah. Dan pada akhirnya, semua usaha itu dapat mengusir kaum penjajah dari negeri ini.
Dalam bahasa agama usaha yang gigih untuk melakukan peperangan terhadap musuh dikenal dengan sebutan jihad. Oleh karena itu, para pejuang bangsa kita dapat disebut bahwa mereka telah berjihad ketika melawan dan mampu mengusir musuh. Jihad dalam pengertian seperti ini lebih bersifat fisik. Jihad yang lebih berat adalah memerangi penyakit-penyakit jiwa atau yang lebih sering disebut dengan hawa nasfu.
Secara fisik, mungkin bangsa ini telah mendapatkan kemerdekaan. Tetapi kenyataannya, bangsa ini sedang dicengkram oleh penyakit-penyakit nafsu, jiwa dan mental. Hal ini ditandai dengan masih maraknya kasus penggelapan uang negara atau korupsi, tindak pidana yang hampir setiap hari terjadi secara silih berganti di mana-mana, sikap keadilan dan kejujuran diacuhkan, atau bahkan telah disinyalir rasa nasionalisme anak bangsa ini telah mengalami degradasi. Jika memang hal ini yang terjadi, maka kita perlu memaknai ulang perayaan kemerdekaan RI. Tentunya, merayakan kemerdekaan itu tidak sekedar upacara atau sekedar mengadakan rutinitas perlombaan yang lebih bersifat dramatis.
Nilai yang mempertemukan antara HUT RI ke 64 kali ini dengan bulan suci Ramadhan adalah Jihad. Jihad dalam pengertian memerangi hawa nafsu, bukan secara fisik. Pengertian jihad seperti ini jauh lebih penting dalam menjalani kehidupan berbangsa, beragama dan bernegara. Rasulullah Saw ketika usai melakukan perang dengan kaum musyrikin pernah menyatakan: “Kita telah pulang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.” Lalu sahabat bertanya: “Apa jihad yang lebih besar itu?” Rasul pun mejawab: “Yaitu, memerangi hawa nafsu.”
Momen pertemuan antara hari kemerdekaan dengan bulan Ramadhan seyogyanya dapat dijadikan sebagai tonggak untuk berjihad melawan segala penyakit diri atau hawa nafsu. Tantangan terbesar seorang yang sedang berpuasa adalah godaan-godaan jiwa (hawa nafsu). Seseorang bisa berpuasa untuk tidak meneguk minuman dan memakan makanan sedikitpun. Tetapi, ia belum tentu dapat menjauhkan penyakit-penyakit nafsu yang lain, seperti iri hati, dengki, menggunjing orang lain, bersikap munafik, marah dan atau hasrat-hasrat negatif yang lainnya.
Kita mungkin ingat sabda kanjeng nabi yang cukup terkenal: “Betapa banyak orang-orang yang berpuasa itu, tetapi mereka tidak mendapat apa-apa kecuali hanya lapar dan haus dahaga.” Sabda ini mengisyaratkan kepada kita semua bahwa pada hakikatnya bukan sekedar menahan lapar dan haus dahaga. Tetapi, juga harus mengontrol jiwa dari berbagai hasrat negatif. Seyogyanya kita juga tidak merayakan kemerdekaan bangsa ini dengan cara sekedar menjadikan aktifitas rutinan sebagaimana yang diisyaratkan dari sabda kanjeng nabi itu. Kita musti memaknainya dengan cara pandang yang lebih mendalam. Memerdekakan bangsa dari hawa nafsu diri kita yang seringkali memperdaya tanpa kenal lelah. Inilah kemerdekaan yang sejati.[mff]

05 Agustus, 2009

Kematian dan Perkawinan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Baru saja kita ditinggal oleh raja pop terkenal Michel Jackson, sekarang kita harus kehilangan Mbah Surip untuk selamanya. Sebagaimana kematian Jaco, kematian pelantun dan sekaligus pengarang lagu “Tak Gendong” dan “Bangun Tidur” itu, Mbah Surip, mendapat antusiasme yang luar biasa dari masyarakat. Tak kenal tua, muda dan anak-anak, semua merasa kehilangan. Berbagai media, baik cetak maupun elektronik, meliput prosesi penghormatan terakhir jenazah Mbah Surip. Semua orang tumplek bek (berjubel-jubel) menghadiri pemakamannya. Bahkan tak tanggung-tanggung, sebuah stasiun televisi menyiarkan secara langsung prosesi pemakaman itu.
Prosesi pemakaman Mbah Surip menjadi peristiwa yang “istimewa”, karena di dalam prosesi tersebut ternyata diadakan acara akad nikah, antara putri almarhum Mbah Surip dengan seorang pemuda (kalau tidak salah, Samsuri namanya). Semula, akad nikah antara dua sejoli itu akan dilaksanakan pada beberapa hari kedepan (16 Agustus 2009). Tetapi, takdir Tuhan berkata lain, Mbah Surip yang menjadi wali dari calon mempelai putri menghadap sang Khaliq terlebih dahulu.
Konon menurut adat yang berlaku di sebagian daerah tertentu diyakini bahwa akad pernikahan tidak boleh dilaksanakan jika dalam tahun yang sama akad pernikahan itu telah didahului oleh kematian keluarga. Tetapi justru, akad pernikahan itu boleh dilangsungkan berbarengan dengan prosesi pemakaman keluarga yang meninggalkan calon pengantin. Kira-kira karena alasan inilah, kita dapat menyaksikan prosesi pemakaman Mbah Surip dan sekaligus akad nikah putrinya di samping jasad almarhum. Inilah acara prosesi pemakaman (kematian) dan perkawinan. Sebuah momen peristiwa yang sangat jarang kita temukan. Kesedihan dan kegembiraan menyatu dalam saat yang sama. Kesedihan, karena keluarga mayit telah kehilangan anggota keluarga tersayang, Mbah Surip. Dan bahagia karena keluarga dapat menyaksikan berlangsungnya akad nikah dari salah satu anggota keluarga.
Kematian dan perkawinan merupakan peristiwa penting di tengah kehidupan. Perkawinan menjadi momen awal dari kehidupan segala makhluk yang ada di muka bumi, khususnya manusia. Sementara kematian adalah akhir dari segala kehidupan. Eksistensi manusia yang sesungguhnya dimulai dari perkawinan dan berakhir ketika ajal menjemputnya. Karena, melalui ikatan perkawinan sebuah keberlangsungan kehidupan dapat dijaga, dengan melahirkan generasi insan-insan yang baru, yang menggantikan generasi sebelumnya. Perkawinan dan kematian bukanlah sekedar drama kehidupan yang harus dilalui oleh setiap manusia. Keduanya menjadi filosofi kehidupan tentang eksistensi setiap manusia. Dengan kata lain, perkawinan dan kematian memberikan pendidikan bagi manusia akan cara “mengada”, yaitu bagaimana seseorang menjadi ada dan tiada.
Pentingnya peristiwa perkawinan dan kematian menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tema pembicaraan dalam kitab-kitab agama maupun keyakinan-keyakinan tertentu. Cobalah kita membaca dalam kitab-kitab suci, persoalan perkawinan dan kematian menjadi hal yang selalu mendapat porsi pembahasan yang serius; kita bisa membaca peristiwa pertemuan Adam dan Hawa’ di sorga yang hampir seluruh kitab suci memuatnya. Dan begitu juga persoalan kematian, menjadi bahasan yang tak kalah penting. Hal yang sama dapat kita temukan dalam ajaran-ajaran kejawen atau agama-agama kuno.
Dalam Islam misalnya diajarkan, untuk menghormati acara perkawinan maka disarankan untuk mengadakan suatu jamuan (walimah al-ursy) semampunya. Dalam kematian pun terdapat hukum fardlu kifayah untuk mengurusi si mayit sebagai bentuk penghormatan terakhir. Dalam setiap peristiwa perkawinan dan kematian selalu dilakukan serangkaian acara pernghormatan terhadapnya. Lebih-lebih dalam ajaran-ajaran agama-agama kuno; selalu ada ritus yang harus dilakukan untuk menghormati peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Kematian dan pernikahan tidak lain merupakan titik akhir dan titik awal dari kehidupan. Kehidupan setiap manusia selalu “berawal” dan “berakhir”. Hakikat kehidupan adalah berangkat titik awal dan bermuara pada titik akhir. Titik awal dan titik akhir adalah sesuatu yang sudah jelas. Kehidupan menjadi ada karena ada titik awal dan titik akhir. Manusia pun menjadi ada karena eksistensinya memiliki titik awal dan titik akhir. Mengingkari kenyataan ini sama saja dengan mengingkari eksistensi diri manusia itu sendiri.
Dalam literatur klasik dikatakan, bahwa inti al-Qur’an terdapat dalam surat al-Fatihah (karena alasan inilah kemudian disebut dengan umm al-Qur’an). Inti surat al-Fatihah terdapat pada ayat pertama, yaitu bismillahirrahmanirrohim. Inti ayat pertama dari al-fatihah terdapat di huruf ba’. Dan, inti huruf ba’ terdapat pada titiknya. Ya, itulah semuanya bermula dari titik dan kembali pada satu titik.
Semoga kematian Mbah Surip dan perkawinan putrinya tidak menjadi sekedar tontonan drama kehidupan; makna filosofisnya hilang ditelan gelombang pencitraan yang dimainkan oleh media. Bukankah krisis subjek menjadi dampak yang paling nyata dari arus globalisasi budaya yang sekarang sedang terjadi? Sehingga makna-makna tentang diri-subjek menjadi sirna; yang timbul justru manusia tanpa makna (baca: krisis identitas). Wallahu a’lam. [mff]

03 Agustus, 2009

Mengasah Nurani, Membangun Negeri

Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam sejarah Islam diceritakan, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan yang bernama Saba’. Saba’ adalah sebuah wilayah yang sekarang berada di Yaman Selatan. Kerajaan Saba’ merupakan sebuah kerajaan yang makmur, aman dan sentosa. Kerajaan Saba’ ini memiliki pengaruh yang sangat luas hingga ke benua Afrika. Kerajaan Saba’ juga mempunyai bendungan besar dan kokoh yang bernama Mi’rab, yang mampu mengairi seluruh wilayahnya sehingga menjadikan tanahnya subur dan rakyatnya hidup makmur. 
Di tengah kehidupan yang makmur, kaum Saba’ diperintahkan oleh Allah SWT untuk bersyukur kepada Allah. Syukur atas nikmat yang telah diberikan kepada mereka, mulai dari kedamaian hidup, kemakmuran mata pencaharian, dan berbagai anugerah yang membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi, perintah untuk mensyukuri nikmat Allah SWT, tidak diindahkan oleh kaum Saba’. Mereka tidak peduli atas ajakan Allah. Justru, mereka berpaling mendurhakai nikmat Allah. Maka, Allah mendatangkan kepada mereka banjir besar yang merobohkan bendungan dan merusak serta memusnahkan perkebunan mereka. Allah SWT pun mengganti kebun-kebun yang subur itu dengan kebun yang ditumbuhi pepohonan yang tidak berbuah; pohon itu penuh duri dan kalaupun berbuah buahnya sangat pahit, tidak layak untuk dinikmati dan dimakan. Singkatnya, kekafiran telah menjadi penyebab hancurnya negeri Saba’ (QS. as-Saba’: 15-17).
Pengertian kafir secara semantik berarti berpaling dari dan menutupi diri. Seseorang itu disebut kafir karena ia telah menutup dirinya dari kebenaran Allah atau memalingkan dirinya dari kebenaran Allah. Jika seseorang berpaling dari Allah, berarti ia tidak mau beriman kepada-Nya, dan dalam kondisi seperti ini berarti ia telah kafir hakiki. Pengertian kafir seperti ini merupakan pengertian secara teologis. Sementara itu, seseorang yang menutup dirinya dari nikmat Allah, maka bisa dikategorikan sebagai kafir, sebab ia tidak mau mensyukuri apa-apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Jadi, lafadz kafir memiliki jaringan makna yang luas. Bahkan orang yang telah mengaku mukmin pun bisa masuk dalam kategori kafir bin ni’mah. Dalam al-Qur’an, perintah untuk tidak bersikap kafir bersifat menyeluruh; tidak mengingkari Allah dan segala tanda-tanda kebesaran-Nya.
Kekafiran kaum Saba’ tidak hanya sebatas keengganan mereka untuk mengimani Allah, tetapi juga karena tidak mau mensyukuri nikmat-Nya. Bentuk mensyukuri nimat Allah juga mencakup pengertian yang sangat luas; misalnya bersedekah atas rezki yang diberi, memanfaatkan apa-apa yang dianugerahkan Allah secara proporsinal, mengola sumber daya Alam, bahkan termasuk juga mengendalikan diri dari sifat-sifat yang tercela seperti bohong, iri hari, kikir, keserakahan dan seterusnya.
Sebenarnya, negeri kita ini tidak kalah subur dengan negeri Saba’. Kita tidak kekurangan sumber air. Tanaman bisa tumbuh subur dengan mudah hampir di seluruh pelosok negeri. Kita juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa, baik hayati maupun nabati, baik flora maupun fauna. Bahkan kesuburan negeri yang kita cintai ini digambarkan sebagai negeri yang mana ‘tongkat dan kayu’ jika ditancapkan ke bumi berubah menjadi tanaman. 
Saya juga meyakini, bahwa negeri kita ini dihuni oleh orang-orang yang taat kepada Tuhan. Coba kita lihat, umat Islam selalu memenuhi masjid saat menjalankan ibadah shalat. Apalagi pada saat Idul Fitri atau Idul Adha. Semua masjid maupun lapangan penuh riuh dengan lautan manusia. Mereka bermunajat khusyu’ kepada Allah. Bahkan tak luput dari ribuan orang selalu setia antri untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci. 
Betatapun kita memiliki kekayaan yang luar biasa seperti itu, tetapi pemandangan berbeda dapat kita syaksikan dengan mata telanjang. Kemiskinan terjadi di mana-mana. Korupsi, sogok, suap dan seterusnya masih saja tetap terjadi. Lalu, bagaimana kita dapat membangun negeri ini menjadi negeri yang berperadaban dan bermartabat? 
Membangun sebuah negeri tidak selamanya dengan kekuatan materi. Tetapi, juga butuh pada kekuatan hati nurani. Kita mungkin dapat belajar dari perjuangan para pejuang bangsa ini saat membebaskan diri dari kaum penjajah. Kekuatan fisik yang dimiliki bangsa ini ketika itu tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh penjajah. Sekarang, kita telah dapat menikmati kebebasan dari kaum penjajah. 
Dan, kita juga tidak ingin negeri ini tenggelam seperti negeri Saba’; negeri yang gemah ripa loh jinawi berubah menjadi mandul seolah tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Negeri yang kita cintai ini butuh pada kekuatan moral. Maka, nilai-nilai mulia seperti kejujuran, keadilan, persaudaraan dan seterusnya menjadi jaminan utama bagi anak negeri ini. Kekayaan yang melimpah tidak berarti apa-apa, jika kita kebohongan bersemayam dalam diri kita, dan menjadi mental anak bangsa ini. Bukankah Rasulullah Saw ketika melakukan perubahan sosial di lingkungan bangsa Arab yang jahiliyah berangkat dari perjuangan untuk merubah moralitas mereka; liutammima makarimal akhlak, katanya? Kita musti pandai mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah yang pernah terjadi.[mff]