31 Juli, 2009

Kafe dan Ayat Kursi

Oleh: M. Faisol Fatawi

Suatu ketika saya kedatangan tamu dari luar kota. Tamu ini merupakan sahabat dekat saya yang lama tidak pernah ketemu. Setelah ngobrol agak panjang, sahabat tadi mengajak saya untuk menemani dirinya ke suatu tempat. Dia ada janji dengan seseorang, katanya. Di tengah perjalanan, sahabat saya tadi menceritakan maksud dan tujuan dari pertemuan itu. Ia ada janji dengan seseorang dalam rangka mendiskusikan tulisan yang akan diterbitkan di sebuah penerbit ‘bergengsi’ di Jogjakarta. Saya mendengarkan cerita sahabat saya sambil sesekali menimpalinya dengan diskusi kecil. Dan, tak lama kemudian kami semua sampai di tempat tujuan. Wah aku baru sadar, ternyata saya diajak ke sebuah kafe.
Seperti kafe-kafe yang lain, dalam kafe tempat ‘kencan’ sahabat saya tadi terlihat deretan kursi-kursi yang ditata rapi mengelilingi sebuah meja. Setiap meja di kelilingi dua kursi atau kadang lebih. Sekelompok pemain musik sedang memainkan lagu-lagu khas anak muda (baca: gaul) dengan diiringi lampu warna-warni yang remang-remang. Sesekali saya melihat beberapa pasang anak manusia menikmati alunan musik sambil berjoget.
Dalam kafe itu, saya terlibat ‘cukup serius’ dalam pembicaraan antara sahabat saya dengan temannya. Paling tidak, saya mendengarkan dengan penuh khidmat sambil menikmati minuman dan makanan ringan yang sudah kami pesan sebelumnya.
Di tengah pembicaraan antara sahabat saya dengan kawannya tadi, secara tidak sengaja saya melihat sebuh hiasan kaligrafi menempel di atas dinding. Letaknya persis di atas panggung musik, menghadap ke arah tempat duduk para pengunjung kafe. Karena sinar lampu yang remang-remang, semul saya agak sudah membaca isi kaligrafi tersebut. Namun dengan sedikit memelototkan mata akhirnya pun saya bisa membaca kaligrafi itu. Dan ternyata, yang tertulis di kaligrafi itu adalah ayat kursi. Saya baru kali ini menemukan kaligrafi ayat kursi yang secara jelas di pasang di dinding sebuah kafe yang identik dengan tempat untuk dugem. Sesaat saya tertegun. Wah, luar biasa.
Sesaat saya tertegun. Sederetan pertanyaan muncul dalam benak pikiran saya. Apakah gerangan yang terjadi sehingga si pemilik kafe menggantungkan kaligrafi ayat kursi? Mungkinkah kaligrafi itu dimaksudkan sebagai jimat pelaris? Atau mungkin agar kafe tersebut selamat dari sweeping kelompok-kelompok agama tertentu? Atau si pemilik kafe secara sengaja hendak mengingatkat para pengunjung untuk selalu ingat ayat-ayat Allah? Mungkinkah kafe itu hendak disulap menjadi tempat tarian sufi sebagaimana yang diajarkan oleh sang sufi agung, Rumi?
Nahnu nahkumu bidz dzawahir, wallahu yahkumu bis sara’ir, demikian kata para ulama terdahulu. Artinya, kita sebagai manusia hanya bisa melihat hal-hal yang tampak, sementara Allah-lah Dzat yang dapat melihat apa-apa yang tersembunyi. Memang kemampuan manusia hanya terbatas, dan Tuhan lebih dapat mengetahui apa yang ada di balik lubuk atau pikiran terdalam seseorang. Dan, siapapun tidak dapat menvonis maksud yang tersembunyi di balik hati dan yang bersemayam di dalam pikiran seseorang. Yang dapat dia pahami hanyalah sisi-sisi yang terlihat saja.
Saya pun teringat kata-kata yang pernah terucap dari seorang sahabat nabi Saw yang alim dan sekaligus menantu beliau, Sayyidina Ali karramallahuwajhah: “Al-Qur’an tidak dapat berbicara, tetapi al-Qur’an hanya dapat berbicara ketika manusia melafalkannya.” Sebuah kata bijak yang sarat dengan makna. Benar juga apa yang dinyatakan oleh Sayyidina Ali ini.
Al-Qur’an itu tidak bermulut seperti manusia sehingga dapat berbicara dengan sendirinya. Tetapi, al-Qur’an adalah kalam Allah yang jauh dari sifat-sifat dan campur tangan kemanusiaan. Kalau begitu, berarti kita musti harus hati-hati jika menggunakan atau mengutipnya. Kita disuruh membaca kalam Allah supaya kita dapat mengambil hikmah (kebijaksanaan), sehingga mendapat petunjuk dari Allah. Dan memang fungsi al-Qur’an tidak lain adalah menjadi petunjuk (huda).
Barangakali, manusia adalah makhluk yang paling pintar dalam mengambil keuntungan dari ayat-ayat Allah; mengeksploitasi dan memolitisasi makna kalam Allah, melegitimasi dan menjustifikasi apa-apa yang dilakukan atau diucapkannya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Makhluk-makhluk seperti ini, di dalam al-Qur’an, merupakan makhluk yang paling dibenci Allah. Mereka termasuk “orang-orang yang telah menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit (kecil).”
Akhirnya, sambil masih memelototi kaligrafi ayat kursi yang tertempel di dalam kafe itu, saya pun hanya berharap semoga apa yang saya sangkakan tersebut di atas sekedar menjadi pikiran buruk saya. Tidak lebih dari itu. Wallahu a’lam bish shawab.[mff]

30 Juli, 2009

Aku Menulis, Maka Aku Ada

Oleh: M. Faisol Fatawi

Sudah menjadi tabiat manusia, bakat berbicara secara lisan lebih dahulu muncul katimbang kemampuan membaca. Seorang bayi yang lahir ke muka bumi misalnya, ia pasti lebih dahulu mempunyai kemampuan untuk bertutur kata dengan meniru bahasa orang-orang yang ada di sekelilingnya. Beberapa tahun kemudian sang bayi baru diajari atau belajar membaca.
Membaca merupakan fase kedua bagi seorang anak dalam belajar berbahasa: mengenali segala hal yang terdapat di sekelilingnya. Membaca membutuhkan dan melibatkan proses kognitif. Jika dalam fase bertutur kata (berbicara) seseorang hanya tinggal meniru apa yang diucapkan dan didengarkan, maka dalam fase belajar membaca ia harus mengenal dan berinteraksi dengan simbol-simbol bunyi dan benda yang disimbolkan dengan susunan huruf. Dalam fase ini, seseorang yang membaca berarti ia menjalani proses dialektik antara simbol bunyi dengan wujud bendanya. 
Hal lain yang penting terkait dengan belajar bahasa adalah menulis. Kegiatan menulis berbeda dengan membaca atau bertutur kata. Jika kegiatan membaca melibatkan proses dialektika pikiran antara simbol bunyi dengan bendanya, maka kegiatan menulis melibihi dari itu. Menulis melibatkan proses pemikiran atau gagasan yang lebih mendalam. Seseorang yang sedang melakukan kegiatan menulis, berarti ia sedang mengeluarkan apa yang ada didalam pikirannya untuk dituangkan dalam bentuk simbol bunyi sehingga dapat dinikmati oleh orang yang membacanya. 
Kegiatan membaca mudah dilakukan dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun yang mampu. Meskipun demikian, membaca sulit untuk dilakukan. Banyak orang lebih suka membiasakan diri dengan ngobrol-ngobrol bersama daripada membaca. Kita sendiri lebih sering untuk berbincang-bincang daripada membaca. Faktanya, membudayakan ‘membaca’ lebih sulit katimbang kebiasaan ‘tutur tinular’, yaitu mencari informasi dengan bertanya atau sekedar ngobrol-ngobrol antar sesama. Dan lebih sulit lagi, membiasakan diri dengan budaya menulis. Budaya menulis merupakan pintu gerbang untuk melakukan transformasi sosial dalam rangka membangun peradaban umat manusia ke arah yang lebih tinggi.
Sejarah membuktikan, bahwa sebuah peradaban yang besar ditandai oleh munculnya karya-karya tulis. Peradaban Yunani menjadi agung karena sentuhan tangan-tangan para pemikir besar seperti Aristoteles, Plato dan seterusnya, yang tulisan-tulisannya masih kita baca dan menjadi rujukan sampai sekarang. Peradaban Islam pun menjadi dikenal di semenanjung Eropa karena karya-karya besar yang terlahir dari para intelektual muslim ketika itu; sebut saja Ibnu Rusyd (di Barat dikenal dengan Averrous), Ibnu Sina (di Barat dikenal dengan Avecena), Jabir bin Hayyan (di Barat dikenal dengan Algebra) dan seterusnya. Begitulah, kemajuan suatu peradaban selalu tidak dapat dilepaskan dari budaya tulis-menulis yang kuat. 
Melihat kenyataan seperti itu, saya jadi tergelitik salah satu nama surat dalam al-Qur’an. Nama surat itu adalah al-qalam. Jika diterjemahkan kedalam bahasa kita, kata al-qalam berarti pena. Lantas, apa menariknya dengan nama pena sehingga di pakai untuk menamai firman Allah? Apa hubungannya dengan kemajuan suatu peradaban? 
Jika kita membaca surat al-qalam (pena), maka kita akan disambut dengan ayat yang berbunyi: “Nun, demi pena dan apa-apa yang mereka tulis.” Penulis tafsir al-Bahr al-Muhith mengutip salah satu pendapat yang menyatakan, bahwa al-qalam yang dimaksud adalah pena sebagaimana yang fungsinya sudah dikenal oleh manusia untuk menulis. Tentunya, jika Tuhan memiliki pena, namun pena itu tidak seperti yang ada dalam gambaran dan pemahaman manusia. Pena Tuhan berbeda dengan pena yang dipakai manusia. 
Allah mencatat segala sesuatu (baca: keputusan-Nya) di lauh mahfudz dengan pena. Melalui pena (al-qalam), Allah mencipta dan menulis seluruh kehidupan di alam jagat raya (al-ka’inat). Allah menulis (mencatat), maka dunia menjadi aja. Oleh karena itu, makna mataforik dari pena, sebagaimana yang disumpahkan oleh Allah, menurut sebagian mufassir dimaknai sebagai simbol bagi tegaknya ilmu pengetahuan. Maka, dalam sumpah demi pena (al-qalam) dan apa-apa yang mereka tulis, terdapat manifestasi ‘logos ketuhanan’ yang berarti pengetahuan. 
Melalui pena, Allah menulis dan mencatat segala kehidupan, dan kemudian segalanya menjadi ada. Atau, ayat pertama dari QS. al-Qalam dapat diterjemahkan secara filosofis, “Aku menulis (mencatat) segala sesuatu, maka kehidupan menjadi ada.” Segala yang maujud tidak lain adalah manifestasi atau citra-citra dari Tuhan. Oleh karena itu, pena juga diartikan sebagai manifestasi dari ‘kreatifitas Tuhan’ yang paling agung. Jika Tuhan saja, bersumpah atas nama pena dan apa-apa yang tertulis, maka tidak salah jika kita membangun peradaban umat manusia ini dengan menulis. Ya, ‘aku menulis, maka aku ada.’ Bukankah pena (al-qalam) menjadi awal dari kehidupan segala yang maujud?[mff]

29 Juli, 2009

Nabi, Ulama dan Ilmuwan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam ortodoksi Islam, pengertian nabi dan rasul dipahami secara berbeda. Rasul adalah seorang hamba yang mendapat wahyu dari Allah dan sekaligus turunkan kepadanya syari’at untuk diajarkan kepada umatnya. Sementara nabi didefinisikan sebagai orang yang diberi wahyu oleh Tuhan tetapi tidak diberi syari’at untuk diajarkan kepada umatnya. Martabat kerasulan dan kenabian berakhir seiring dengan wafatnya baginda Muhammad Saw. Dengan kata lain, sepeninggal baginda Muhammad Saw tidak ada lagi orang yang bisa mengaku dan dianggap sebagai rasul dan nabi. Pengertian seperti ini telah menjadi pengetahuan umum di kalangan umat Islam.
Namun demikian, Ibnu Arabi, seorang sufi agung yang sangat terkenal dalam dunia Islam, meyakini bahwa kenabian masih bisa berlanjut. Menurut Ibnu Arabi, nabi itu dibagi menjadi dua; pertama kenabian khusus dan kedua kenabian umum. Kenabian khusus adalah kenabian yang disertai dengan syari’at, sedangkan kenabian umum adalah kenabian yang tidak disertai syari’at. Jenis kenabian yang pertama (yang khusus) sudah berakhir, sementara jenis kenabian yang kedua (yang umum) belum berakhir. Jenis kenabian yang terakhir masih terus berlangsung sampai hari kiamat.
Ibnu Arabi lantas menjelaskan, bahwa kematian baginda Muhammad Saw tidak dapat memutus tugas malaikat Jibril untuk menyampaikan ilham kepada orang-orang terpilih. Mereka adalah wali-wali dan ulama-ulama Allah. Allah mengilhamkan kepada mereka yang terpilih berbagai rahasia dan berita samawi. Dari mereka terpancar pengetahuan ilahi mengenai segala yang ada di jagad raya, supaya umat manusia tidak tersesat dalam kegelapan.
Meskipun penjelasan Ibnu Arabi ini tampak keluar dari pemahaman ortodoksi, tetapi ia relatif dapat diterima dan dinalar dengan jelas. Kita mungkin masih teringat dengan sebuah hadits nabi yang sering diulang-ulang secara terus-menerus, yang menyatakan bahwa “Para ulama adalah pewaris para nabi.” Predikat menjadi ‘pewaris nabi’ bagi para ulama bukan berarti para ulama akan menjadi nabi sebagaimana kenabian baginda Muhammad; tidak dalam pengertian kenabian yang khusus—sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Arabi—yang bersifat final. Status menjadi ‘pewaris’ musti dipahami sebagai kedekatan martabat. Para ulama menjadi pewaris nabi dalam hal kondisi (ahwal), tindakan (fiil), perkataan (qaul) dan pengetahuan (ilm). Seorang nabi menjadi panutan, pembimbing dan penunjuk jalan bagi umatnya. Dengan cara yang sama, para ulama musti menjadi panutan, penunjuk jalan dan pengganti (khalifah) nabi atas umatnya. 
Seorang ulama semestinya menganjurkan orang-orang untuk belajar, dibimbing dan dituntun menuju jalan yang benar. Ia menganjurkan umatnya untuk selalu mendekatkan diri pada pengatahuan. Atau jika tidak, umatnya akan dihinggapi kebodohan dan tersesat terus-menerus. Pengetahuan tidak berhenti seiring dengan meninggalnya Nabi Saw. Jika pengetahuan itu berhenti sepeninggal nabi, maka umat manusia akan terjerumus kedalam lembah kebodohan dan kesesatan. Di sini, dapat kita lihat secara jelas fungsi sosial-pengetahuan yang diemban oleh para nabi dan ulama sekaligus. Namun demikian, kesamaan fungsi ini tidak menjadikan kesamaan derajat antara seorang nabi dan ulama. Derajat nabi lebih tinggi daripada derajat ulama. 
Ulama yang merupakan bentuk jama’ dari kata alim merupakan orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum Allah (ahkam Allah). Hukum Allah tidak terbatas pada hukum-hukum agama, tetapi mencakup hukum-hukum alam atau yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan sunnatullah. Nabi Saw mendapat pengetahuan ilahi yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dan tidak terbatas pada pengetahuan hukum agama. Kenabian baginda Muhammad Saw menjadi logos ketuhanan yang menyinari seluruh jagat raya dan isinya. Logos ketuhanan itu bersifat menyeluruh bagi semua kehidupan. Oleh karena itu, tidak tepat jika pengertian ulama hanya dikhususkan untuk pengetahuan agama, semantara pemilik pengetahuan non agama tidak disebut dengan ulama. 
Generasi awal Islam tidak mengenal pembedaan antara pemilik pengetahuan agama dan pemlik pengetahuan non agama. Pengertian ulama mengacu pada mereka yang memiliki pengetahuan, apapun bidang dan jenis pengetahuan yang dimiliki. Kenyataan yang dapat ditemukan dalam literatur-literatur Islam klasik adalah orang yang ahli filsafat disebut dengan al-failasuf, orang yang pintar dalam bidang logika disebut dengan ahl al-manthiq, orang yang ahli mengobati disebut dengan al-thabib, orang yang menonjol di bidang agama disebut dengan rijal al-din dan seterusnya. Semuanya masuk dalam kategori ulama. Mereka disebut ulama karena dipercaya menguasai dan memiliki pengetahuan, dan dengan pengetahuannya mereka mengajarkan dan membimbing umat manusia ke jalan yang benar. Mereka inilah pewaris para nabi dalam mentransmisikan pengetahuan kepada umat manusia. 
Kenyataan yang terjadi di tengah kehidupan kita adalah justru ulama mendapat pengertian sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama atau hukum agama. Orang yang memiliki pengetahuan di luar bidang agama disebut dengan ilmuwan. Munculnya dikotomi antara ulama dan ilmuwan seperti yang sedang terjadi merupakan representasi nyata dari perseteruhan antara agama dan filsafat yang sudah berlangsung sejak lama dalam sejarah pengetahuan Islam. Maka tidak heran, pengertian ulama mengalami penyempitan, hanya terkait dengan mereka yang mempunyai pengetahuan agama atrau hukum agama. Sementara sebutan ilmuwan yang merupakan terjemahan serapan dari istilah ulama lebih diidentikkan dengan mereka yang mempunyai dan menguasai pengetahuan non agama. 
Apabila ulama menjadi pewaris para nabi karena kepemilikan pengetahuannya, maka demikian juga para ilmuwan dapat menjadi pewaris para nabi. Seorang ulama dan ilmuwan sejati adalah mereka yang memiliki pengetahuan hukum Allah, yang dengan pengetahuannya ia harus menjadi panutan, kepercayaan dan pengganti (khalifah) para nabi atas umatnya. Seharusnya, mereka menjadi pewaris para nabi dalam hal kondisi (ahwal), perbuatan, perkataan dan pengetahuan. Oleh karena itu, derajat dan maqam mereka tinggi. Kemuliaan derajat mereka, dikiaskan oleh nabi Saw dengan sabdanya: “Keutamaan orang yang berilmu itu bagaikan bulan dan bintang.” 
Dengan demikian, ulama adalah ilmuwan, dan ilmuwan adalah ulama. Keduanya sama-sama menjadi pewaris para nabi. Ini mudah diucapkan, tetapi berat di hati. Karena, sabda “Para ulama adalah pewaris para nabi.” telah menjadi jargon dan senjata yang lebih dulu dikuasai oleh mereka yang ‘merasa’ menguasai pengetahuan hukum agama.[mff] 

28 Juli, 2009

Mewaspadai 'Pragmatisme Keberagamaan'

Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam cerita ajaran kaum sufi dinyatakan, bahwa seorang syeikh agung mengajarkan rahasia shalat kepada para murid-muridnya. Sang guru mengatakan: “Manusia mampu menjalankan shalat hanya sampai batas kemampuannya. Jika ia mengajar shalat melalui buku-buku atau seminar, maka ia tidak akan mampu memahami atau ambil bagian dari shalat dalam keadaan yang sebenarnya.”
Kemudian sang guru itu menambahkan: “Seseorang yang belajar shalat, dan yang meneruskan penerangannya dapat melampaui bagian tersebut kepada orang lain. sehingga ia juga dapat belajar serta mengembangkan shalat dalam dirinya. Shalat yang tertulis tidaklah berarti.”
Uraian ajaran kaum sufi tersebut mengingat kita pada maraknya pelatihan shalat khusyu’ yang akhir-akhir ini menjadi trend baru dalam kehidupan keberagamaan Islam. Tengoklah, spanduk, brosur dan bahkan iklan pelatihan shalat khusyu’ ada dimana-mana. Dengan uang pendaftaran dalam jumlah tertentu dan waktu yang sudah ditentukan, seseorang diajak untuk melakukan pelatihan shalat khusyu’. Dan anehnya, banyak pula orang tertarik dengan pelatihan-pelatihan seperti ini. Lantas, setelah mengikuti pelatihan dapatkah seseorang menjalankan shalat secara khusyu’?
Menurut kaum sufi, sebagaimana tersebut di atas, shalat merupakan pengalaman praktis yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang menjalankan shalat (mushalli). Shalat tidak hanya cukup di lisan atau sebatas dikatakan saja. Pengalaman shalat menjadi pengalaman batini (gnostik) sehingga tidak dapat dirasakan oleh mereka yang tidak menjalankannya. Oleh karena itu, belajar shalat berarti menjalankan shalat itu sendiri. Uraian atau penjelasan tentang shalat yang seringkali kita temukan tidak dapat mewakili tentang hakekat shalat. Untuk dapat mencapai derajat shalat yang khusu’ dibutuhkan pengamalan shalat secara terus-menerus. 
Shalat khusyu’ melibatkan proses batin yang bersifat sangat individual. Khusyu’ merupakan kondisi ketenangan batin. Jika shalat dapat diibaratkan dengan aktifitas komunikasi dengan Tuhan, maka proses komunikasi itu hanya dapat berjalan lebih efektif jika dilangsungkan dalan kondisi yang tenang. Di dalam shalat yang khusyu’ hanya ada dzikir (mengingat) kepada Allah. Kelengahan hati untuk lupa sejenak dalam shalat dapat merusak ke-khusyu-an shalat. Orang yang selalu mampu menghadirkan Tuhan (dan bukan yang lain) dalam shalatnya inilah yang disebut al-Qur’an sebagai mukmin yang beruntung.
Iman dan khusyu’ memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Karena, seseorang akan disebut mukmin yang sungguh-sungguh atau yang dalam al-Qur’an disebut dengan “ula’ika humul mu’minuna haqqa”, jika—salah satunya—mampu meng-khusyu’-kan kondisi jiwanya ketika menjalankan shalat. Iman bukan sekedar pernyataan secara lisan, peneguhan dalam hati dan pengamalan rukun-rukun agama, tetapi kondisi batin yang selalu menghadirkan Allah di dalam setiap nafas dan hidup seseorang. Ketika ia lengah, maka dalam kondisi seperti itu ia tidak dalam keadaan iman. Jadi, iman itu datang dan pergi selih berganti tergantung komitmen dan kontrol batin seseorang. Begitu pula khusyu’, ia datang dan pergi tergantung komitmen dan kontrol batin seseorang yang sedang menjalan shalat. Ini artinya, bahwa kondisi khusyu’ itu layaknya iman; kadang bertambah dan kadang menipis atau kurang (al-iman yazidu wa yanqushu). Maka, untuk mencapai kondisi khusyu’ dalam shalat diperlukan proses batin yang terus-menerus.
Gejala pelatihan shalat khusyu’ belum pernah kita temukan sebelumnya. Dalam teks-teks keagamaan pun tidak ditemukan panduan pelatihan shalat khusyu’. Hal ini karena shalat—sekali lagi—melibatkan kontak batin antara hamba dengan Tuhannya. Di sini, seseorang butuh pada cara mengkonsentrasikan batin. Pelatihan shalat khusyu’ tidak lain adalah melatih konsentrasi batin agar dapat fokus, dan bukan shalat khusyu’ itu sendiri. Melatih batin agar dapat konsentrasi merupakan satu hal, dan melatih diri agar dapat menjalankan shalat dengan khusyu’ merupakan hal lain. Dua hal ini tidak dapat disamakan.  
Pelatihan shalat khusyu’ muncul karena budaya pragmatisme kehidupan di tengah gempuran globalisasi. Di tengah budaya global, setiap individu dituntut untuk hidup serba instan dan praktis. Seorang individu tidak ingin bersusah payah untuk menggapai suatu yang diinginkan atau dituju. Budaya seperti ini merembes ke dalam cara seseorang dalam menjalankan agama. Inilah yang mungkin dapat saya sebut dengan pragmatisme keberagamaan. Pelatihan shalat khusyu’ menebarkan imajinasi kepada siapapun tentang trik-trik praktis yang dengan mudah seseorang mampu menjalankan shalat yang khusyu’; bahwa ke-khusyu’-an dapat diperoleh melalui forum pelatihan. Cara berpikir seperti ini berbahaya karena hanya akan melahirkan model berpikir yang dangkal (syathhiyah); pendangkalan pemahaman keagamaan. Bukankah beragama (baca: menjalankan shalat) membutuhkan proses komitmen batin yang terus-menerus sehingga melahirkan pemahaman yang mendalam? Maka benar apa yang diajarkan kaum sufi itu, bahwa ternyata shalat tidak cukup diajarkan lewat seminar atau forum-forum pelatihan.[mff]

27 Juli, 2009

Islam dan Teologi Pembebasan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Islam memuat sistem nilai yang luhur dan tinggi (baca: Par Excellence). Sebagai agama yang menurut al-Qur’an merupakan keturunan spritual Ibrahim, ia mengajarkan kepercayaan tentang Tuhan Yang Esa melalui perantaraan para nabi-Nya: Kebenaran hanya milik dan ada di tangan-Nya, dan segala gerak-ruang-waktu yang ada bersumber dari-Nya. Dalam Islam ajaran tentang ke-esa-an Tuhan disebut tauhid. Keberadaan Islam adalah untuk menyatakan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan mengikuti ajaran-ajaran-Nya sebagai kesadaran kognitif dalam tindakan pemeluknya atas dasar tauhid.
Satu dari sekian banyak problem utama manusia pada saat nabi menjalankan misi kenabian adalah kemusyrikan atau politeisme, sebuah kepercayaan yang mendua kepada wujud Tuhan, dan digantikan dengan tauhid (Tuhan Yang Maha Esa) yang diungkapkan dalam kalimat al-nafyu wa al-istbat (negasi-konfirmasi), yaitu tidak ada Tuhan selain Allah. Dalam kehidupan yang hakiki, percaya kepada sesuatu dapat mempengaruhi struktur kognisi seseorang dalam memahami identitas diri dan eksistensinya di hadapan yang lain, atau sebaliknya. Bentuk kepercayaan politeisme harus dihapus karena tidak saja sifatnya yang mendua, namun tidak membebaskan manusia dari kepercayaan kepada hal-hal yang palsu. Penolakan terhadap kebenaran Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran dapat menghalangi pembebasan dirinya (self liberation). Kalau kita menerima kebenaran itu, demikian dikatakan Huston Smith, maka kita akan memperoleh kebaikan dan energi yang kita perlukan. Bahwa menerima kebenaran Tuhan dapat membebaskan diri (self liberation) dari segala bentuk belenggu, yang darinya pembebasan sosial dapat dibangun.
Sejarah mencatat, bahwa masa awal kedatangan Islam nabi disibukkan dengan perjuangan untuk membebaskan masyarakat Arab dari segala bentuk keterkungkungan, kemiskinan, penindasan dan ketidak-adilan. Masyarakat Mekkah digerogoti oleh disparatis sosial dan ekonomi yang akut dan kebusukan moral. Kekerasan adalah hukum di mana suku-suku yang kuat menaklukkan dan memperbudak yang lemah. Di sana juga anak-anak yatim yang kelaparan, para budak dan orang-orang buangan dieksploitasi oleh para lintah darat, bangsawan dan pedagang. Praktek oligarki perdagangan berlangsung yang mengakibatkan tertindasnya kaum proletar. Mereka justru semakin memperkuat satatus quo. Di Thaif mereka mempunyai kebun buah-buahan dan tempat penginapan.
Semangat pembebasan yang sama juga dapat dilihat dalam sejarah para nabi yang lain. Apabila nabi Muhammad Saw. memperjuangkan berdirinya sebuah tatanan sosial manusia yang berdasarkan pada nilai-nilai luhur kebenaran, kesetaraan sosial dan persaudaraan., maka nabi Adam berjuang menentang kebodohan dan kezaliman, Hud menentang orang-orang yang arogan (mustakbirin), Saleh memperjuangkan kesetaraan, Ibrahim menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, Syu’aib melawan ketidak-adilan ekonomi, Musa membebaskan kaum buruh dan Isa memimpin kaum lemah. Betapapun struktur fundamental, lembaga-lembaga, adat-istiadat, hukum-hukum, moral-moral masyarakat di zaman mereka berbeda-beda, tetapi kehadiran mereka sama-sama menyerukan kebenaran, mengangkat harkat dan martabat orang-orang yang tertindas dan membawa kesetaraan dan persaudaraan kepada mereka. Mereka hidup, bekerja dan bejuang di dalam sebuah masyarakat atau zaman pra-feodal dan pra-ilmiah di mana agama menjadi bahasa idiom dan metode untuk menafsirkan atau mengekspresikan realitas.
Karakter dan peran sosial dari berbagai kelas masyarakat yang saling bertentangan dalam al-Qur’an diistilahkan dengan mustadla’afin (kaum tertindas dan lemah), al-mutrafin (mereka yang kaya dan berkuasa), al-mustakbirun (arogan dan kasar), zalimun (kaum yang sewenang-wenang), al-mala’ (bangsawan dan elit) dan al-ardhalun (kaum rendahan). Semua itu mengisyaratkan komposisi kelas masyarakat kuno pra-feodal, di mana nabi Muhammad Saw khususnya, dan para nabi yang lain pada umumnya, menjalankan misi kenabiannya melalui wahyu pada satu sisi, dan Islam sebagai agama yang ada pada saat itu, dengan semangat pembebasannya melibatkan diri dalam segala sesuatu yang bersifat profan dari keseluruhan tindakan dan peristiwa sejarah yang dilakukan manusia pada sisi lain.
Allah menurunkan wahyu kepada umat manusia melalui nabi-Nya guna menciptakan, merencanakan dan mengarahkan semua urusan alam dan manusia menurut kehendak-Nya. Secara teologis, ini berarti bahwa Allah adalah sumber segala kekuatan, pengetahuan, kebijaksanaan, keadilan dan kasih sayang dan wahyu berarti suatu cara yang diajarkan kepada nabi-Nya untuk memahami dan mengubah realitas dalam sejarah keselamatan manusia. Sistem keimanan Islam yang mendakwahkan konsep tauhid merupakan misi utama untuk menciptakan kesadaran kritis dalam struktur nalar kognitif masyarakat guna membangun dunia demi kemaslahatn bersama.
Dengan demikian, sebenarnya tauhid sebagai tema central pertama dan ciri utama yang membedakan antara Islam dengan agama lain yang berkembang di jazirah Arab pada masa kenabian --dengan meminjam istilah modern-- merupakan kunci hermeneutis dalam memahami realitas kemanusiaan. Melalui tauhid itulah lahir wacana universal tentang pembebasan, seperti persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawah), keadilan sosial (al-adalah), kemerdekaan (al-hurriyah) dan kemanusiaan (al-insaniyah). Semua tema-tema itu menjadi grand themes dalam agama Islam yang didakwahkan oleh para nabinya.
***
Teologi dalam Islam dipadankan dengan ilmu Kalam, meskipun pengertiannya tidak persis sebagaimana yang terdapat dalam tradisi Kristen. Ilmu Kalam dalam Islam merupakan ilmu tentang ketuhanan: objeknya adalah dzat Allah, perbuatan dan sifat-sifat-Nya dengan menggunakan metode imani dan difa’i (apologis), bersifat abstrak, normatif dan skolastis. Ini berarti bahwa teologi Islam selama ini melulu bersifat wacana ketuhanan (teosentris), tidak membahas wacana kemanusiaan. Kalau teologi Islam hanya membahas persoalan ketuhanan sehingga wacana yang dihasilkan juga melulu ketuhanan, lalu bagaimana dengan wacana kemanusiaan yang justru di era modern seperti yang kita saksikan sekarang? Apa artinya mempercayai Tuhan kalau dengan mempercayai-Nya seseorang tidak mempunyai sense terhadap persoalan kemanusiaan? Teologi Islam semestinya memuat dan memperhatikan masalah kemanusiaan itu.
Dr.Hasan Hanafi berpendapat, bahwa teologi Islam yang selama ini menjadikan Tuhan sebagai objeknya merupakan usaha yang mospro (sia-sia) karena bagaimanapun juga Tuhan dalam prilaku kehidupan manusia tidak mungkin dapat digambarkan, bahkan tak dapat diketahui dengan pasti oleh siapapun. Karena itu, paradigma berpikir yang selama ini digunakan harus dirubah. Tuhan adalah dzat yang Transenden, dan karenanya posisi Dia di alam dunia tidak bisa dijangkau (baca : dikonsepsikan). Maka Tuhan yang semula menjadi objek dalam teologi Islam harus dijadikan sebagai landasan aksiomatis, yakni kepastian kebenaran ada-Nya sudah jelas dan tidak bisa ditolak. Kalau para ulama terdahulu memfokuskan objek teologi Islam pada persoalan ketuhanan, maka sudah saatnya persoalan kemanusiaan mendapat porsi dan menjadi objek dari teologi Islam. Dari sini, lanjut Hanafi, konsep tauhid tidak sekedar konsep teoritis-dogmatis murni, namun berubah menjadi “proses melakukan” yang bersentuhan dengan praksis kehidupan manusia: membebaskan kaum miskin, menentang kesewenang-wenangan, otoritarianisme dan status quo.
Dengan demikian, teologi Islam dituntut untuk melakukan refleksi dari bawah ke atas. Ia semestinya merupakan proyeksi realitas terhadap teks-teks normatif. Bentuk pemikiran yang dapat membawa transformasi sosial adalah yang berasal dari realitasnya sendiri, bukan sesuatu di luarnya. Sikap seperti ini lebih dianggap historis dan realistis dalam melihat hubungan antara pembangunan melalui upaya transformasi sosial katimbang harus menyerah secara total di hadapan dogma-dogma keimanan (teologi).
Agama telah memainkan peran strategis dalam usaha manusia membangun dunia. Ia adalah jangkauan terjauh dari eksternalisasi diri manusia, dari peresapan-peresapan makna-maknanya sendiri ke dalam realitas. Agama berarti bahwa tatanan manusia itu diproyeksikan ke dalam totalitas kedirian. Ajaran dan keyakinan dilihat sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan tempat agama lahir. Maka di hadapan proses transformasi sosial, agama harus dipahami sebagai bentuk ekspresi dari aspek ketuhanan (ilahiyah), yang berupa kepercayaan akan adanya Allah, ke dalam tindakan sosial yang berkna disertai penghargaan terhadap hak-hak manusia dan perjuangan menegakkan keadilan, kebebasan dan persamaan manusia. Teologi pembebasan adalah satu bentuk ekspresi dari pemikiran tersebut.
Farid Esack, seorang muslim dan tokoh gerakan teologi pembebasan di Amerika Selatan, mendefinisikan teologi pembebasan sebagai sebuah kerja pembebasan agama dari struktur sosial, politik dan religious, dengan ide dasar membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi ras, jender, kelas dan agama. Melalui proses partisipasi individu pembebasan ini digerakkan. Asusmsi dasar teologi pembabasan Islam ini adalah al-Qur’an dan seluruh perjuangan para nabi dalam praksis pembebasan umatnya.
Sebagai kunci utama untuk memahami teologi pembabasan dalam Islam adalah melalui tauhid-taqwa. Menurutnya, pengakuan atas ke-esa-an Tuhan dan taqwa sebagai instrumen fundamental dalam mewujudkan hakekat kemanusiaan, mengingatkan pada pertama, persoalan ketuhanan atau akidah (ilahiyat), dan kedua persoalan kemanusiaan (insaniyah) secara bersamaan. Dalam prilaku beragama, semestinya konsep tersebut (tauhid-taqwa) mempunyai implikasi signifikan: mendorong seseorang untuk melakukan pemahaman secara terus-menerus, memberikan keseimbangan estetis dan relegius-spiritual dalam kehidupan, dan menumbuhkan komitmen pemeluk agama dalam proses berdialog antara dirinya dengan perubahan realitas sosial.
Serupa dengan landasan paradigmatis tersebut di atas, Asghar Ali Engineer menguraikan beberapa prinsip penting mengenai Islam sebagai teologi pembebasan. Pertama, Tauhid sebagai weltanschauung di dalam Islam harus dimaknai tidak sekedar sistem kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, namun juga dipahami sebagai unity of mankind yang tidak akan terwujud tanpa menciptakan keadilan dan kebajikan dalam masyarakat. Kalau tauhid dipahami sebatas sistem kepercayaan tanpa menyadari dimensi praksisnya, maka keimanan seseorang yang percaya bahwa Allah adalah Esa tidak memiliki arti apa-apa. Makna ketauhidan tidak memiliki nilai sama sekali, apabila seseorang lebih mementingkan teoritisasi metafisis tauhid yang bersifat abstrak dibanding dengan aspek praksis. Aspek praksis yang ditunjukkan al-Qur’an adalah semangat anti satus quo dan menciptakan keadilan dan kebajikan (al-adl wa al-ihsan).
Kedua adalah iman. Iman berasal dari kata amn yang berarti selamat, damai, perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya dan yakin. Iman yang sebenarnya mengimplikasikan semua itu. Sebuah gagasan atau kata-kata tanpa dilatarbelakangi dengan iman, akan hanya akan berarti bagi dirinya dan memperbudak orang lain.
Sementara dalam pandangan Ziaul Haque, teologi pembebasan (dalam Islam) berasumsi bahwa al-Qur’an dan ajaran-ajaran atau sabda nabi Muhammad Saw. pada dasarnya ditujukan untuk menegakkan sebuah masyarakat di mana para ahli fiqih memainkan peranan yang pre-dominan dalam memutuskan aturan-aturan tentang kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan ekonomi dan sosial tertentu, dan bahwa ulama muslim memiliki hak untuk memerintah di dalam sebuah masyarakat muslim karena mereka adalah pewaris pengetahuan dan kebijaksanaan peninggalan nabi.
Ide dasar teologi pembebasan dalam Islam sebagai sebuah misi berdasarkan wahyu ilahi dan sebuah wahyu kebenaran, meskipun memiliki muatan sosial, tidak dapat dipisahkan melepaskan diri dari keterkaitannya dengan kerangka kerja supranatural atau metafisika karena persepsi atas realitas, kehidupan, alam dan sejarahdalam era feodal dan pra-feodal secara keseluruhan bersifat relegius. Semua pemikiran, refleksi, spekulasi, penalaran, perasaan dan emosi serta moralitas dibiasakan melalui prisma agama.
Semangat teologi pembebasan tersebut di atas dapat dikatakan sebagai upaya memahami kembali doktrin-doktrin agama di hadapan praksis kehidupan dalam konteks tertentu. Semangat pembebasan yang ada dalam teks-teks keagamaan dan praksis pembebasan sebagaimana yang tercermin dalam diri nabi para nabi di masa lalu menjadi dasar untuk melakukan praksis pembebasan dalam konteks kekinian. Jadi ada proses untuk menginterpretasikan kembali teks-teks atau pengalaman praksis pembebasan tersebut. Ini berarti bahwa teologi pembebasan Islam menggunakan metode hermeneutik.
Dalam teologi pembebasan ini, hermeneutik merupakan proses interpretasi untuk membuat pesan kitab suci atau wahyu menjadi relevan dengan zamannya, bertitik tolak dari sebuah realitas yang menuntut kita untuk menginterpretasikan wahyu Tuhan atau pengalaman praksis kenabian secara baru, untuk mengubah realitas seperti yang dituntutkan, dan demikian itu berulang secara terus menerus: antara teks dan konteks atau antara masa lampau dan sekarang. Proses interpretasi secara terus menerus dan berulang-ulang inilah yang disebut dengan “lingkaran Hermeneutika” (Hermeneutical Circle).
Karena teologi pembebasan merupakan upaya praksis pembebasan yang tidak terlepas dari konteks sejarah, maka sebagai metode kedua yang dipakai adalah analisa historis (Historico-Analitic). Demikian pula teologi pembebasan menggunakan metode analisa sosial (Sosialanalytic) sebab upaya praksis pembebasan itu sendiri adalah struktur sosial: membebaskan manusia dari segala sistem atau struktur yang menindas, masyarakat yang menempati posisi kelas marginal dan terekploitasi harus dibebaskan.
Dengan demikian, sebenarnya teologi pembebasan Islam merupakan upaya membangun dunia dengan membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan, ketidak-adilan, tiran dan status quo di bawah sinar keimanan. Secara tidak langsung, proses pembangunan praksis pembebasan berujung pada proses “sekularisasi”. Meskipun semangat teologi ini berpijak pada paradigma antroposentris, namun bukan berarti terlepas dari transendensi nilai ketuhanan. Menjadikan semangat antroposentris sebagai satu-satunya paradigma pembangunan masyarakat akan berdampak pada hilangnya relegiusitas sehingga berakibat pada krisis eksitensial, seseorang merasa asing dengan keberadaan dirinya sendiri. Karena itu, Muhammed Arkoun berpendapat, keengganan untuk mengaitkan transendensi dengan petualangan-petualangan historis yang tunduk pada permainan dialektis dari kekuatan ekonomis dan sosial merupakan nostalgia manusia kuno.
Untuk menjembatani manusia supaya tidak terjebak dengan problematika antara yang profan dan yang sakral atau antara spiritualisme dan materialisme, maka perlu mendialogkan transendensi nilai dengan berbagai ritus dan kegiatan sekuler. Penolakan untuk mengaitkan transendensi dengan berbagai petualangan [peristiwa] sejarah yang profan justru merupakan ungkapan dari “kegagalan” seorang dalam beragama (berteologi). Apabila Descartes dengan cogeto ergo sum-nya mengantarkan kemajuan peradaban Eropa yang antroposentris-sekuler, maka teologi pembebasan tidak ingin melepaskan dimensi relegious.[mff]

26 Juli, 2009

Ayat 'Seribu Dinar'

Oleh: M. Faisol Fatawi

Beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi seorang teman. Seperti biasa, saya diperlakukan layaknya tamu yang terhormat. Saya dipersilahkan duduk. Dan tak lama kemudian, semua hidangan dikeluarkan, mulai minuman, makanan ringan bahkan sampai jamuan makan. Sambil menikmati hidangan yang tersedia, pandangan saya tertuju pada sebuah hiasan dinding berpigora yang di dalamnya tertulis sebuah kaligrafi ayat al-Qur’an. Saya membaca hiasan kaligrafi itu sampai selesai. Namun yang membuat saya tertegun adalah bahwa di bawah hiasan kaligrafi tersebut tertulis kata ‘ayat seribu dinar’.
Saya termenung sejenak berpikir apakah di dalam al-Qur’an itu ada ayat yang disebut dengan ‘ayat seribu dinar’? Seingat saya, yang ada hanyalah sebutan ayat Kursi, ayat Qital (peperangan), ayat Sajdah dan seterusnya, yang mana sebutan itu sendiri berasal dari riwayat-riwayat yang datang dari nabi saw atau para sahabat.
Sambil menikmati hidangan dan melakukan obrolan ringan, saya mengamati kembali kaligrafi ayat al-Qur’an itu. Tulisan kaligrafi itu tidak lain adalah ayat kedua dan ketiga dari QS al-Thalaq. Jika ayat itu diterjemahkan ke dalam bahasa kita, maka artinya “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Dia akan memberkan jalan keluar. Dan Dia akan memberinya rezki yang tidak disang-sangka. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sesunguhnya Allah telah membuat ketentuan bagi tiap-tiap- sesuatu”.
Sebenarnya saya masih belum yakin dengan kesimpulan saya yang seperti itu. Karena, dalam benak saya bertanya-tanya kenapa ayat 2 dan 3 dari QS al-Thalaq yang disebut dengan ‘ayat seribu dinar”? Mengapa bukan malah surat al-Waqi’ah yang disebut dengan ‘surat seribu dinar’? Bukankah justru surat al-Waqi’ah yang selama ini diyakini oleh banyak umat Islam dapat mendatangkan keberkahan rezki jika dibaca setiap hari secara istiqomah. Sampai-sampai sebagian orang mengadakan tradisi rutinan yang biasa disebut dengan waqi’ahan agar mereka dimudahkan oleh Allah rezkinya.
Saya sempat berpikir, mungkin ayat yang disebut dengan ‘ayat seribu dinar’ tersebut betul-betul dapat memudahkan rezki seseorang manakala ayat itu diamalkan, dibuat wirid atau dibaca dalam hitungan tertentu, sebagaimana surat al-Waqi’ah yang sudah umum dipraktikkan (dibuat wiridan) oleh kaum muslimin. Atau dibuat wiridan seperti ayat Kursi, yang—konon berdasarkan riwayat dari nabi—dapat mencegah mara bahaya dan bala’. Tetapi lagi-lagi, pikiran ini saya tepis dengan sendirinya karena saya tidak pernah menemukan seseorang, baik kawan, guru maupun kiai, yang mengajarkan untuk membaca ayat ke 2 dan 3 dari QS al-Thalaq tersebut dalam hitungan tertentu supaya mendapat kemudahan rezki dari Allah Swt.
Yang seringkali diajarkan oleh para guru dan kiai tentang dua ayat itu adalah bahwa keduanya menjelaskan kepada umat Islam supaya mereka bertakwa kepada Allah Swt. Karena, siapa yang bertakwa kepadanya dengan betul-betul takwa, maka Allah akan memberi jalan keluar dari kesusahan; Allah akan memudahkan rezki dan melimpahkannya. Setiap orang Islam juga harus bertawakkal kepada Allah, karena siapa yang bertawakkal kepada-Nya maka akan diberi kecukupan dalam hal-hal yang dibutuhkan.
Menurut saya, penjelasan seperti ini juga seringkali disampaikan dalam berbagai kesempatan dan tempat, melalui forum pengajian atau mimbar jum’at. Oleh karena itu, saya pun tidak yakin jika dua ayat dari QS al-Thalaq itu dapat dijadikan wirid untuk mendatangkan kemudahan rezki. Toh, menjadikan wirid kedua ayat tersebut merupakan sesuatu yang tidak lazim dilakukan oleh banyak orang Islam.
Di sini, saya baru sadar ternyata tulisan ‘ayat seribu dinar’ tadi merupakan pengertian bebas dari ayat tersebut; orang yang bertakwa akan mendapat jalan keluar, rezki yang luas dan dicukui oleh Allah. Ya, rezki itu tidak lain diasumsikan dengan melimpahnya uang atau harta. ‘Seribu dinar’ adalah simbol melimpahnya rezki yang dijanjikan oleh Allah itu.
Saya pun malu dengan diri sendiri. Ternyata, ayat yang diberi nama dengan ‘seribu dinar’ tersebut sarat dengan makna filosofis tentang kebutuhan hidup. Jauh lebih filosofis (mendalam) katimbang sekedar membiasakan diri dengan membaca surat al-Waqi’ah yang diyakini dapat mendatangkan kemudahan rezki. Saya pun mulai sadar bahwa kita seringkali mendengar atau bahkan membaca ayat ‘seribu dinar’ itu dengan mata kepala sendiri, tetapi kita begitu mudah melupakannya. Kita mudah lupa bahwa Allah menjanjikan orang yang bertakwa dengan kemudahan rezki dan segala urusannya serta dicukupi kebutuhannya. Rezki adalah milik Allah Swt. Dan kenyataanya, kita seringkali lebih menyukai atau mudah tertarik dengan rezki daripada Sang ar-Razzaq (Maha Pemberi rezki) itu sendiri. Saya pun menghelakan nafas. Astaghfrullahal adzim.[mff]

25 Juli, 2009

Pesan Perdamaian dalam Shalat

Oleh: M. Faisol Fatawi

Shalat merupakan pilar kedua dalam rukun Islam. Jenis ibadah ini pertama kali disyari’atkan ketika Rasulullah Saw di-isra’-kan dari masjidil haram menuju masjidil aqsha, kemudian di-mi’raj-kan menuju shidratil muntaha untuk bertemu dengan Tuhan. Dalam perjalanan semalam inilah, nabi mendapat perintah untuk menjalankan shalat. Semula beliau diperintahkan shalat sebanyak 50 kali dalam sehari, tetapi pada akhirnya berubah menjadi 5 kali.
Mahmud Muhammad Thoha dalam bukunya risalah Shalah menyebutkan bahwa shalat mrupakan tasyri’ yang paling agung, yang bisa mendidik indvidu bebas untuk mencapai kebebasan mutlaknya adalah shalat. Ia adalah sarana untuk menuju sebuah maqam yang menghubungkan antara individu dengan Tuhannya, sebuah pertalian yang sempurna dan menyeluruh. Sebuah sarana yang membebaskan individu dari segala keterikatan “duniawi”.
Dimensi paling urgen yang membedakan jenis tasyri’ shalat dengan tasyri’-tasyri’ yang lain adalah dimensi penghambaan. Shalat berarti menunjukkan ketidakberdayaan diri sendiri (individu) di hadapan Dzat yang Mutlak; upaya keras (mujahadah) untuk menggapai ridho kepada Allah, karena kalau kita tidak dapat menggapainya, kita tidak akan diridhoi oleh-Nya. Ridha kepada-Nya ini merupakan pintu masuk pada penghambaan.
Melalui pintu masuk penghambaan itu, kemampuan kita dilatih untuk mengendalikan secara mutlak dorongan watak yang mengarah pada kealpaan terhadap-Nya. Maka segala kejujuran kita di hadapan-Nya pada saat bertawajjuh, dengan sendirinya, menuntut kita untuk melakukan apa saja yang menjadi kehendak-Nya.
Shalat merupakan cara bersikap untuk bergaul dengan Tuhan tanpa lengah dari-Nya, dan bergaul bersama makhluk tanpa menyakiti dan disakiti. Shalat berarti tidak saja mendekatkan diri kepada Allah, namun mendidik diri sendiri untuk mencapai kesadaran individu yang merdeka, yang tidak terputus dari otentisitas dan individualitasnya. Ia merupakan kunci untuk mencapai sikap konsisten dan jiwa yang sehat dalam bertindak membangun peradaban umat manusia.
Perdamaian di tengah masyarakat tidak akan ada di dunia ini kecuali apabila setiap individu bisa berdamai dengan diri sendiri. Seorang individu tidak akan dapat berdamai dengan diri sendiri kecuali apabila dia dapat berpikir sesuai dengan yang ia kehendaki, berkata sesuai dengan yang dia pikirkan, serta bertindak seperti apa yang ia katakan. Kemudian dampak dari tindakannya selalu baik bagi masyarakat. Siapa yang mampu berdamai dengan diri sendiri, dialah individu bebas. Dengan shalat, setiap individu dapat berdamai dengan drinya sendiri.
Agar manusia tidak dirampas oleh kebebasannya sendiri, masih menurut Mahmud Muhammad Thaha, ia harus pandai menjalankan kebebasannya. Manusia yang bebas adalah mereka yang pandai dalam menjalankan kebebasannya. Setiap individu dipandang pandai menjalankan kebebasannya apabila mampu memenuhi kewajibannya. Orang yang mampu memenuhi hak kebebasan itu tidak lain adalah orang yang pandai dalam menjalankan ibadah.
Barangkali, makna hakiki shalat seperti itulah yang seharusnya ditemukan dalam firman Allah Swt: “Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan kejih dan munkar.” Tetapi sayangnya, kita seringkali menemukan shalat hanya dijadikan sebagai ajang ‘pelarian’ sementara atau sekedar ‘kedok’ untuk menarik simpati. Shalat itu pada hekekatnya merupakan sarana untuk mendamaikan diri sendiri dengan Tuhan, dan dari situ berdamai dengan segala ciptaan-Nya. Dan perdamaian hanya bisa diwujudkan dari diri-diri yang damai.[mff]

24 Juli, 2009

Mendialogkan Kembali Agama dan Filsafat

Oleh: M. Faisol Fatawi

Ketika kita hendak mendialogkan filsafat dengan wahyu, ‘kendala’ yang selalu kita hadapai adalah masalah nalar berpikir yang menvonis filsafat sebagai barang haram yang harus dijauhi, yang diyakini tidak akan mencapai titik temu dengan wahyu; atau bahkan hanya merusaknya. Hal semacam ini hampir menjadi doktrin agama. Pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama merupakan wujud nyata yang lahir dari pendikotomian filsafat dengan dan peminggirannya dari agama.
Mendialogkan kembali filsafat dengan wahyu bukanlah sekedar menghapus pendikotomian antara keduanya. Atau paling tidak, melakukan labelisasi ilmu pengetahuan. Persoalannya tidak sampai di sini saja. Tetapi kita juga harus membuka struktur nalar berpikir, baik pada tingkat epistemik maupun tingkat kultural-historis.
Artinya, kita harus kembali membaca pengalaman sejarah yang telah membentuk nalar berpikir umat Islam sehingga mampu membangun peradabannya, atau mencapai masa keemasannya yang dalam sejarah disebut dengan ashr tadwin. Masa ini diraih melalui proses dialektis yang cukup lama antara ‘diri Islam’ dengan ‘yang lain’.
Mendiskusikan wahyu dan akal (filsafat) sama halnya dengan menyoal dua tradisi berpikir yang berbeda; tradisi berpikir Yunani dan Arab-Islam. Yunani dikenal dengan peradaban akal (hadharah al-aql) dan Arab-Islam identik dengan peradaban teks (hadharah al-nash).
Filsafat hadir ke tengah dunia Islam beberapa abad kemudian (II Hijriyah), jauh setelah diturunkannya wahyu kepada Nabi Saw. Filsafat hadir sebagai budaya pendatang (al-wafid), sementara wahyu menjadi warisan budaya masa lalu (al-mauruts al-qadim).
Pertemuan filsafat dengan wahyu telah mengubah wajah peradaban umat Islam. Filsafat memiliki kontribusi dalam pembangunan peradaban dan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan, filsafat dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama (wahyu). Munculnya buku seperti tahafut al-falasifah menjadi bukti mengenai mulai dibukanya genderang perang dengan filsafat. Akibatnya, filsafat sampai sekarang selalu dipandang bertentangan dengan agama (wahyu); ia adalah barang haram yang harus dijauhi.
Al-Kindi mendefinisikan filsafat sebagai ilmu mengenai hakekat segala sesuatu, yang dicapai dengan kemampuan manusia. Bagi seorang filosof, tujuan mengetahui adalah mengetahui kebenaran; semua apa yang ia lakukan demi menemukan kebenaran, bukan tindakan yang sia-sia. Sementara al-Khawarizm berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu mengenai hakekat sesuatu dan usaha untuk melakukan hal-hal yang patut dilakukan (ma huwa ashlah).
Diantara ciri-ciri filsafat adalah berpikir kritis, logik dan argumentatif. Kritis berarti mau melakukan pemeriksaan kedua (mengoreksi ulang) terhadap bahan-bahan yang disajikan oleh paham awam. Memiliki pengetahuan banyak tidak dengan sendirinya akan mendorong kita untuk memahami, karena pengetahuan banyak belum tentu mengajar akal untuk mengadakan evaluasi kritik terhadap fakta-fakta yang memerlukan pertimbangan yang bersifat konsisten dan koheren.
Logis dan argumentatif berarti berpikir secara sistematis dengan berpijak pada premis-premis untuk mendapatkan konklusi yang sehat dan masuk akal. Ia adalah kemampuan untuk memeriksa suatu argumen dari segi konsistensi logika untuk mengetahui akibat-akibat logis dari asumsi-asumsi dan untuk menentukan kebenaran suatu bukti yang dipakai oleh seorang filosof. Hal ini diperlukan untuk memahami watak dari sebuah pemikiran yang benar dan mengungkapkan cara berpikir yang sehat.
Problem utama yang muncul ketika hendak mendialogkan wahyu (agama) dan filsafat adalah masalah epistemologi. Yaitu, masalah asal (origins); apakah sumber-sumber pengetahuan?, dari mana pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Ini menjadi problem mendasar bagi seorang muslim dalam memperlakukan wahyu dan filsafat.
Secara simplistis, mungkin dapat digambarkan bahwa wahyu berasal dari Allah sedangkan filsafat bertumpu pada akal manusia. Wahyu adalah ilmu Tuhan (al-ilm al-ilahi), sementara filsafat adalah ilmu manusia (al-ilm al-insani). Pengetahuan dalam konteks wahyu tidak lain adalah pengetahuan yang bersumber dari firman Allah (yang dalam hal ini teks al-Qur’an); pengetahuan menjadi hak prerogratif Tuhan. Sedangkan pengetahuan dalam konteks filsafat berarti bahwa pengetahuan itu didapat melalui proses berpikir akal manusia. Jelas, antara keduanya tidak dapat dipertemukan.
Bahwa wahyu (agama) dan filsafat adalah dua hal yang berbeda. Keduanya memiliki wilayah dan hakekatnya masing-masing. Lalu, bagaimana mendudukkan keduanya?
Ibnu Rusyd dalam bukunya Fashl al-Maqal berpendapat bahwa agama dan filsafat merupakan dua bangunan yang bersifat aksiomatik-hipotetik-deduktif. Kebenarannya harus dilihat dalam masing-masing dirinya, bukan di luarnya. Kebenaran yang dicari adalah kebenaran dalam proses mencari argumen/dalil (istidlal), dan bukan kebenaran prinsip-prinsip dan premis-premis. Karena, prinsip dan premis dalam agama, sebagaimana dalam filsafat, merupakan sesuatu yang dicipta, yang harus diterima dengan tanpa penalaran rasional (burhan). Jika seorang filosof hendak membahas persoalan agama, maka pertama-tama ia harus menerima prinsip-prinsip agama. Sebaliknya, jika seorang agamawan hendak membahas masalah filsafat, maka ia harus menerima prinsip-prinsip yang dicanangkan oleh filsafat. Jadi, meskipun berbeda, agama dengan filsafat bertemu dalam hal pencapaian tujuan, yakni kebenaran.
Untuk itu, Ibnu Rusyd mengajukan teori takwil yang bertumpu pada tiga prinsip. Pertama, agama (teks al-Qur’an) selalu sesuai dengan apa yang ditetapkan akal, baik sebatas makna literal maupun melalui pentakwilan. Perbedaan antara keduanya sebatas cara menyampaikan dan menjelaskan kebenaran; akal menggunakan rasio dan agama menggunakan sense dan imajinasi. Agama berbicara kepada semua manusia, karena tujuannya yang mendasar adalah meluruskan perilaku manusia. Maka, agama berbicara kepada akal, sense dan imajinasi; menggunakan cara rasional, dialektis dan retoris. Di sini, takwil berarti mengubah pernyataan-pernyataan yang bersifat dialektis dan retoris, menjadi pernyataan yang rasional; menjadi ‘akal murni’.
Kedua, bahwa bagian-bagian dari al-Qur’an saling menafsirkan antara satu dengan yang lain. Artinya, jika secara zahir ayat bertentangan dengan keputusan akal, maka mesti di tempat lain akan ditemukan makna hakiki dari ayat tersebut; makna yang sesuai dengan makna yang diputuskan akal. Ini berarti bahwa takwil adalah usaha untuk merekonstruksi pernyataan-pernyataan agama secara rasional dengan tetap menjaga kesatuan internal (teks).
Ketiga, bahwa sebagian hal yang terdapat dalam agama, ada yang dapat ditakwil dan ada yang tidak dapat ditakwil. Agama berpijak pada tiga hal yang tidak dapat ditakwil; (1) peneguhan terhadap Allah, (2) peneguhan terhadap kenabian, dan (3) peneguhan terhadap hari akhir. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menyerukan keimanan kepada Allah, malaikat, rasul dan hari akhir, tidak boleh ditakwil. Namun, selain ayat-ayat yang memuat prinsip tersebut di atas dapat ditakwil dengan syarat: (1) tetap memperhatikan karakteristik stailistika bahasa Arab dalam mengungkapkan, (2) memperhatikan kesatuan internal pernyataan-pernyataan (teks) agama, dan (3) tetap mempertimbangkan tingkat pengetahuan bagi orang yang akan melakukan takwil.
Allah adalah akal ketuhanan (al-aql al-ilahi) yang universal. Ia menjadi sumber dari segala sumber akal dan segala yang maujud. Ilmu Allah bersifat sempurna (tamm) yang menjadi sumber bagi segala sistem yang ada di dunia. Oleh karena itu, tidak tepat jika kita mengatakan bahwa ilmu Allah itu bersifat juz’iy (parsial) atau kulliy (menyeluruh); Allah mengetahui hal-hal kecil saja atau hal-hal yang besar (global) saja.
Pengetahuan Allah berbeda dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah merupakan sebab (al-illah) bagi segala yang maujud. Sementara pengetahuan manusia dicapai akibat dari pemahaman terhadap sebab, dan karena itu bersifat baru dan berubah-ubah. Pengetahuan Allah adalah ‘yang ghaib’ (al-gha’ib) yang bersifat mutlak, sedangkan pengetahuan manusia adalah ‘yang nyata’ (al-syahid) yang bersifat terbatas. ‘Yang nyata’ tidak dapat dianalogikan pada ‘yang ghaib’.
Secara epistemik, semua pengetahuan berpijak pada kausalitas. Mengetahui akibat (konsep/pengetahuan) tidak akan dapat diperoleh dengan sempurna kecuali dengan mendalami sebab-sebabnya. Mengingkari hubungan kausalitas antara sebab dan akibat dapat membatalkan sebuah pengetahuan dan atau bahkan akan menepis pengetahuan itu sendiri.
Secara ontologik, segala yang maujud di dunia pada hakekatnya merupakan bentuk dari sebab (al-sabab) dan akibat (al-musabab). Usaha manusia dalam memahami sebab dan akibat dapat melahirkan pengetahuan. Hanya saja, pengetahuan manusia selalu bersifat terbatas. Karena secara alami, manusia tidak mampu memamahami dan mencermati seluruh tata-urutan (sistem) yang ada di dunia.
Seorang filosof dapat memahami agama dalam frame agama itu sendiri, dan seorang agamawan (al-alim al-diniy) dapat menggunakan kategori-kategori dan kepastian logik dalam memaknai pernyataan (teks) agama. Keduanya dapat bertemu dan bermuara pada satu titik, yaitu kebenaran. Agama menginginkan keutamaan praksis dengan jalan membawa manusia kepada perilaku yang utama (al-suluk al-fadhil) secara langsung. Sedangkan filsafat menuntut keutamaan praktis melalui pengetahuan teoritis yang dapat mendorong si empunya kepada perilaku yang utama. Di sini, antara filsafat dan agama menemukan basis ontologis yang sama.[mff]

Buku bacaan selanjutnya:
1. Al-Kindi, Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim billah, t.p., t.t.
2. Muhammed Abid Aljabiri, Nahnu wa Turats: Qira’ah Muashirah, al-Markaz al-tsaqafi al-Arabi, 1993
3. Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal fima baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, t.p., 1895
4. Ibn Rusyd, Manahij al-Adillah fi Aqa’id al-Millah, t.p., 1955
5. Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, t.p., 1901
6. Muhammed Athif al-Iraqi, al-Manhaj al-naqdi fi Falsafah Ibn Rusyd, Dar al-Ma’arif, 1980
7. Abdul Mun’im al-Hifni, al-Mu’jam al-Falsafi, al-Dar al-Syarqiyah, 1990
8. Harold H. Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Bulan Bintang, 1984

23 Juli, 2009

Menjadi Muslim yang Kaffah

Oleh: M. Faisol Fatawi

Seringkali kita mendengar sebagian orang mendakwahkan bahwa kita semua harus menjadi muslim yang kaffah. Yang mereka maksudkan dengan kaffah adalah bahwa umat Islam harus menguasai dunia dan akhirat. Kejayaan yang pernah dicapai pada era masa lampau tidak lain merupakan wujud dari Islam yang kaffah itu. Jika pada masa lalu Islam secara politik pernah menguasai dunia, maka kekuasaan itu sekarang pun harus diwujudkan kembali. Masalah politik dijadikan sebagai pintu utama untuk membuka dan mengembalikan kembali kejayaan Islam masa lampau. Maka tak pelak, jika pengertian kaffah dikaitkan dengan masalah kekuasaan atau politik Islam.
Istilah Islam yang kaffah seringkali dihubungkan dengan pernyataan QS. al-Baqarah: 208. Ayat itu berbunyi: “udkhulu fis silmi kaffah”. Pada umumnya, ayat ini diterjemahkan menjadi “masuklah Islam secara menyeluruh”. Imam Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf menafsirkan kata as-silm dengan as-salam. As-salam berarti ketaatan (ath-tha’ah) dan sikap berserah diri (al-istislam). Jika ayat tersebut dipahami, maka artinya adalah “masuklah ke dalam ketaatan atau ketundukan secara penuh”. Dengan kata lain, ketaatan dan ketundukan seorang muslim kepada Allah harus dilakukan secara penuh, tidak separoh-separoh.
Menurut Imam al-Zamakhsyari, ayat tersebut menyerukan bentuk ketaatan dan ketundukan kepada Allah secara total karena sebagian Ahli Kitab masih ada yang beriman kepada nabi dan kitab mereka, dan karena orang munafik hanya beriman sebatas lisan saja. Dalam sebuah riwayat dinyatakan, bahwa “Abdullah bin Salam pernah meminta izin kepada nabi Saw untuk menunaikan hari Sabat, dan membaca kitab Taurat dalam shalatnya.” Islam tidak menginginkan bentuk ketaatan yang separoh-separoh dan tidak total. Jadi, pengertian as-silm dan kaffah terkait dengan bentuk penghambaan yang total kepada Allah SWT. As-silm memberikan pengertian tentang cara keberagamaan yang total untuk tunduk kepada sang khaliq secara menyeluruh.
Dalam rumusan klasik, bentuk totalitas keberagamaan (Islam) tidak dapat dipisahkan dengan iman dan ihsan. Iman adalah sebuah pengakuan melalui lisan yang harus dibarengi dengan komitmen dalam hati akan kebenaran adanya Allah dan ajaran-ajaran-Nya. Keimanan menjadi struktur batin atau internal yang harus dibangun di dalam setiap diri seseorang yang muslim. Totalitas dalam beragama butuh pada struktur bangunan diri yang kokoh sehingga tidak mudah rapuh, dan tidak bertindak setengah-setengah.
Sementara itu, ihsan merupakan aktualisasi dari komitmen yang dibangun dalam struktur batin diri setiap muslim-mukmin. Cara keberagamaan tidak cukup dengan adanya komitmen dalam diri dalam wujud pengakuan kebenaran Allah dan ajaran-ajaran-Nya. Tetapi, mengimplementasikan apa-apa yang menjadi ajaran-Nya menjadikan agama mampu melakukan misinya untuk melakukan transformasi sosial ke arah yang lebih manusiawi dan berperadaban. Nilai-nilai keadilan, persamaan, persaudaraan dan seterusnya yang diajarkan oleh agama hanya akan menjadi ide-ide atau gagasan saja tanpa dimplementasikan dalam perilaku sehari-hari. Ihsan adalah implementasi dari ketundukan dan ketaatan kepada Allah. Atau dengan kata lain, ihsan merupakan amal shaleh.
Antara iman dan ihsan harus seimbang. Seorang yang muslim harus menyeimbangkan antara iman dan ihsan. Menjadi muslim yang kaffah berarti sikap totalitas dalam diri untuk membangun komitmen pengakuan akan adanya Allah dan pengimplementasian ajaran-ajaran-Nya dalam perilaku sehari-hari. Ukuran seseorang menjadi muslim secara sederhana sering kita dengar melalui sabda Saw, bahwa seseorang menjadi betul-betul muslim jika orang yang berada di sekitarnya tidak tergangggu oleh tangan dan lisan (al-muslim man salima al-muslimuna min lisanihi wayadihi). Artinya, dalam diri seorang muslim harus ada komitmen diri terhadap Allah dan pengimplementasian nilai ajaran-Nya.
Rapuhnya sikap totalitas dalam diri seorang muslim akan berdampak pada munculnya sikap-sikap negatif yang tidak saja membahayakan diri sendiri tetapi juga merugikan umat manusia. Sikap munafik, barangkali dapat dijadikan contoh dari rapuhnya struktur batin keberagamaan seorang muslim, yang dapat merugikan kepentingan umum. Rasulullah Saw bersama para sahabat mengalami kerugian akibat ulah sahabat-sahabat yang munafik, yaitu ketika terjadi perang Uhud. Dalam perang Uhud nabi dan para sahabat mengalami kekalahan. Sebagian pasukan perang dari kalangan sahabat tidak memiliki sikap totalitas keberagamaan; mereka bersikap mendua (munafik). Konon menurut cerita, ada sekitar tiga ratus pasukan yang membatalkan diri untuk tidak ikut perang Uhud. Nabi pun marah dan kecewa.
Peristiwa pengkhianatan sebagian pasukan perang sebagaimana yang terjadi dalam perang Uhud tersebut Secara teologis, menjadi bukti ketidak-totalitasan keberagamaan seorang yang beragama. Ia hanya beriman sebatas lisan, sementara dalam level implementasinya berbuat tidak sesuai dengan yang diimani. Oleh karena itu, orang yang beragama seperti ini digambarkan oleh al-Qur’an sebagai orang yang menipu Allah dan menipu diri sendiri (QS. an-Nisa’: 142). Dikatakan menipu karena ia telah mengkhianati komitmen diri dalam mengakui Allah dan menjalankan ajaran-ajaran-Nya.
Pada dasarnya, konsep muslim kaffah terkait dengan sikap setengah-setengah dalam beragama (baca: memeluk Islam). Ia tidak memiliki keterkaitan dengan menegakkan ‘kekuasaan’ Islam atau pemerintahan Islam. Menjadi muslim yang kaffah berarti membangun sikap ketundukan atau ketaatan dalam diri melalui komitmen pengakuan akan kebenaran Allah dan pengimplementasian nilai-nilai ajaran-Nya; harus ada keseimbangan antara konsep yang diyakini dengan praktik di tengah kehidupan sehari-hari sehingga perubahan sosial ke arah yang lebih manusiawi dan berperadaban dapat diwujudkan. Memaknai ‘Islam yang kaffah’ dengan upaya untuk menegakkan agama Allah melalui penegakan kekuasaan sama halnya dengan menyeret Islam ke dalam kepentingan politik kekuasaan yang nista. Singkatnya, konsep Islam kaffah tidak ada kaitannya dengan penegakan khilafah islamiyah. Karena, menegakkan ajaran agama tidak meniscayakan ditegakkannya sebuah kedaulatan politik yang berbaju agama.[mff]

22 Juli, 2009

Kita Butuh pada Teologi Inklusif

Oleh: M. Faisol Fatawi

Hantu terorisme itu datang lagi. Seolah tidak pernah lelah, hantu terorisme itu terus bergerak leluasa di negeri ini. Bekerja mencari mangsa dengan meledakkan bom-bom di tempat keramaian, terutama tempat berkumpulnya orang-orang yang dianggap musuhnya. Setelah sempat tidak terdengar, kini hantu terorisme itu muncul untuk yang kesekian kalinya di Hotel JW Marriot dan tetangganya Rizt-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Sekali ledak, maka luluh lantahlah bangunan di sekelilingnya, dan jatuhlah puluhan korban. Ledakan bom itu terjadi tepatnya pada 17 Juli yang lalu.
Spekulasi kuat menyatakan bahwa bom bunuh diri yang terjadi beberapa pekan lalu itu terkait dengan JI. Peledakan bom itu memiliki keterkaitan dengan peledakan bom sebelumnya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Amrozi cs di Bali. Singkatnya, pengeboman tersebut terkait dengan kelompok-kelompok agama tertentu yang memiliki ideologi keras dengan menjadikan jihad sebagai keyakinannya. Untuk yang kesekian kali, coba kita serahkan saja peristiwa peledakan bom kali ini kepada pihak yang berwenang untuk menyidik. Karena, memang tidak ada salahnya kita mencoba untuk percaya kepada bangsa ini untuk mengungkap hantu-hantu terorisme itu.
Dalam sejarah Nusantara disebutkan, bangsa kita tidak mengenal tradisi teror-meneror. Karena teror-meneror—apalagi dengan meledakkan bom di tempat umum—merupakan sikap tidak ksatria. Tradisi bangsa ini adalah tradisi yang majemuk dan plural. Negeri yang kita cintai ini dibangun atas dasar kemajemukan, baik dalam hal keyakinan, agama, budaya, bahasa dan seterusnya. Barangkali, tanpa ada kemajemukan bangsa Indonesia tidak akan pernah ada. Tidak ada alasan hanya karena berbeda pendapat, keyakinan, rasa dan atau yang lain-lain, bangsa kita saling memakan atau membunuh kawan sendiri. Bahkan berpuluh-puluh tahun kita jarang—kalau tidak boleh dikatakan tidak sama sekali—menyaksikan pertengkaran hebat antar berbagai macam agama dan keyakinan yang bersemai di negeri ini. Kita semua, dengan perbedaan yng dimiliki, akur-akur saja. 
Praktik bom bunuh diri yang sering terjadi di negeri ini semakin menunjukkan akan adanya musuh yang nyata. Yaitu, musuh yang berwujud ’ideologi’ atau keyakinan yang menghalalkan darah setiap orang yang dianggap musuh. Ironinya, musuh itu berjubah ’agama’ tertentu yang seringkali diakaitkan dengan Islam. Atau pelakunya meyakini hal itu sebagai bagian dari ajaran Islam (dengan konsep jihadnya). 
Kita semua masih ingat bahwa Islam dilahirkan bukan untuk kekerasan. Rasulullah mendeklarasikan Islam sebagai agama yang toleran (samha’) atau sebagai koreksi atas dekadensi moral (li utammima makarimah al-akhlaq). Maka tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa bom bunuh diri merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Jihad terbesar tidak lain adalah memerangi hawa nafsu, bukan membunuh nyawa-nyawa yang tidak berdosa, apapun agama dan keyakinan yang dianutnya. 
Mencermati peristiwa bom bunuh diri di Hotel JW Marriot dan Rizt Carlton tersebut, saya jadi ingat sekte Khawarij, sebuah aliran teologi dalam dunia Islam. Kelompok Khawarij mempunyai keyakinan bahwa tidak ada hukum selain hukum Allah (la hukma illa Allah); mereka pun menganggap selagi sebuah pemerintahan, negara, khilafah atau apapun yang sejenisnya, tidak dijalankan berdasarkan hukum Allah maka dianggap kafir. Sementara itu, cara perjuangan untuk menegakkan cita-cita negara seperti yang mereka maksud adalah menghalalkan darah mereka yang dianggap musuh (bukan Islam). Jika pelaku pengeboman yang selama ini terjadi di Indonesia benar-benar dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras seperti Nurdin M. Top, Amrozi, Imam Samudra dan kawan-kawan, maka dapat dipastikan bahwa ada kemiripan cara dan keyakinan antara kelompok pengebom yang mengatasnamakan agama Islam dengan sekte Khawarij ini. Jika hal ini benar, mungkinkah kelompok-kelompok tersebut merupakan metamorfosa dari gerakan Khawarij? Mungkinkah ini yang disebut dengan Neo-Khawarij?
Sekarang, musuh nyata bangsa ini adalah ideologi atau keyakinan yang menghalalkan darah setiap orang yang dianggap musuh, lebih-lebih musuh yang diatasnamakan agama (baca: kafir), yang diusung oleh kelompok atau jaringan tertentu, apapun nama dan sebutan kelompok-kelompok itu, baik keagamaan maupun non-keagamaan. Kita musti mewaspadai kelompok atau jaringan ideologi keagamaan yang menanamkan teologi kekerasan atas nama agama ini, yang akhir-akhir ini semakin tumbuh subur dan menjelma kedalam bom bunuh diri. 
Agar peristiwa pengeboman seperti yang terjadi beberapa hari lalu tidak terulang, maka kedepan perlu dikembangkan dan diajarkannya sebuah teologi inklusif yang diimplementasikan melalui kurikulum bidang keagamaan di sekolah-sekolah. Teologi inklusif ini penting untuk menanamkan nilai perbedaan dan hikmahnya sejak dini sehingga kita bisa hidup berdampingan dengan aman dan tanpa ancaman apapun. Atau mungkinkan kita akan hidup dalam ketidak-nyamanan dengan ancaman bom di sana-sini. Atau mungkin kita harus saling bunuh membunuh untuk mempertahankan keyakinan masing-masing?[MFF]

19 Juli, 2009

Tafsir Sosial atas Isra' Mi'raj

Oleh : M.Faisol Fatawi

Isra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa penting yang menyertai perjalanan dakwah nabi Muhammad Saw. Dalam peristiwa ini, beliau diperjalankan dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha, kemudian dari sana diangkat ke langit yang paling tinggi (sidrat al-muntaha) dan kembali lagi ke tempat semula dalam waktu semalam. Peristiwa tersebut mengundang perdebatan sekaligus keraguan di kalangan masyarakat Arab saat itu. Bagaimana mungkin Muhammad bisa melakukan itu?, sungguh tidak masuk akal!, itulah barangkali sanggahan keraguan yang dilontarkan oleh para pemimpin kafir-Quraisy. Wal hasil, para kafir-Quraisy pun tidak mempercayainya. Sikap keraguan juga sempat muncul dari sahabat dekat beliau. Satu-satunya sahabat beliau yang pertama kali mempercayainya adalah Abu Bakar –yang karena pembenarannya terhadap peristiwa tersebut ia lantas mendapat julukan as-Shiddiq.
Perdebatan serupa juga muncul di kalangan umat islam kemudian. Perdebatan itu muncul bukan berkaitan dengan substansi kejadian, yaitu apakah peristiwa Isra’ Mi’raj ini benar-benar terjadi?, namun hanya berkenaan dengan apakah nabi di-isra’-mi’raj-kan dengan roh dan jasadnya sekaligus atau rohnya saja. Maka muncullah dua pendapat, pendapat pertama menyatakan bahwa nabi di-isra’-mi’raj-kan dengan jasad dan rohnya. Ini merupakan pendapat yang dipegangi oleh mayoritas umat islam. Kedua, pendapat yang meyakini bahwa beliau ber-isra’-mi’raj dengan rohnya saja.
Yang terpenting bagi kita, terlepas dari perdebatan yang terjadi di kalangan umat islam tersebut, bahwa peristiwa itu sampai kini terus di[ber]maknai dan diperingati oleh umat islam, baik lewat serangkaian acara dan haflah maupun tradisi ritual lainnya. Ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut cukup memiliki signifikansi tersendiri dalam praktek keberagamaan umat islam: kita berusaha mengambil sari ibrah darinya untuk dimanfaatkan dalam prilaku keseharian sebagai seorang yang beragama.
Di mata mayoritas umat islam, peristiwa Isra’ Mi’raj dipandang sebagai peristiwa spektakuler yang kejadiannya ditujukan untuk membuktikan eksistensi Muhammad sebagai seorang nabi atas kekuasaan Allah. Agaknya makna inilah yang sering ditonjolkan dalam hampir setiap peringatan, dan selalu diulang-ulang. Menurut hemat penulis, menonjolkan dimensi makna Isra’ Mi’raj sebagai mukjizat kenabian semata hanya akan berujung pada persoalan metafisis, tidak pernah menyentuh makna di balik apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat tempat beliau berdakwah, sehingga pesan sosial dan signifikansinya bagi kehidupan sosial hilang. Sampai sini, kemudian peristiwa tersebut menjadi a historis: cerita tentangnya diulang terus-menerus seolah-olah peristiwa itu terjadi di luar poros sejarah kemanusiaan.
Membaca pesan sosial dari peristiwa Isra’ Mi’raj, kita musti tidak dapat melepaskannya dari konteks sosial masyarakat Arab saat itu. Karena konteks inilah yang menjadi –dengan meminjam istilah Immanuel Kant— syarat-syarat kemungkinan (condition of possibility) terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj. Tanpa kondisi sosial peristiwa tersebut tidak memiliki arti apa-apa dan mungkin tidak akan terjadi. Realitas (masyarakat Arab) yang berada di luar kejadian peristiwa inilah yang menjadikan kita dapat mencerna dan memahami rasionalitas makna peristiwa itu.
Sudah maklum, bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada saat nabi berdakwah di kota Makkah. Dalam catatan sejarah islam dinyatakan, bahwa kota Makkah pada saat nabi Muhammad Saw mendakwahkan risalah Tuhan (Islam) merupakan pusat kota perdagangan sekaligus pusat tempat sesembahan masyarakat Arab. Sebelum menjadi kiblat umat Islam, bangunan Ka’bah menjadi gudang patung sesembahan masyarakat Arab dari segala penjuru jazirah, lebih-lebih kaum kafir-Quraisy. Lebih dari seratus buah patung, berikut jenis dan bentuknya, ada di dalam Ka’bah dan sekitarnya. Di halaman Ka’bah itu pula berbagai macam patung sesembahan diperjualbelikan.
Melihat kondisi masyarakat seperti itu, Muhammad Abed Aljabiri (1989) berpendapat bahwa dakwah nabi Muhammad Saw. dengan “semboyan” dakwah la ilaha illa alloh-nya tentu saja mempunyai dampak ekonomis. Dikatakan demikian, karena menerima semboyan dakwah tersebut berarti harus siap menjauhi dan melepaskan diri dari praktek penyembahan terhadap patung. Semakin banyak orang yang menerima dakwah nabi, maka semakin banyak orang yang meninggalkan penyembahan terhadap patung. Sebagai konsekwensi dari semakin berkurangnya orang yang tertarik pada patung semsembahan adalah sedikitnya mereka yang membeli patung, dan ini tentu akan mengurangi omset penjualan. Di sini dakwah nabi tentu saja akan dapat mengancam kepentingan para penjual patung. Atas dasar pertimbangan itulah, dakwah nabi Muhammad Saw tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk kota Makkah saat itu, bahkan malah mendapat tekanan keras dari kalangan tokoh Quraisy semisal Abu Jahal dan Abu Lahab, karena dapat mengancam kepentingan mereka.
Seiring dengan itu, lahir kelompok masyarakat elit (superior). Kelas ini diwakili oleh para tuan tanah, pemilik perkebunan di daerah Hijaz dan sekitarnya, pemilik modal, properti, dan bentuk kapital yang lain. Kelas kepentingan ini dalam sejarah Islam lebih dikenal dengan shanadid al-Quraisy atau aristokrat Quraisy (Khalil Abdul Kariem, 1993).
Kelas shonadid al-Quraisy (kelas masyarakat superior) memainkan peran penting di tengah masyarakat dalam menentukan kebijakan publik. Mau tidak mau mereka yang tidak mampu menjadi hamba-hamba pengabdi harus tunduk pada kelas pemegang sentra produksi: menjadi tukang kebun, pegawai pengrajin, pembantu rumah tangga (budak), pesuruh, dan lain sebagainya. Kelas ini selalu hidup di bawah jaminan, tekanan, dan semena-mena tuannya. Apabila dakwah nabi itu membawa risalah persamaan hak, pemerataan kekayaan, persaudaraan, dan keadilan dengan tauhid sebagai payungnya, tentu bertentangan dengan kenyataan masyarakat, khususnya penduduk kota Makkah. Buktinya, justru di tengah masyarakat Makkah-lah nabi mendapat perlakukan lebih kejam. Bahkan dapat dibilang dakwah nabi di kota Makkah kurang sukses.
Mencermati situasi sosial masyarakat Arab seperti itu, peristiwa Isra’ Mi’raj dapat dibilang hadir sebagai simbol perlawanan kultural (counter of culture) atas menggejalanya budaya yang serba materialis-hedonis. Gejala ini dapat dilihat pada penuhanan dan penjualan patung. Melanggengkan penyembahan patung tidak lain adalah mempertahankan kepentingan individu tertentu untuk menguasai sentra perdagangan: memperkaya diri dengan harta yang bergelimang untuk dapat memainkan kebijakan publik. Siapa yang kaya itulah yang akan dijunjung dan dihormati, bahkan didengar petuahnya oleh masyarakat. Dengan kekayaan melimpah segala yang menjadi keinginannya dapat terpenuhi. Inilah hukum yang berlaku di tengah masyarakat Arab saat itu.
Budaya materialis-hedonis hanya mengantarkan seseorang pada realitas yang mati, kering, dan kaku, karena segala yang ada di sekitarnya selalu diukur dengan materi, tidak lebih dari itu. Spiritualitas dan mentalitas mereka pun serba materialistik. Ini yang menyebabkan nurani mereka tumpul, dan sensibilitas nurani kemanusiaannya mati kutu, sehingga mereka cuek atas segala problem kemanusiaan yang sedang terjadi di tengah masyarakat.
Untuk menyembuhkan spiritualitas dan mentalitas yang serba materialis-hedonis itu, diperlukan sebuah terapi spiritual. Barangkali meminjam istilah ilmu Psikologi, spiritual healing (penyembuhan spiritual). Terapi ini berguna untuk mengembalikan dan membangun kembali kesadaran nurani kemanusiaan yang telah mati tertimbun puing-puing materi dan kekayaan. Setidaknya, hasil lawatan nabi dalam Isra’ Mi’raj adalah perintah melakukan sholat lima waktu. Dan terapi spiritual itulah dapat dibilang sebagai salah satu manfaat dan fungsi dari ritual sholat itu.
Peristiwa Isra’ Mi’raj itu sudah berlalu. Tetapi tidak salah kalau kita menghadirkan dan mengendapkannya dalam lubuk terdalam untuk selalu memperbaharui mentalitas, spiritualitas, dan kesadaran kita akan segala persoalan kemanusiaan yang sedang terjadi di tengah masuarakat. Mungkin mentalitas dan kesadaran kita sudah tercemari oleh budaya materialais-hedonis sehingga kita tidak dapat keluar dari krisis kemanusiaan yang berkepanjangan sebagaimana yang dapat kita saksiakan di negeri ini.[MFF]

18 Juli, 2009

Muhammad Saw. Dan Pembebasan

Oleh: M. Faisol Fatawi


Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad),
 melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam

(QS. al-Anbiya’: 107)

 Ayat tersebut di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa kerasulan nabi Muhammad Saw adalah sebagai rahmat untuk seluruh yang ada dalam jagad raya ini: bersifat lintas batas kemanusiaan dan melampaui letak geografis. Tidak saja untuk sekelompok golongan dan kelas masyarakat, etnis atau ras tertentu. Ini berarti bahwa ada sesuatu pesan universal yang hendak disampaikan kepada mereka semua. Beliau membawa misi ketuhanan yaitu, mengajak kepada jalan Tuhan dan sebagai cahaya yang menerangi: sebuah misi pembebasan yang mengangkat martabat manusia dari jurang “kejahiliaan” menuju perdamaian, kesejahteraan dan kemerdekaan semesta.
 Sebagaimana dimaklumi, nabi Muhammad Saw. dilahirkan di tengah kondisi yang carut-marut. Krisis moral, semangat matrialistis, ketimpangan sosial, yang kaya menginjak-injak yang lemah, fanatisme kesukuan yang berujung pada peperangan antar suku, membunuh anak perempuan secara hidup-hidup ... dst, semuanya telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Arab sampai-sampai hukum positif yang mengatur sendi-sendi kehidupan mereka tak berarti sama sekali dan tatanan masyarakat dapat dikatakan dalam batas kehancuran. Kenyataan seperti ini yang kemudian mendorong beliau untuk berkhalwat di gua Hira’ sampai wahyu pertama (surat al-Alaq: 1-5) diturunkan (Nasr Hamid Abu Zaid: 1993, 74). Karena itu pula, nabi menyatakan “saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak”.
 Ada beberapa pilar yang menjadi misi utama kerasulan. Pertama kali yang disentuh adalah aspek mental (kesadaran), yaitu membangun kesadaran eksistensial Nabi Saw. memperkenalkan ketauhidan, sebuah bentuk penyadaran bahwa di dunia ini ada kekuatan yang Maha Dahsyat (Allah Yang Esa) yang lebih berhak dan layak untuk dijadikan tempat bergantung. Hal itu bisa disebut sebagai sebuah “spiritual healing”, yaitu satu jenis pengobatan gangguan mental dan jiwa melalui agama. Di tingkat ini agama (baca : ketauhidan) tidak hanya menjadi sekedar doktrin teologis yang harus diyakini, namun menjadi tata nilai sebagai pondasi bagi seluruh gerak jiwa dan anggota tubuh dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengakui ketauhidan Alloh, maka berarti ia mengerti tentang dirinya sendiri yang berdampingan dengan ciptaan-Nya yang lain, yang hidup di muka bumi. Otoritarianisme para ‘petinggi’ suku-suku tidak berarti apa-apa di hadapan Alloh Yang Esa. Kekuasaan dan kekayaan yang selama ini dipegang hanyalah sebagian kecil dari pemberian-Nya (Ali Imran: 26).
 Pilar penting lain yang diperjuangkan nabi dalam melakukan proses perubahan masyarakat adalah keadilah (al-’Adalah): bahwa hendaknya menghukumi manusia dengan adil (an-Nisa’: 58) karena adil lebih mendekatkan pada ketakwaan (al-Maidah: 8), persamaan (al-Musawah atau egaliter): semua manusia di hadapan Tuhan adalah sama dan yang paling mulia di sisi-Nya adalah ketakwaannya (al-Hujurat: 13), persaudaraan (al-Ukhuwah), dan keseimbangan (al-Tawazun): membangun hubungan horizontal (hablum minalloh) sebagai individu yang berketuhanan dan hubungan vertikal (Hamblum minannas) sebagai insividu yang berdampingan dengan lainnya: bukankah kehinaan di muka bumi ini terjadi akibat ketidakmauan manusia untuk menjalin hubungan dengan Tuhan dan hubungan harmonis antar sesama? (al-Baqarah: 112). 
 Dalam mengemban misi tersebut, nabi Muhammad Saw. selalu konsisten dan tak pernah putus asa (kendur). Meskipun telah dibujuk oleh para elit otoritarian Makkah melalui berbagai cara dengan berbagai tawaran yang menggiurkan, mulai jabatan, uang sampai wanita, namun dengan mantap beliau menolak semua tawaran itu. “Seandainya bulan kalian letakkan di tangan kananku dan matahari kalian letakkan di tangan kiriku, aku takkan berhenti menjalankan dakwah (baca: misi kemanusiaan) ini”, tegasnya. 
 Dengan keteguhan seperti itu beliau rela mendapatkan rintangan, ancaman, cercaan, hinaan dan siksaan, baik secara fisik maupun psikis. Bahkan segala bentuk tekanan atau siksaan tersebut disambut dengan senyuman manis persaudaraan, tanpa ada sedikit dendam-kesumat dalam hatinya. Baginya tidak ada kamus musuh atau lawan, malah musuh itu sendiri dianggap kawan atau saudara. Semua manusia adalah saudara. Pernah dalam suatu saat nabi bertanya kepada para sahabat tentang mereka (orang Kafir Makkah) yang selama ini ‘memuncratkan’ air ludahnya kepada beliau ketika sedang pergi ke masjid: ada apakah gerangan sehingga pagi tadi ia tidak meludahi lagi? Di manakah dia? Apa yang terjadi padanya?. Setelah mengerti bahwa ia sedang sakit sehingga tidak bisa melaksanakan kebiasaan jeleknya meludahi nabi, maka beliaupun menjenguknya sebagai tanda persaudaraan dan persahabatan. Sungguh pada dirimu (Muhammad) akhlak yang sangat mulia dan agung (al-Qalam: 4).
 Akhirnya misi pembebasan dan kerahmatan yang dirampungkannya selama dua puluh tiga tahun menemukan hasil nyata dan berujung pada terwujudnya masyarakat yang hidup dengan penuh kasih sayang, tanpa membedakan status, warna kulit, etnis dan agama. Pluralitas umat beragamapun dapat hidup subur. Mereka, sebagaimana tercatat dalam piagam Madinah, hidup saling berdampingan, saling membantu dan melindungi satu sama lain. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana dapat membangun kehidupan yang damai, mengorhamati antar sesama individu atau kelompok yang berkeyakinan, silahkan melaksanakan kewajiban ibadah menurut keyakinan (agama) masing-masing asal tidak menggangu ketenangan ibadah pihak lain karena urusan ritual ibadah merupakan urusan masing-masing pemeluk.
 Keberhasilan nabi Muhammad Saw. tersebut, dengan menggunakan tolak ukur penialaian apapun diakui oleh para sarjana Barat. Dengan melihat keberanian moral beliau Marcos Dods mengakuinya, Michael H. Harta mengakui atas pengaruh yang ditinggalkannya, Thomas Carly kagum dengan kepahlawanannya.  
 Sungguh nabi Muhammad Saw adalah manusia luar biasa yang masih dalam batas kemanusiaannya. Karenanya “beliau laksana batu permata di antara dua batu hitam”. Beliau melakukan aktifitas sebagaimana kebanyakan manusia menjalankannya: makan, minum, tidur, bicara antar sesama, memiliki watak kemanusiaan pada umumnya. Namun yang membedakannya adalah kualitas jiwa, memiliki sifat keagungan dengan tipe pribadi unggul. Bahkan Abbas al-Aqqad menandaskan, mental skill kemanusian sebagai pekerja, seniman, pemikir dan ketekunan beribadah menyatu dalam dirinya.
 Empat belas abad lebih dua puluh satu tahun yang lalu kita telah ditinggalkan oleh beliau. Kini, mari kita hadirkan dan praktekkan kembali misi pembebasan kemanusiaan be-liau sebagai rasul Allah di muka bumi ini. Di saat manusia sudah tidak mengenal eksistensi dirinya dan identitas kemanusiaannya sebagai manusia beragama dan berkeyakinan, kita perlu menghidupkan kembali misi pembebasan kemanusiaan itu. Sebuah misi yang dapat menghasilkan daya yang dapat mentransmisikan dunia ke dalam perdamaian abadi, menjadi gerak positif bagi perubahan sosial menuju manusia berperadaban. [MFF]

17 Juli, 2009

Andai Hotel yang Digusur, Bukan Sekolah

Oleh: M. Faisol Fatawi

Belum genap seminggu siswa memasuki tahun pelajaran baru, dunia pendidikan kita mendapat sorotan publik yang cukup tajam. Penyebabnya adalah penutupan sekolah karena akan ditukar-gulingkan dengan lahan yang lain; lahan sekolah—konon—akan digantikan dengan bangunan hotel berbintang. Kali ini, penutupan sekolah itu (SMAN 4) terjadi di Pematang Siantar Sumatera Utara. Akibatnya, proses belajar mengajar mandeg. Demonstrasi yang dilakukan oleh siswa dan bahkan para orang tua pun tidak dapat dihindarkan.
Peristiwa seperti itu dalam dunia pendidikan kita bukan terjadi kali ini saja. Kita mungkin masih ingat bagaimana ibu Nurlela, seorang guru Sekolah Dasar di Jakarta, yang berjuang mati-matian untuk mempertahankan sekolahnya yang ditutup ketika itu. Bahkan berhari-hari ia dengan para siswanya tetap mempertahankan proses belajar mengajar di depan sekolah yang sudah ditutup dengan police line. Di tempat lain, sebuah Sekolah Dasar Negeri digusur atau dipindahkan lokasinya (ditukar-guling) dan digantikan bangunan Mall (sebut saja Ambarukmo Plaza). Belum lagi di wilayah atau kota-kota yang lain. Sungguh penggusuran atau penutupan sekolah yang terus terjadi telah menjadi sebuah ironi bagi negeri ini.
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat vital bagi bangsa. Ia menjadi wahana penyemaian akan lahirnya generasi bangsa yang cerdas, bermoral dan bermartabat. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita bersama bangsa. Oleh karena itu, dalam undang-undang kelangsungan pendidikan menjadi tanggungjawab negara (baca: pemerintah) dan setiap warga berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Kasus penggusuran atau penutupan lahan sekolah seperti yang terjadi pada SMAN 4 di Pematang Siantar Sumatera Utara beberapa hari lalu menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam dunia pendidikan. Seandainya pemerintah memiliki komitmen yang tinggi, tentu pemerintah setempat tidak akan melakukan penggusuran itu. Sebagai bentuk kuatnya komitmen terhadap dunia pendidikan, seyogyanya masalah pendidikan lebih diutamakan katimbang persoalan kepentingan ekonomi.
Sebenarnya, dunia pendidikan kita telah diatur dalam undang-undang sisdiknas. Undang-undang itu mengatur tentang hal-hal yang terkait dengan pendidikan, seperti kelayakan fasilitas, keterjangkauan, peningkatan mutu dan seterusnya. Namun demikian, kebijakan prioritas terhadap lahan sekolah harus diperhatikan. Artinya, pemerintah bisa saja mengeluarkan peraturan atau payung hukum lain yang dapat membentengi penggusuran lahan sekolah, sehingga sekolah tidak dengan mudah digusur atau ditukar guling dengan lahan yang lain, apalagi hanya untuk kepentingan sekelompok orang. Dengan kata lain, fasilitas yang menyangkut kepentingan publik harus mendapatkan perlindungan ekstra lebih dari pemerintah. Dunia pendidikan butuh aturan yang lebih tegas. Penggsuran atau penukargulingan lahan sekolah harus segera dihentikan dengan peraturan yang jelas. Hal ini karena sekolah merupakan sebuah institusi pendidikan yang menyangkut kepentingan publik dan masa depan bangsa ini. Keberadaan sekolah harus lebih diutamakan dibanding dengan yang lain.
Mungkin logika pembangunan negeri ini tidak dapat lepas dari cengkraman kapitalisme dimana kepentingan perekonomian menjadi segalanya. Pemberdayaan dan pembangunan suatu masyarakat di tengah ideologi kapitalisme diasumsikan hanya dapat terwujud jika kebutuhan perekonomiannya terpenuhi dan maju. Kemajuan masyarakat hanya bisa diukur dengan pendapatan ekonomi setiap individu. Jika ini benar, maka tak heran kalau kita sering menyaksikan penggusuran sekolah, masjid, rumah-rumah penduduk dan seterusnya, dan digantikan dengan bangunan hotel, perkantoran bisnis atau bangunan lain yang lebih beripihak pada kepentingan ekonomi semata.
Ke depan kita membayangkan, andai saja ada hotel-hotel atau pusat-pusat bisnis yang menjanjikan keuntungan prekonomian, digusur atau ditutup untuk kepentingan sekolah, masjid atau pusat kegiatan untuk membangun mental dan moralitas generasi bangsa. Karena, sekarang ini krisis yang sedang kita hadapi bukanlah krisis ekonomi, tetapi krisis mental dan moral. Mungkinkah angan-angan seperti itu terjadi? Wallahu a’lam. [MFF]

15 Juli, 2009

Menyoal Moralitas Iklan ‘Sekolah Gratis’

Oleh: M. Faisol Fatawi

Iklan pendidikan gratis yang secara gencar disosialisasikan oleh pemerintah (baca: Mendiknas) telah memberikan harapan baru bagi para orang tua yang hendak memasukkan anaknya ke sekolah. Dengan cukup meyakinkan, iklan yang dibintangi oleh “Muslimah” (seorang guru perempuan dalam film Laskar Pelangi) tersebut memberikan pesan akan adanya sekolah yang tidak dipungut biaya. Siapapun jangan pernah punya niat untuk tidak menyekolahkan anak atau saudaranya karena alasan keterbatasan biaya. Karena, sekarang sekolah tidak membutuhkan biaya alias gratis. 
Namun kenyataannya, pesan sekolah gratis tersebut tidak sesuai dengan apa yang diiklankan. Di beberapa kota, masyarakat yang menyekolahkan anaknya tetap saja harus merogoh kocek yang cukup besar. Sekolah tetap saja harus membayar. Tentunya, fakta ini tidak sesuai dengan kenyataan iklan yang disampaikan. 
Dalam tradisi praktek bahasa kita, pengertian gratis berarti mendapatkan sesuatu dengan tanpa dipungut biaya. Sesuatu yang diperoleh secara gratis tidak menuntut pengeluaran uang. Jadi, pengertian gratis tidak menuntut adanya biaya macam apapun, baik biaya itu kecil maupun besar. Oleh karena itu, sangat wajar jika iklan pendidikan gratis seyogyanya dipahami sebagai pendidikan secara cuma-cuma dengan tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun.
Pendidikan gratis seperti diiklankan ternyata tidak sepenuhnya gratis. Berdasarkan data di lapangan, pemerintah melalui Mendiknas memberikan subsidi untuk biaya pendidikan berkisar antara 300-an ribu sampai 400-an ribu bagi setiap siswa. Subsidi ini hanya mencakup beberapa hal saja yang terkait dengan biaya sekolah. Tidak dapat meng-cover semua hal. Akibatnya, dalam beberapa hal pokok yang menyangkut pendidikan biaya setiap siswa ditanggung oleh pemerintah (sebesar subsidi yang diberikan), dan selebihnya dibebankan kepada pihak siswa. 
Jika kenyataan dari pengertian pendidikan gratis seperti tersebut di atas, maka itu artinya bahwa tidak ada pendidikan gratis di negeri ini yang sepenuhnya gratis, gratis dan gratis. Dalam kasus iklan pendidikan gratis ini, pemerintah telah melakukan ‘politisasi’ makna gratis. Pengertian bantuan biaya pendidikan diolah sedemikian rupa sehingga mengalami perubahan makna. Gratis yang dimaksud tidak lain adalah pemberian subsidi atau bantuan biaya dari pihak pemerintah. 
Memang, dalam subsidi terdapat pengertian gratis yang berarti memberikan sesuatu tanpa menuntut pengembalian dari pihak yang diberi. Tetapi, antara pengertian gratis dan subsidi tidak dapat disamakan. Keduanya memiliki perbedaan arti yang sangat esensial. Maka di sini, iklan gratis pendidikan dapat dikatakan sebagai bentuk permainan bahasa (language game). Permainan bahasa ini dilakukan dalam rangka mencari bahasa lain dari pengertian kata subsidi. 
Efek pemaknaan dari penggunaan kata ‘subsidi’ dan ‘gratis’ adalah kekerasan wacana atau yang dalam tradisi ilmu kritis-dekonstruksionis disebut dengan ‘imperialisasi’ wacana. Dalam pengertian kata ‘subsidi’ tersirat keterbatasan pihak pemberi. Sementara kata ‘gratis’ mengisyaratkan keunggulan kemampuan pihak pemberi. Kata ‘subsidi’ menyimpan kesan inferioritas dan superioritas sekaligus: keduanya selalu berada konteks yang tidak menentu. Sedangkan kata ‘gratis’ memastikan kesan superioritas, sehingga ketika dikatakan pendidikan gratis maka kesan yang ditampilkan adalah bahwa pihak pemberi menjadi berada di atas angin; mampu menanggung biaya pendidikan secara cuma-cuma. 
Iklan pendidikan gratis kita selama ini menanamkan nilai yang buruk bagi generasi bangsa, yaitu kebohongan. Seyogyanya iklan itu disampaikan secara terang-terangan tanpa harus mengatakannya dalam bentuk gratis. Apa salah dan susahnya jika iklan pendidikan gratis itu disampaikan dengan bahasa subsidi: negara telah memberikan bantuan biaya untuk pendidikan. Toh, kenyataan di lapangan yang terjadi tidak ada sekolah gratis dalam pengertian yang sesungguhnya. Masih saja ada biaya-biaya yang lain, yang memberatkan pihak siswa. 
Tentu, iklan pendidikan gratis itu tidak etis bagi anak negeri ini. Pesan yang diiklankan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya; lebih mencerminkan adanya kepentingan politik. Oleh karena itu, kita harus berani berkata jujur kepada diri kita sendiri dan generasi bangsa. Atau mungkin kita akan membangun bangsa ini dengan ketidak-jujuran?[MFF]

11 Juli, 2009

Kematian Jacko dan Kemenangan SBY

Oleh: M. Faisol Fatawi

Ada dua berita yang cukup menyedot perhatian masyarakat kita pada beberapa hari yang lalu. Dua peristiwa tersebut adalah kematian Michael Jackson dan pemilihan presiden. Kedua peristiwa inilah yang hampir setiap hari memenuhi berita di media massa, baik elektronik maupun cetak.
Kematian Jacko telah mengagetkan semua orang di penjuru dunia. Kepergian sang penyanyi yang mendapat julukan king of pop itu seakan membuat semua orang tidak percaya. Sebagai bentuk penghormatan terakhir, ribuan penggemar Jacko menangis histeris karena merasa kehilangan. Tak pelak, kematiannya mengundang simpati para fans yang berada di seluruh jagad dunia.
Rasa kehilangan itu dibuktikan oleh banyaknya mereka yang bersimpati kepada Jacko untuk mendatangi pemakaman jasadnya. Lebih dari tujuh belas ribu tiket yang dijual oleh panitia pemakanan Jacko ludes habis. Belum lagi ribuan yang lain merasa kecewa karena tidak kebagian tiket untuk menyaksikan pemakaman Jacko. Di samping itu, ribuan penggemar lainnya tak kalah sedihnya, mereka melepas Jacko melalui layar televisi.
Sementara banyak orang tertuju pada pemakanan Jacko di Amerika, bangsa kita telah menyaksikan pilpres yang—menurut hasil quick qount dari berbagai sumber—dimenangkan oleh calon presiden incumbent, yaitu SBY. Dengan hasil yang sangat mantap, kandidat SBY melenggang ke istana dengan tanpa hambatan sedikitpun, karena lebih dari 50 % suara pemilih menjatuhkan pilihan kepadanya. Hasil prediksi quick qount menunjukkan Mega-Pro mendapat sekitar 28 %, SBY hampir mendekati 60 % dan JK-Win berada di bawah 15 % suara. Pilpres kali ini berjalan dengan mulus, tanpa ada aral dan hambatan sedikitpun.
Lalu, apa yang menariknya dari peristiwa kematian Jacko dan kemenangan SBY? Semua orang mungkin iri dengan Jacko. Jika kita melihat antusiasme penggemar Jacko terhadap kematian dirinya sehingga dengan suka rela mereka berduyun-duyun mendatangai upacara pemakaman jasadnya. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka yang datang dari luar Amerika telah merogoh kocek yang tidak sedikit. Di sini, saya jadi teringat kematian seorang kiai. Atau saya membayangkan mungkin Jacko itu seorang kiai yang kharismanya menyedot banyak orang sehingga kematiannya meninggalkan duka lara di benak banyak orang.
Di Indonesia atau bahkan dimana-mana, jika ada seorang kiai atau ulama besar meninggal dunia, maka dapat dipastikan akan ada banyak orang yang merasa kehilangan. Atau bahkan mereka akan berduyun-duyun untuk melepas kepergiannya sebagai bentuk penghormatan terakhir kepadanya. Jasadnya pun ditangisi oleh ribuan orang karena merasa kehilangan.
Kemudian yang menarik dari kemenangan SBY adalah bahwa SBY hampir tidak mendapatkan dukungan dari para kiai atau ulama. Bahkan hampir semua organisasi sosial keagamaan di negeri ini, seperti NU, Muhammadiyah dan lain-lainnya, secara terang-terangan tidak memberikan dukungan kepada kandidat SBY. Tetapi, meskipun SBY tidak mendapat ‘sokongan’ dari organisasi sosial keagamaan yang berbasis kiai, ulama atau bahkan intelektual-agamawan, SBY tetap menjadi kandidat incumbent yang tak terkalahkan. Kemenangan SBY di sini, seolah meruntuhkan pengaruh politik kiai atau ulama. Artinya, dalam hal pilihan politik kiai atau ulama yang dahulu menjadi panutan masyarakat di dalam semua hal, sekarang mengalami pergeseran. Dalam hal pilihan politik pun, masyarakat tidak lagi menjadikan kiai atau ulama sebagai panutan.
Saya melihat kematian Jacko dan kemenangan SBY tersebut merupakan sebuah fenomena global. Ada titik temu antara kedua peristiwa tersebut, antara kematian Jacko dan kemenangan SBY. Di hadapan penggemarnya, Jacko seolah tokoh yang penuh kharismatik, yang mampu menyedot perhatian orang lain, sehingga hampir jutaan orang dengan suka rela menginginkan hadir di upacara pekaman jasadnya sebagai bentuk penghormatan terakhir terhadapnya. Sebuah bentuk penghormatan luar biasa, yang melebihi pemakaman seorang tokoh agama kharismatik di manapun. Sementara, kemenangan SBY mengisyaratkan semakin memudarnya pengaruh kharismatik seorang kiai atau ulama, khususnya dalam persoalan politik atau urusan dunia.
Fenomena kematian Jacko dan kemenangan SBY dikatakan sebagai fenomena global karena masyarakat lebih cenderung dipengaruhi oleh dunia pencitraan. Di era global setiap individu dibentuk dan dikepung oleh pencitraan yang dilakukan oleh media. Eksistensi seseorang tidak ditentukan oleh substansi dirinya, tetapi dibangun oleh pencitraan melalui media-media tertentu. Maka, yang terjadi adalah subjek-subjek tidak bisa berdiri secara independen. Mereka justru bergantung pada media. Seseorang tidak lagi melihat dirinya karena potensi dan kemampuan yang dimiliki, tetapi bergantung bagaimana seorang diri dibangun melalui sebuah citra. Tak heran, jika kita sering menyaksikan popularitas subjek tertentu yang muncul dengan tiba-tiba, tetapi pada saat yang sama tenggelam dengan begitu cepat. Barangkali inilah yang disebut dengan skizofrenia budaya. Sebuah fenomena budaya global yang mana segala hal ditentukan oleh citra-citra dan bukan kenyataan yang sebenarnya. [MFF]

08 Juli, 2009

Tak Sekedar Menerjemah

Oleh: M. Faisol Fatawi

Akhir-akhir ini kehadiran buku terjemahan makin marak di pasaran. Berpuluh-puluh jenis, dari berbagai macam penerbit, memenuhi rak toko buku. Bahkan beragam tema, mulai dari tema yang paling ringan seperti cerita-cerita, panduan-panduan praktis dan lain-lainnya, sampai yang paling berat sekalipun, seperti pemikiran keagamaan atau filsafat. Geliat ini menandai akan adanya era baru dalam belantara dunia perbukuan di Indonesia, yang mungkin belum pernah ada sebelumnya.
Bagi para penerjemah, geliat buku-buku terjemahan tersebut cukup memberikan peluang yang menguntungkan. Mereka dengan mudah dapat memasukkan atau menawarkan naskah terjemahan ke meja redaksi asalkan sesuai dengan tema yang diinginkan oleh pihak penerbit. Tak jarang tawaran naskah itu datang dari pihak penerbit itu sendiri. Sebaliknya, bagi para penerjemah pemula mungkin harus bersabar dan bahkan bersusah-susah dulu untuk meyakinkan penerbit akan hasil terjemahannya agar bisa diterima. Kalaupun diterima, biasanya honornya tidak segede mereka yang sudah dikenal oleh pihak penerbit sebagai "jagoan menerjemah". Begitulah, terjemah sekarang sudah menjadi profesi pekerjaan bagi sementara masyarakat.
Dalam praktiknya, seseorang dalam menerjemah selalu mempertimbangkan--minimal--dua aspek. Pertama, ekuivalensi makna. Dalam aspek ini, seorang penerjemah mencari padanan makna dalam bahasa sasaran sedekat mungkin dengan bahasa sumber. Pencarian padanan makna kata harus dicari secermat mungkin, sehingga tidak terjadi pembelokan arti. Kedua, ekuivalensi gramatikal. Dalam menerjemah, aspek ini penting diperhatikan untuk mendudukkan makna satu kata sesuai dengan kedudukannya dalam struktur bahasa (kalimat). Dua aspek tersebut digunakan dalam rangka menghasilkan ketepatan makna (arti) dan kejelasan ide, sehingga didapatkan karya terjemahan yang baik. Namun, apakah benar demikian?
Kita lupa bahwa menerjemah bukanlah sekedar mentransformasikan gagasan pengarang ke dalam struktur gagasan dan bahasa sasaran yang jelas. Kita juga seringkali menemukan para pembaca yang menganggap bahwa karya terjemahan yang baik adalah terjemahan yang dapat dipahami dan enak dibaca. Masalah keterpahaman karya terjemahan hanyalah satu sisi dari diri pengarang dalam menerjemah, dan ini bersifat lahiriyah.
Kita musti ingat, bahwa masih ada sisi lain dari pengarang yang harus diperhatikan dalam menerjemah, yaitu dunia mental-psikologis pengarang. Di sini, yang dimaksud dengan mental-psikologi adalah situasi batin pengarang yang mengiringi penuangan gagasan sehingga menjadi sebuah karya tulis yang utuh. Situasi batin pengarang merupakan "roh" yang menjiwai, dan bahkan menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dalam setiap karya.
Mungkin benar isyarat yang dinyatakan oleh Peter Newmark dalam bukunya Approaches to Translation, yaitu bahwa menerjemah merupakan usaha yang melibatkan proses yang sangat kompleks. Menerjemah tidak sekedar mengalihkan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Atau sekedar mencari padanan makna kata dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Menerjemah itu melibatkan proses memahami, menjelaskan, menganalisis, dan bahkan menafsirkan.
Dalam konteks seperti ini, menerjemah adalah mentransformasikan seluruh isi teks secara holistik ke dalam bahasa sasaran, di luar bahasa sumber, termasuk di dalamnya mengkonstruk kembali dunia batin pengarang. Jadi, ada dua dunia yang semestinya dipahami dan dijelaskan dalam kegiatan menerjemah. Yaitu, dunia kata-kata (teks yang tertulis) dan dunia non kata-kata (situasi batin penulis). Mengkonstruk kembali kedua dunia tersebut dalam kegiatan menerjemah merupakan "keniscayaan". Yang satu tidak boleh menafikan yang lain, jika ingin mendapatkan yang berkualitas.
Menerjemah di bumi Nusantara ini telah menjadi budaya intelektual. Namun, satu hal yang harus dicatat bahwa menerjemah bukanlah sekedar mencari padanan kata, tetapi sekaligus merekonstruksi dunia si pengarang untuk dapat dihadirkan kembali di tengah pembaca secara utuh. Tak terbatas pada kejelasan gagasan atau ide semata. Kecenderungan karya terjemahan kita adalah menonjolkan aspek kejelasan gagasan dan bahasa semata, tanpa berusaha menghadirkan kembali semangat dan jiwa si pengarang. Barangkali, ini yang menjadikan kualitas karya terjemahan di negeri kita "diragukan".[MFF]